Analisis: Melihat Liverpool Hancur Lebur di Villa Park
Mimpi buruk Liverpool bukan cuma Adrian. Ada faktor lain yang memengaruhi kekalahan mereka.
Liverpool hancur lebur di Villa Park. Dalam pertandingan tandang menghadapi Aston Villa, Senin (05/10) dini hari WIB, Liverpool dihajar 2-7 oleh tuan rumah. Iya, 2-7. Liverpool kebobolan 7 gol.
Dalam keterangannya seusai pertandingan Juergen Klopp mengatakan bahwa dia tak menyangka timnya bakal kalah setelak itu dari Aston Villa. "Hasil yang aneh, iya, karena Aston Villa bermain sangat bagus," ujarnya.
Sama seperti manajer berpaspor Jerman itu, suporter Liverpool dan bahkan para pendukung Aston Villa sendiri rasanya tak akan menyangka skor akhir pertandingan menunjukkan angka 2 dan 7.
Liverpool memang datang ke Villa Park tanpa beberapa pilar utamanya. Alisson Becker mengalami cedera bahu saat latihan dan harus absen. Pun begitu dengan Thiago Alcantara dan Sadio Mane. Keduanya tengah menjalani pemulihan setelah dinyatakan positif COVID-19. Namun, selain ketiganya, The Reds datang dengan status komplet.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi hingga Liverpool bisa kolaps di Villa Park? Kami mencoba sedikit menganalisisnya.
Oke, ini memang diawali dari kesalahan Adrian. Sang penjaga gawang melakukan kesalahan fatal--umpannya untuk Joe Gomez terlalu kencang yang kemudian bisa direbut Ollie Watkins untuk jadi gol pertama Villa. Namun, mimpi buruk Liverpool bukan cuma Adrian. Ada faktor lain yang memengaruhi kekalahan mereka.
Yang paling terlihat adalah soal garis pertahanan yang tinggi. Ini sebenarnya memang template Liverpool. Sebagai tim yang gencar melakukan pressing sejak bola digulirkan dari kiper ke pemain belakang lawan, Liverpool perlu menerapkan garis pertahanan tinggi agar gap antarlini tidak terlalu jauh dan memudahkan progresi bola. Namun, situasi ini memunculkan lubang besar di belakang lini pertahanan mereka.
Ruang itulah yang mampu dimanfaatkan Villa dengan baik. Biasanya, untuk mencegah lawan mengeksploitasi ruang tersebut, Klopp menggunakan offside trap di lini belakang. Namun, pada pertandingan ini situasinya berbeda. Offside trap tidak berhasil. Di sinilah kejelian Dean Smith yang mampu membuat anak asuhnya tidak terjebak di offside trap Liverpool.
Caranya adalah dengan membuat Ollie Watkins sebagai penyerang tengah tak hanya bergerak di antara Virgil van Dijk dan Joe Gomez, tetapi juga dituntut mencari ruang di sisi luar pertahanan Liverpool. Tujuannya adalah untuk membuat Villa unggul jumlah di sisi tepi karena Trent Alexander-Arnold harus menjaga Jack Grealish. Untuk menambah superioritas, Ross Barkley, gelandang yang baru didatangkan dari Chelsea, juga ditugaskan bergerak mendekati Watkins.
Trio Grealish-Watkins-Barkley benar-benar merepotkan Liverpool. Gol Jack Grealish yang terdefleksi badan Fabinho juga berasal dari teror ketiga pemain itu pada lini pertahanan The Reds. Jarak yang tak jauh antara ketiga pemain itu juga membuat ruang di antara bek-bek Liverpool jadi jauh lebih mudah untuk dieksploitasi. Situasi bertambah runyam karena Gomez, Van Dijk, dan Alexander-Arnold sama-sama bermain buruk. Jadilah Liverpool semakin hancur.
Meski Gomez ditarik keluar dan kemudian tempatnya diisi oleh Fabinho, Liverpool masih saja kesulitan meladeni serangan-serangan Villa. Offside trap pun terus gagal. Gol kedua Grealish jadi buktinya. Lagi-lagi ini diawali penempatan posisi yang akurat dari pemain Villa. Kali ini Grealish yang memilih berada di sisi luar pertahanan Liverpool. Pemosisian itu membuatnya bisa unggul lari dari Alexander-Arnold dan kemudian mencetak gol.
Pertahanan tinggi yang mudah dieksploitasi dan gagalnya offside trap juga tak hanya menimbulkan masalah bagi Liverpool saat situasi open play, tetapi juga di situasi bola mati. Gol ketiga Watkins adalah bukti sahihnya. Para pemain Liverpool kecolongan oleh gerakan Trezeguet yang membuatnya berada tidak dalam posisi offside untuk memberi assist kepada Watkins.
Lubang-lubang yang muncul dan sistem pertahanan rapuh yang diperlihatkan Van Dijk dan kolega ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal musim saat Leeds United juga mampu mengeksploitasinya. Di dua pertandingan berikutnya, lubang itu memang tak terlihat. Namun, berkaca dari laga dini hari tadi, Klopp sebenarnya belum mengobati borok itu dengan sempurna.
Untuk Klopp, kebetulan ini masih awal musim sehingga dia masih punya waktu untuk memperbaiki kekurangan timnya. Satu hal lagi yang perlu jadi perhatian eks-pelatih Borussia Dortmund itu adalah bagaimana dia harus membuat Liverpool stabil--atau setidaknya, ya, tidak melempem melempem amat--ketika beberapa pilar andalan absen. Dengan bursa transfer yang sudah mau tutup, pilihan hanyalah dengan memaksimalkan skuad yang ada.
Karena pada pertandingan itu pun ketika Klopp mengganti strategi di babak kedua, Liverpool sama tidak berkembangnya seperti di babak pertama. Meski mencoba menyerang dengan memasukkan pemain depan, nyatanya Liverpool cuma bisa mencetak satu gol di babak kedua. Tim yang bermarkas di Anfield itu benar-benar pincang dan pada akhirnya: hancur.
Musim lalu, kunci keberhasilan Liverpool menjadi kampiun Premier League adalah karena mereka amat konsisten meminimalkan kesalahan dan memaksimalkan sistem permainan. Dalam dua musim terakhir, mereka adalah tim dengan jumlah kebobolan paling sedikit di Premier League. Jika musim ini konsistensi itu sudah porak poranda di pekan keempat, cerita manis bak musim lalu mungkin tidak akan terulang kembali.