Ambisi Taipan Abramovich

Foto: ChelseaFC

Dengan gelontoran uangnya, Abramovich berambisi membentuk Chelsea persis seperti yang dia inginkan.

Chelsea tidak akan pernah menjadi rumah bagi para pelatih, bahkan untuk Frank Lampard yang pernah mengabdi selama 13 tahun sebagai pemain. 

Lampard boleh menyambut kesepakatan itu dengan kalimat normatif yang biasa-biasa saja: Merasa terhormat, tertantang, dan kembali ke Stamford Bridge untuk bekerja keras memberikan yang terbaik. 

Namun, hati kecil tidak pernah berbohong. Kalau gembira, ya, gembira. Kalau kecewa, ya, kecewa. Kegembiraan itu termanifestasikan lewat senyum malu-malu di konferensi pers perdananya sebagai manajer. Di hadapan jepretan kamera wartawan, Lampard semringah sambil sesekali menunduk, persis remaja yang tersipu saat pertama kali menggandeng tangan pacarnya.

Kegembiraan Lampard bisa dimaklumi. Setelah lebih dari satu dekade berseragam The Blues, Lampard mencoba mencari tempat di Manchester City dan New York City masing-masing selama semusim. Meski tak lagi muda, Lampard tidak tertatih selama menempuh dua perjalanannya baru itu. Masa pensiun juga tidak menjauhkan Lampard dari sepak bola. Ia menjajal kemampuan sebagai pelatih Derby County.

Namun, Chelsea adalah Chelsea. Ketika rumah yang membentuknya memanggil pulang, Lampard kembali dengan hati merekah. Pengalamannya masih minim. Ini juga menjadi pertama kalinya ia melatih klub Premier League. 

Suporter Chelsea seperti melihat kerlip cerlang di ujung lorong gelap. Lampard tidak mengawali musim 2019/20 dengan buruk. Ia malah berhasil mempersembahkan tiket Liga Champions 2020/21 untuk Chelsea. Padahal sepak bola saat itu sedang tidak menentu. Pandemi membuat segalanya tidak jelas, termasuk keuangan dan situasi internal klub.

Pada dasarnya Chelsea bukan klub yang nihil juara. Lampard bahkan tidak kembali ke Chelsea ketika tim London Barat itu sedang naik-turun di papan tengah dan bawah. Problem The Blues ketika ia datang hanyalah embargo transfer. Itu pun tidak berlangsung selamanya.

Akan tetapi, Chelsea dipimpin oleh tangan besi. Bongkar pasang pelatih bukan persoalan bagi para petinggi. Tak peduli apa yang pernah diberikan seorang pelatih, jika di hari itu ia tak bisa mencapai target yang ditetapkan, pintu keluar sudah pasti dibukakan lebar-lebar.

Isu pemecatan Lampard merebak. Ini adalah akibat dari hasil buruk yang didapat Chelsea dalam tujuh laga terakhir di semua kompetisi. The Blues cuma sanggup memenangi satu pertandingan dalam kurun tersebut.

Kita semua tahu, hanya satu orang yang mampu membuka pintu pintu keluar Stamford Bridge dengan senang hati, sesering apa pun itu: Roman Abramovich.

Konglomerat Israel-Rusia itu selalu mengawalinya dengan cara yang sama, janji akan proyek jangka panjang. Jose Mourinho yang ditunjuk sebagai pelatih Chelsea pada 2 Juni 2004 dijanjikan hal serupa. 

Bisakah dibayangkan, Mourinho yang ‘tersingkir’ dari Barcelona, diperhadapkan dengan janji yang sedemikian prestisius? Chelsea ketika itu berambisi untuk kembali menjadi kampiun Premier League. Mereka dipimpin oleh presiden seperti Abramovich pula. 

Bagi Mourinho, itu bukan tawaran menjadi pelatih atau aktivitas bisnis sepak bola biasa. Tawaran ini adalah batu-batu pertama untuk membangun imperium sepak bola yang baru. 

Hasrat Mourinho tambah menjadi-jadi karena Abramovich menyodorkan perpanjangan kontrak empat musim. Jangan-jangan ini menjadi awal perjalanannya untuk dikenang sebagai sosok yang sanggup merevolusi sepak bola. Barangkali ia akan lebih besar atau setidaknya setara dengan Sir Matt Busby, Johan Cruyff, Bill Shankly, Sir Alex Ferguson, Helenio Herrera, Arrigo Sacchi, atau bahkan Rinus Mitchel.

Publik mengira Mourinho dan Abramovich adalah pasangan sempurna. Mourinho adalah pemburu trofi. Apa pun dilakukannya untuk merengkuh kemenangan dan gelar juara. 

Bukan, ini bukan tentang melakukan yang tidak-tidak seperti pengaturan laga. Ini bicara tentang kesediaan Mourinho untuk mengambil langkah yang tidak populer. Mourinho tidak pernah peduli dengan identitas permainan indah atau sepak bola elegan. Baginya, label itu hanya printilan yang dilebih-lebihkan. Bermain indah, tetapi tak menang, buat apa?

Abramovich adalah orang yang ingin merajalela dan menaklukkan dunia lewat sepak bola yang dimilikinya. Ketika Abramovich setuju untuk menggelontorkan uang, ia tidak sedang membeli pemain atau pelatih. Abramovich sedang membeli gelar juara.

Keputusan Abramovich untuk mendatangkan Mourinho terbukti tidak salah. The Special One membentuk Chelsea jadi tim spesial. Setelah 50 tahun, akhirnya mereka menjadi juara Premier League pada 2004/05. Itu tidak menjadi satu-satunya trofi yang dipersembahkan Mourinho. Selama mengasuh Chelsea pada 2004 hingga 2007 dan 2013 sampai 2015, Mourinho membawa delapan trofi ke hadapan Abramovich.

Namun, pencapaian itu tidak cukup untuk Abramovich. Setelah kandas sembilan kali dalam 16 laga Premier League, Mourinho dipersilakan pergi pada 7 Agustus 2015. Cerita serupa berulang. Sejak kepergian Mourinho, Chelsea dipimpin tiga manajer berbeda, itu belum menghitung caretaker dan manajer interim. Kembali pada 2007 pun, pola demikian sudah muncul: Enam manajer serta masing-masing satu caretaker dan manajer interim.

Roberto Di Matteo yang membawa Chelsea merengkuh gelar Liga Champions perdana dan Piala FA juga mengalami nasib serupa. Jangan lupa bahwa perjalanan Di Matteo untuk sampai di podium puncak Eropa serupa epos. Di Matteo yang mengambil alih tugas bosnya, Andre Villas-Boas, ini bahkan cuma menjabat selama delapan bulan. Abramovich tak menerima kekalahan dari Juventus lalu membukakan pintu keluar bagi Di Matteo.

Keputusan dan sikap Abramovich berulang kali membikin publik geram. Tak sedikit yang menyebutnya sebagai orang gila yang ‘mengibadahi’ kemenangan dengan sangat serius.

Sebagian orang mengerti bahwa Abramovich datang ke Chelsea sambil memikul ambisinya untuk menjadi yang terhebat dan terbesar di ranah sepak bola. Ia melihat dengan jelas tampuk kekuasaan yang dibangun Malcolm Glazer di Manchester United. Ia juga mendengar kisah-kisah tentang Florentino Perez yang membawa Real Madrid menjadi proyek raksasa yang kerap membikin lawan bergidik ngeri.

Kekuasaan serupa ingin ia bangun bersama Chelsea. Untuk mewujudkan tujuan itu, Abramovich melakukan segala macam hal yang barangkali bertentangan dengan apa-apa yang dipercayai klub lain. 

Ia mengangkat dan memecat manajer lebih sering dari presiden mana pun di Inggris. Abramovich dua kali mencetak rekor di bursa transfer, membikin pening asosiasi, dan membuat nilai-nilai historis yang begitu dibanggakan sejumlah klub tampak seperti mainan murahan.

Abramovich tak segan mengucurkan dana untuk membangun pusat latihan Cobham hingga dikenal sebagai salah satu yang terbaik di jagat sepak bola. Menggelontorkan uang untuk tim akademi dan wanita juga bukan persoalan besar untuknya. Bahkan ketika Inggris goyah dihantam pandemi, ia dua kali tampil sebagai pahlawan yang membuka hotel miliknya sebagai tempat tinggal gratis bagi para petugas kesehatan Inggris.

Mungkin investasi gila-gilaannya-lah yang memotori para konglomerat melirik sepak bola Britania. Tak lebih dari 10 tahun sejak kedatangannya ke Chelsea, Manchester City mengambil langkah mirip. Kepemimpinan diambil alih oleh konglomerat Abu Dhabi dan seketika, sepak bola Inggris beralih rupa menjadi tanah industri dan sarang poundsterling.

Akan tetapi, kejayaan yang didapat oleh klub-klub seperti Manchester United, AC Milan, Juventus, Real Madrid, Barcelona, atau Liverpool tidak berasal dari satu atau dua gelar juara saja. Nama besar mereka bukan sebatas memecahkan rekor transfer dari musim ke musim.

Klub-klub itu menjadikan kemenangan dan gelar juara sebagai tradisi, sesuatu yang dibiasakan terus-menerus dan turun-temurun. Bahkan ketika stadion mereka rata dengan tanah dan tim kali digempur perang dan tragedi, klub-klub itu memungut apa yang tersisa dan membangun kembali dari awal.

Chelsea belum memiliki tradisi yang seperti ini. Mereka bukan tim semenjana, tetapi jelas belum sebesar United atau Madrid. Tradisi tentu saja bisa dibangun. Akan tetapi, pertanyaannya adalah: Apakah Abramovich cukup sabar untuk membangun tradisi?

Abramovich bukan orang yang menolak untuk memberikan sentuhan ekstra kepada timnya. Dia mempersilakan Di Matteo menyusun dan memberikan video yang berisi dukungan dari keluarga pemain semalam jelang final Liga Champions 2011/12 melawan Bayern Muenchen.

Dia juga dengan entengnya menulis angka fantastis di cek untuk membangun fasilitas tim akademi yang membuat banyak orang tua berkata: Di sinilah kami ingin menyaksikan anak-anak kami berlatih dan bertanding.

Masalahnya, Abramovich bukan orang yang memberi ruang bagi para pelatih untuk berproses dengan timnya. Prinsipnya sederhana. Jika hari ini menang, besok harus menang lagi. Jika tidak bisa, berarti pelatih sehebat apa pun tak pantas menerima gaji darinya.

Di Chelsea, tidak akan ada pelatih seperti Ferguson atau  Pep Guardiola yang diberikan ruang untuk menanam dan merawat nilai-nilai yang mereka percayai. Selama Abramovich ada, dialah yang akan menentukan nilai apa yang harus diserap oleh segenap personel tim. Chelsea harus menjadi klub yang persis dengan keinginan Abramovich. Tak boleh ada yang meleset sedikit pun, semuanya harus pas dan presisi.

Abramovich bukan seperti Nabi Nuh yang mau bertungkus-lumus membangun bahtera sejak awal. Dengan uang yang seperti tak ada habisnya itu, ia bakal memilih untuk membeli kapal dan menunjuk awak serta nakhoda ternama. Bahkan bahtera di tangan Abramovich bakal menjadi serupa kapal pesiar mewah.

Watak itulah yang membuat manajer sehebat apa pun tidak pernah menjabat dengan awet di Chelsea. Abramovich adalah taipan. Ia terlahir dan hidup untuk menjadi seorang penguasa. Jika melihat secuil persoalan yang dianggapnya dapat mengganggu kekuasan, ia akan menyingkirkannya jauh-jauh. Bagi Abramovich, persoalan itu adalah kegagalan pelatih untuk memberikan apa yang ia mau.