50+1 = Bundesliga

Ilustrasi: Arif Utama

Regulasi 50+1 memang brilian, tetapi tidak sempurna

Dalam umurnya yang hanya 48 jam, European Super League membuat UEFA terlihat sebagai orang baik. Dalam 48 jam yang membuat Chelsea terlihat sebagai Profesor Snape itu, regulasi 50+1 dikenang sebagai tonggak yang membuat klub-klub Bundesliga tetap kokoh.

Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund yang awalnya diduga bakal bergabung dengan ESL ternyata menolak. Spekulasi menyebut, ada dua penyebab yang membuat Bayern dan Dortmund berani mengambil keputusan radikal.

Pertama, bergabung dengan UEFA sama dengan bunuh diri pelan-pelan karena hanya akan menurunkan nilai ekonomi klub secara domestik. Kedua, regulasi 50+1 memberikan keleluasaan kepada suporter untuk menentang.

Apa yang bisa dilakukan regulasi 50+1 untuk klub-klub Bundesliga?

Regulasi 50+1 adalah skema kepemilikan yang menjadikan suporter sebagai pemegang saham mayoritas di klub-klub Bundesliga dan Bundesliga 2. Artinya, suporter setiap klub harus memiliki saham setidaknya 51%, sementara sisanya boleh dimiliki oleh sponsor atau investor.

Pada dasarnya pemilik hak suara mayoritas adalah pihak yang menyetorkan modal tertinggi. Namun, dalam konsep regulasi Bundesliga loyalitas suporter adalah setoran modal tertinggi yang tidak dapat ditandingi oleh uang sebanyak apa pun. Dengan begitu, para suporter tetap memiliki hak suara tertinggi tanpa menyetor modal.

Contohnya adalah Bayern Muenchen yang kepemilikan hak suara suporternya mencapai 82%, sedangkan sisanya dimiliki investor. Mengacu laporan keuangan Borussia Dortmund 2019/20, investor mengantongi hak suara 39,59%. Itu artinya 60,41% hak suara dimiliki suporter.

1. Memastikan klub dan suporter tak menjadi sapi perah

Regulasi 50+1 pertama kali diterapkan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) pada 1998. Tujuannya adalah memastikan klub-klub Bundesliga dan Bundesliga 2 tidak dikuasai oleh investor eksternal yang seenak jidat.

Tidak semua klub bisa ditopang oleh taipan ambisius yang bersedia berinvestasi besar-besaran dalam waktu panjang. Bagaimana jika investor datang, menanam modal, lalu dalam waktu 2-3 tahun memutuskan untuk pergi? Regulasi 50+1 bertujuan untuk barikade gempuran investor-investor yang peduli setan menjadikan klub sebagai tambang emas yang hasilnya hanya dinikmati diri sendiri.

Statistic: Major soccer leagues worldwide ranked by average per game attendance in 2018/19 | Statista
Find more statistics at Statista


Itulah sebabnya, segala keputusan klub harus selaras dengan kepentingan suporter. Regulasi ini pula yang membuat harga tiket Bundesliga tidak semahal liga Eropa lainnya. 

Mengutip Statista, rata-rata klub Bundesliga hanya mematok harga 180 euro untuk tiket kandang selama musim 2019/20. Bandingkan dengan tiket termurah musiman termurah Premier League, milik West Ham United, yang mencapai 350 euro.

Harga yang terjangkau itu membuat tribune-tribune stadion di Jerman hampir selalu penuh. Kondisi ini tidak selalu bicara tentang penjualan tiket. Dalam tiga musim terakhir sebelum pandemi COVID-19, total penjualan tiket klub-klub Bundesliga memang selalu di atas 500 juta euro.

Mengamati tabel komponen pendapatan Bundesliga, penurunan terlihat pada kontribusi penjualan tiket terhadap total pendapatan. Meski demikian, total pendapatan membaik. Itu artinya, ada peningkatan kontribusi dan jumlah dalam komponen pendapatan lainnya.

Yang meningkat dalam tiga musim terakhir, baik nominal maupun kontribusi, adalah pendapatan media alias hak siar. Peningkatan kualitas pertandingan dan loyalitas suporter menjadikan Bundesliga sebagai kompetisi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Pertumbuhan pendapatan juga dialami oleh Bundesliga 2. Yang meningkat bukan cuma penjualan tiket, tetapi juga pendapatan hak siar. Pertumbuhan pendapatan hak siar pada kompetisi divisi 2 adalah perkara penting. Itu berarti, tingkat awareness (kesadaran) terhadap kompetisi ini ikut bertambah.

Pertumbuhan popularitas diyakini sebagai salah satu fondasi pertumbuhan komersial klub-klub Bundesliga 2. Mengutip penelitian Kantar Group Ltd, sebelum musim 2018/19 tuntas tingkat kesadaran responden terhadap Bundesliga 2 mencapai 85%. Pertumbuhan ini juga tercermin dalam rerata penonton di stadion yang jumlahnya mencapai 18.980 orang per laga. 

Sepak bola untuk suporter ternyata bukan bualan basi.

2. Kontrol, kontrol, kontrol

Raphael Honigstein lewat The Athletic menulis bahwa pada Selasa (20/4/2021), sekitar 100 orang suporter Bayern mendatangi markas klub untuk menyatakan ketidaksetujuan bergabung dengan ESL.

Main-main dengan suporter di Jerman sama saja dengan mencari mati. Kultur dan sistem sepak bola yang dirawat di Jerman sangat mengutamakan suporter. Bahkan ‘orang-orang kuat’ seperti Hans-Joachim Watzke saja tidak berani macam-macam.

Para petinggi klub Bundesliga dan Bundesliga 2 diharuskan untuk tinggal di dekat markas klub atau setidaknya di kota yang sama. Dengan begitu, mereka tidak akan bisa melarikan diri jika suatu waktu membuat kesalahan atau harus mempertanggungjawabkan keputusan.

Regulasi 50+1 yang dipegang oleh sepak bola Jerman membuat suporter berhak menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (AGM). Teorinya, Herbert Hainer bisa saja dilengserkan dari jabatan chairman klub jika suporter tak sepaham dengan langkah yang diambilnya, termasuk jika nekad bergabung dengan ESL.


Bayern dan Dortmund mungkin bukan anak yang baik-baik amat. Pada 2018, Der Spiegel menerbitkan surel yang menyebut bahwa Bayern ikut membicarakan rencana melahirkan liga baru di luar bentukan UEFA.

Rencana ini konon mulai dibicarakan dua tahun sebelum email tersebut dirilis. Meski demikian, Bayern dan Dortmund berulang kali menolak langkah radikal seperti kudeta ESL. Sikap tersebut dianggap plin-plan. Itulah sebabnya mengikutsertakan Bayern dan Dortmund dianggap hanya akan menghambat rencana.

“Andrea Agnelli tidak mau lagi menerima telepon saya,” kata Karl-Heinz Rummenigge kepada Corriere della Sera pada Selasa (20/4/2021).

Jika rencana tersebut sudah diperbincangkan sejak lima tahun lalu dan Bayern-Dortmund enggan mengambil langkah grusa-grusu, bisa jadi karena suporter memang tak menginginkan mereka terdepak dari kompetisi Eropa.

Bagaimanapun, gelar juara Liga Champions merupakan prestise yang akan selalu diperjuangkan oleh suporter Bayern dan Dortmund. Itu belum ditambah dengan larangan bermain di pentas Eropa yang berisiko menyusahkan para pemain. Jika suporter tidak setuju, klub tidak bisa sembarangan.

Regulasi 50+1 tidak hanya membuat Bayern dan Dortmund menolak tawaran ESL, tetapi juga membantu mengontrol pengelolaan finansial klub.

Bundesliga memiliki istilah Fan Project yang mengacu pada forum reguler yang mempertemukan suporter dan klub. Forum ini dilakukan agar suporter dan klub tetap berjalan dalam harmoni.

Para suporter dilibatkan dalam penentuan masa depan klub dan pengawasan keuangan. Mendatangkan pemain, termasuk yang berharga selangit, adalah investasi klub.

Masalahnya, dunia bisnis mengenal investasi berhasil dan investasi gagal. Klub mesti bersikap transparan soal pengelolaan keuangan, termasuk gaji pemain, kepada suporter. Dengan langkah ini, klub memiliki beberapa lapis pengawas keuangan sehingga meminimalkan risiko pengelolaan keuangan secara sembarangan. Semuanya dilakukan demi menjamin kesehatan keuangan klub.

3. Bentuk skuat masa depan

Pengawasan finansial yang ketat membuat klub-klub Bundesliga leluasa untuk mengembangkan akademi mereka. Laporan keuangan Bundesliga dalam 12 musim terakhir menunjukkan bahwa klub-klub Bundesliga menghabiskan 34,9% sampai 41,3% dari pendapatan untuk membayar gaji tim.

Dengan begitu, kebutuhan untuk mengembangkan akademi, sektor muda, dan sepak bola amatir dapat terpenuhi. Maka jangan heran jika Bundesliga selalu mampu mencetak talenta-talenta muda papan atas.

Gaji dan Pengembangan dalam ribu euro, data diolah dari Laporan Keuangan Bundesliga 2008/09 sampai 2019/20

Apa yang tidak dapat dilakukan oleh regulasi 50+1?

Regulasi 50+1 memang brilian, tetapi tidak sempurna. Ia tidak dapat menyelesaikan semua masalah sepak bola Jerman, termasuk ketimpangan finansial.

Regulasi 50+1 adalah aturan yang dirancang untuk menjaga stabilitas finansial, bukan untuk memperkaya klub. Karena itu, tetap ada jarak antara klub papan atas dan bawah. Melihat laporan keuangan tim yang berlaga di Liga Champions dan tidak sudah cukup untuk membuktikannya.

Bayern lagi-lagi bisa menjadi contoh. Dengan kondisi finansial yang sehat dan dikelola dengan cermat pula, mereka dengan leluasa mendatangkan dan mempertahankan pemain serta pelatih top.

Kesehatan finansial klub Bundesliga lainnya memang oke. Mereka tidak bangkrut, tidak menanggung utang di luar kemampuan, serta sanggup menuntaskan kewajiban keuangan. Yang membedakan adalah levelnya. Jika level kesehatan keuangan Bayern ada di angka 100, misalnya, SC Freiburg ada di angka 68. Sama-sama sehat, tetapi posisinya berbeda.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi kesenjangan ini. Salah satunya adalah uang hak siar yang menguntungkan Bayern. Pada 2018, DW menyebut Bayern menerima 150 juta euro dari hak siar. Itu pun termasuk rendah jika dibandingkan dengan klub-klub top non-Jerman.

Kucuran dana bertambah deras karena Bayern berhak menikmati hasil keikutsertaan di Liga Champions, kesepakatan ekstravaganza dengan sponsor, penjualan tiket pertandingan (Allianz Arena saja berkapasitas 75.000 penonton), serta lini bisnis lain.

Kekuatan finansial itu mendongkrak prestasi Bayern. Lihat saja siapa-siapa yang menjadi kampiun dalam 10 musim terakhir.

Tidak semua gelar juara didapatkan dengan gelontoran uang. Leicester pada Premier League 2016 merupakan salah satu contohnya. Akan tetapi, suatu hal tidak akan disebut anomali jika selalu terjadi.

Gonjang-ganjing keuangan yang terjadi akibat pandemi COVID-19 bukan dilawan dengan regulasi 50+1, tetapi solidaritas. Dortmund, Bayern, RB Leipzig, dan Bayer Leverkusen mengumpulkan dana darurat sekitar 20 juta euro untuk membantu menopang keuangan klub-klub Bundesliga dan Bundesliga 2.

Selain itu, pada dasarnya kesehatan keuangan klub Bundesliga juga ditopang oleh dua aturan lainnya: Sistem lisensi keuangan yang diperbarui setiap musim dan dana jaminan.

Mengapa ada Wolfsburg, Bayer Leverkusen, dan RB Leipzig dalam regulasi 50+1?

Pengecualian. Itulah jawaban mengapa ada Wolfsburg dan Bayer Leverkusen dalam regulasi 50+1. Peraturan ini membuat pihak eksternal tidak dapat memiliki klub secara penuh. Akan tetapi, Wolfsburg dipegang sepenuhnya oleh Volkswagen, sedangkan Leverkusen oleh Bayer.

Namun karena kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan lokal dan telah menyokong tim lebih dari 20 tahun, pengecualian diberikan. Lagi pula, Wolfsburg memang tim yang dilahirkan oleh Volkswagen pada 12 September 1945. Pun demikian dengan Leverkusen yang sebenarnya merupakan tim yang dibentuk oleh perusahaan Bayer pada 1904.

Usia RB Leipzig baru 11 tahun. Klub ini berdiri pada 19 Mei 2009. Ceritanya bermula dari keputusan perusahaan minuman berenergi asal Austria, Red Bull, mengakuisisi klub divisi lima, SSV Markranstaedt.

Sokongan dana penuh itu melejitkan Leipzig. Mereka hanya membutuhkan waktu delapan tahun untuk menembus Bundesliga. 

Keberhasilan pesat dan cepat itu menjadikan Leipzig sebagai objek pergunjingan. Nama mereka yang menggunakan inisial RB dipersoalkan. Publik menyebut penamaan itu mengacu pada jenama Red Bull, padahal federasi melarang penggunaan nama sponsor sebagai identitas klub.

Akan tetapi, RB yang tercantum pada nama klub adalah RasenBallsport. Caranya cukup cerdik karena pada akhirnya publik lebih mengenal RB sebagai Red Bull, bukan RasenBallsport.

Persoalan kedua adalah hak suara mayoritas. Untuk menghadapi ini, Leipzig memberikan hak suara terbesarnya kepada 17 orang suporter. Bandingkan dengan Borussia Dortmund yang mencapai 140.000 orang.

Karena yang diatur adalah persentase hak suara, bukan jumlah suporter yang memegang hak suara, Leipzig bisa berlaga di Bundesliga. Masalah lainnya adalah ke-17 orang suporter itu disebut-sebut sebagai karyawan Red Bull.

Persoalan ketiga adalah biaya keanggotaan klub. Jika kisaran harga keanggotaan klub Bayern adalah 30-60 euro per tahun, biaya masuk keanggotaan Leipzig mencapai 100 euro. Itu cuma biaya masuk. Biaya tahunannya dikisar mencapai 800 euro per tahun.

Publik sempat sangat membenci Leipzig karena menganggap klub ini orang kaya baru yang merusak tradisi sepak bola Jerman. Namun, Leipzig punya sikap sendiri menghadapi cercaan tersebut. Kata mereka, Leipzig tidak merusak, tetapi hanya menyesuaikan diri untuk mematuhi regulasi 50+1.

Apakah regulasi 50+1 sama sekali tidak menimbulkan masalah?

Regulasi 50+1 hanya sanggup meminimalkan risiko, bukan membuat sepak bola Jerman kalis dari semua masalah. Salah satu persoalan yang disebut-sebut dipicu oleh regulasi 50+1 adalah kejatuhan TSV 1860 Munich.

Setelah musim 1999/2000, suporter TSV 1860 terbang hampir ke langit ketujuh: Skuad berpengalaman, termasuk Daniel Borimirov dan Thomas Haessler, menutup musim dengan brilian, menundukkan Bayern dua kali di Bundesliga, dan lolos ke Playoff Liga Champions melawan Leeds United.

Pada 2001 sepak bola Jerman dibuat tercenung. Presiden TSV 1860, Karl-Heinz Wildmoser, setuju bekerja sama dengan rival sekota mereka, Bayern, dalam pembangunan stadion Allianz Arena. Kesepakatan itu juga menjadikan mereka pemegang saham stadion dalam kedudukan setara.

Allianz Arena dibuka pada 2005, tetapi sejak 2004 Munich 1860 terseret ke Bundesliga 2. Kondisi TSV 1860 makin payah setelahnya. Pada awal 2006/07, mereka terlilit kesulitan finansial dan nyaris turun ke divisi empat. 

Kabar baik datang karena Bayern bersedia membeli saham kepemilikan Allianz Arena mereka sebesar 11 juta euro. Dana itu membuat TSV 1860 bisa berlaga di Bundesliga 2.

Pada 2010/11, TSV 1860 ada di ambang kebangkrutan. Lantas datanglah investor Yordania, Hasan Abdullah Ismaik, pada Maret 2003. Tanpa pengalaman di industri sepak bola, Ismaik mengucurkan dana untuk menyelamatkan TSV 1860 dari pailit. Meski Ismaik membeli saham senilai 60%, hak suaranya hanya sampai di angka 49%. Itu berarti, hak suara mayoritas tetap di tangan suporter.

Segala sesuatunya tampak terlihat baik-baik saja setelahnya. Regulasi tak dilanggar, fulus pun datang. Masalahnya, hubungan Ismaik dan para suporter tak sampai setengah hati. Alih-alih saling menopang, keduanya saling menghantam.

Setiap kali tim membutuhkan uang, suporter akan menyanjung Ismaik demi uluran tangan. Situasi menjadi tak terkendali karena manajemen tidak berjalan dengan harmonis. Ismaik bahkan berulang kali berseteru dengan para petinggi klub.

Kondisi tambah pelik karena pada 2 Juni 2017, TSV 1860 tidak dapat bertahan di Bundesliga 3 karena Ismaik menolak membayar biaya lisensi untuk berlaga di kompetisi. Akibatnya, TSV 1860 terdepak ke Regionalliga dan hingga kini yang terdengar dari Gruenwalder Stadion hanya sayup-sayup sukaria masa lalu.