Ajax dan Amsterdamse Bluf

Ilustrasi: Arif Utama

Ajax menghadapi samudera rasa congkak sepak bola Eropa dengan rasa congkak pula. Api mereka lawan dengan api. Arogansi dengan Amsterdamse Bluf.

Ajax. Tidak sulit untuk menyebut nama mereka. Tidak sulit pula untuk menunjuk mereka ketika kamu ingin berbicara soal sepak bola Belanda. Yang sulit adalah menebak, kapan Ajax betul-betul kembali duduk di puncak sepak bola Eropa.

Melihat Ajax seperti melihat seorang pelaut yang sudah 84 hari tidak mendapatkan tangkapan besar. Saya, tentu saja, tidak berbicara soal kompetisi domestik. Saya bicara soal pergelutan mereka di kompetisi antarklub Eropa. Ajax si pelaut itu hanya bisa mencapai sebatas nyaris. Manakala ada tangkapan besar di depan mata, selalu datang ikan yang lebih besar melahap.

Ada banyak kesempatan di mana saya berharap Ajax bisa setidaknya mempertahankan tim terbaik mereka untuk dua atau tiga musim lebih lama. Sayangnya, hidup tak bekerja semudah meniup bubuk peri: Embus, apa pun yang kau harapkan bakal terjadi.

Ketika Ajax menembus semifinal Liga Champions 2018/19, ada harapan menyembul bahwa tim tersebut menjadi cikal bakal tim yang mengangkangi Eropa. Persis seperti Ajax 1995. Namun, harapan tersebut jauh lebih mungkin untuk karam ketimbang menjadi kenyataan.

Ajax, seperti halnya tim-tim Belanda lainnya, tidak memiliki kekuatan finansial sebesar raksasa-raksasa dari Premier League, La Liga, ataupun Serie A. Di Eredivisie, pendapatan hak siar amat kecil. Mengharapkan Ajax mempertahankan talenta-talenta terbaik mereka dari pelucutan klub-klub raksasa Eropa nyaris sama musykilnya dengan mengharapkan Din Djarin melepaskan helmnya di hadapan orang asing. This is The Way.

Tim brilian yang menaungi banyak pemain menjanjikan pada 2018/19 itu akhirnya menguap begitu saja. Frenkie de Jong dilepas ke Barcelona, Matthijs de Ligt bergabung dengan Juventus, Hakim Ziyech kini menjadi bintang Chelsea, sedangkan Donny van de Beek menemui arus yang derasnya bukan main di Manchester United.

Tinggal menunggu waktu sampai Ryan Gravenberch, Perr Schuurs, Antony, atau Andre Onana bikin klub-klub besar kepincut dan menarik mereka keluar dari Ajax. Musim ini, Ajax melepas Sergiño Dest, entah musim depan siapa lagi.

Meski begitu, tak peduli berapa kali pun tim mereka dilucuti, Ajax tetap berkepala tegak. Pada suatu ketika, CEO mereka, Edwin van der Sar, menjawab dengan tegas perihal kebiasaan Ajax melepas pemain-pemain terbaik mereka. Yang terpenting dari pemain-pemain itu, kata Van der Sar, adalah memberikan kontribusi positif selama berkostum Ajax. Tak apalah jika pada akhirnya mereka pergi, asalkan ada satu atau dua trofi yang dipersembahkan.

Dengan model bisnis begitu, Ajax mencoba bertahan hidup seraya mempertahankan status mereka sebagai klub besar (setidaknya di Belanda). Ada keangkuhan yang tidak bisa ditawar-tawar: Silakan saja lucuti, toh besok kami bakal membangun lagi tim yang boleh jadi sama baiknya.

***

Daley Blind menyebutkan frase itu ketika nilai transfernya dari Ajax ke Manchester United disinggung oleh wartawan. Amsterdamse Bluf, kata Blind. Namun, dari cara Blind bertutur, Amsterdamse Bluf boleh jadi lebih dari sekadar frase, melainkan sebuah jalan hidup.

Amsterdamse Bluf adalah karakteristik masyarakat Amsterdam. Lewat Amsterdamse Bluf, mereka percaya bahwa kepercayaan diri mereka tidak ada tandingannya. Lewat Amsterdamse Bluf, orang-orang Amsterdam mendongak.

Karakteristik ini sering disalahartikan sebagai arogansi khas orang-orang kota. Padahal, membaca penuturan Blind, ini adalah perkara menunjukkan kekuatan mental mereka di hadapan perkara sesulit apa pun.

Blind datang ke United pada 2014/15 dengan harga 14 juta poundsterling, jauh lebih murah daripada Angel Di Maria (59,7 juta pounds) atau bahkan Marcos Rojo (16 juta pounds). Ketika si wartawan bertanya apakah nilai transfer tersebut bikin Blind jeri dan menjadi inferior, putra dari eks bek Ajax, Danny Blind, itu justru tersenyum.

“Mereka memang tidak membayar saya semahal Di Maria, tapi itu tidak lantas membuat saya jadi bocah pemalu di ruang ganti atau di sesi latihan. Berkat Amsterdamse Bluf, kami para pemain Ajax dari sananya punya kepercayaan diri tinggi,” kata Blind.

Blind kembali ke Ajax pada 2018 dan semenjak saat itu telah memenangi satu gelar juara Eredivisie serta menjadi bagian dari tim yang lolos ke semifinal Liga Champions 2018/19. Seperti halnya banyak orang yang bekerja di dalam tim tersebut, Blind adalah Ajax luar-dalam.

Di Premier League, ia dikenal sebagai full-back yang tidak cukup memiliki kecepatan. Fokus pembicaraan mengenai Blind ketika berseragam United biasanya berkutat di seputaran itu-itu saja. Padahal, aspek penting lainnya, seperti bagaimana ia piawai menutup ruang ketika diminta bermain sebagai gelandang bertahan, juga tak kalah penting.

Di Ajax, Blind menemukan rumah. Progresi permainan Ajax tidak mengharuskannya berlari lebih cepat daripada pemain lawan, melainkan seberapa cepat dan tepat ia mengalirkan bola. Sebagai full-back atau bek tengah, Blind punya kemampuan memberikan operan akurat. Bagi Ajax, kemampuan Blind berguna untuk membangun build-up dari belakang atau melakukan progresi serangan dari tepi lapangan.

Ajax, alih-alih bekerja seperti klub sepak bola kebanyakan, lebih mirip seperti institusi. Dari atas sampai bawah, mereka berjalan sesuai filosofi yang mereka pegang teguh. Seolah-olah, ada diktat dan manual tak kasatmata yang mau tak mau mesti mereka penuhi.

Pemain-pemain mereka dari level junior dididik ala Ajax. Pelatih-pelatih yang datang, kalau bisa, juga menerapkan sepak bola ala Ajax. Peter Bosz, yang one-dimensional minta ampun, adalah penganut Cruyffian yang taat, makanya ia cocok menangani Ajax. Erik ten Hag, pelatih mereka sekarang, juga tidak jauh berbeda —meski boleh jadi jauh lebih cerdas.

Ajax 2020/21

Ten Hag memang tidak melulu berpatok pada pakem 4-3-3. Kalaupun bermain dengan 4-3-3, ada kalanya dia menggunakan poros ganda (membuat timnya lebih terlihat menggunakan 4-2-3-1). Namun, filosofi yang ia terapkan pada timnya sangatlah klasik untuk ukuran Ajax.

Ten Hag suka membangun serangan dari belakang —dengan kedua bek tengah membentuk segitiga dengan gelandang poros, memancing lawan untuk maju melakukan pressing. Begitu ruang terbuka, barulah build-up serangan ke depan dilakukan.

Ketika salah satu gelandang poros turun ke lini belakang untuk membantu membangun serangan, yang lainnya tetap bertahan di lini tengah untuk menjadi opsi membangun operan. Dengan begitu, Ajax tidak hanya mendapatkan opsi tambahan untuk build-up, tetapi juga unggul jumlah atas pemain-pemain depan lawan yang naik untuk melakukan tekanan.

Build-up yang mereka lakukan kebanyakan dengan melakukan operan-operan pendek. Tujuannya, selain berusaha meminimalisir kemungkinan untuk kehilangan bola, adalah untuk menjaga shape dan kerapatan. Dengan begitu, Ajax juga menjadi lebih mudah untuk melakukan counterpress manakala tidak menguasai bola.

Ini masih ditambah dengan kebiasaan mereka bertukar posisi di lini depan —membuat pola serangan mereka begitu cair—, memanfaatkan kelebaran lewat full-back dan para penyerang sayap, serta pergerakan tanpa bola yang memungkinkan mereka mengkreasikan ruang di area lawan.

Pada 2018/19, Van de Beek dan Dusan Tadic acap bertukar posisi. Yang satu kerap masuk ke kotak penalti lawan setelah yang lainnya turun ke lini kedua seraya menarik pemain lawan. Kemampuan Van de Beek yang jeli melihat space di pertahanan lawan memungkinkannya mengeksploitasi ruang yang biasanya sudah dikreasikan Tadic. Musim itu, Van de Beek mencetak total 17 gol dari seluruh kompetisi. Sejauh ini, itulah catatan tersubur Van de Beek sepanjang kariernya.

Musim ini, cara kerja lini depan Ajax tidak jauh berbeda. Bedanya, Tadic acap bertukar posisi dengan Lassina Traore atau Zakaria Labyad dan Mohamed Kudus. Sejauh musim ini berjalan, Tadic adalah pencetak gol terbanyak Ajax.

Ini menunjukkan bahwa membangun sebuah sistem permainan yang rapi, bagi Ajax, jauh lebih memudahkan ketimbang harus jor-joran membeli pemain mahal untuk meningkatkan kualitas kesebelasan. Dengan begitu, mereka cuma harus mencari profil pemain yang tepat untuk bermain di sistem mereka atau mempromosikan pemain muda yang memang sudah dari sananya paham luar-dalam gaya bermain ala Ajax.

***

Jika sepak bola Eropa adalah samudera rasa congkak yang tak berdasar, Ajax menghadapinya dengan rasa congkak pula. Alih-alih menunduk, mereka memilih untuk bekerja dengan satu-satunya jalan yang mereka pahami.

Kalau besok ada kesebelasan besar datang mengetuk dan meminta pemain mereka, Ajax tidak akan berlagak seperti ibu yang anaknya diminta sebagai tumbal oleh serigala. 

Ini adalah cara Ajax. Keangkuhan ala Ajax. Amsterdamse Bluf yang mengalir dalam diri Ajax.