Apa Selanjutnya untuk Lukaku, Tuchel, dan Chelsea?

Foto: Chelsea FC.

Wawancara Lukaku menimbulkan kegaduhan. Ia dan Tuchel saling lempar komentar. Meski kabarnya sudah mereda, kita tak pernah tau akan seperti apa ujungnya.

Ini bukan kali pertama Romelu Lukaku bikin ribut.

Saat masih berseragam Everton, Lukaku pernah melakukan dua wawancara yang membuat Ronald Koeman, pelatihnya saat itu, dan manajemen klub berang. Pertama, ia menyebut bahwa Everton kurang punya ambisi untuk bersaing dan mendapatkan trofi.

Kedua, pria berpaspor Belgia ini menyatakan bahwa ia tak akan memperpanjang kontrak. “Staying in Everton is not really an option,” kata Lukaku. Sebuah komentar pedas yang berujung pada kepindahannya ke Manchester United.

Lantas, setelah pindah ke United, ia kembali bikin onar. Saat itu, Lukaku mangkir latihan. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya memang pengin hengkang dari Old Trafford. Setelah angkat kaki dari United, Lukaku melakukan wawancara lagi. Ia menyatakan bahwa United memperlakukannya dengan tidak adil. United, katanya, tidak melindunginya.

Dan tibalah sekarang: Ia melakukan wawancara kontroversial dengan Sky Sports Italia. Kontroversi yang pertama karena wawancara itu dilakukan secara sepihak. Tanpa ada persetujuan dari Chelsea. Jadi Lukaku benar-benar menginisiasinya sendiri.

Embed from Getty Images

Kontroversi yang kedua tentu karena isinya. Pada wawancara itu ia berbicara soal tiga hal yang kemudian memancing keributan: Lukaku menyatakan tak bahagia di Chelsea, Lukaku bilang bahwa ia belum cocok dengan sistemnya Thomas Tuchel, dan ia juga mengaku masih ingin kembali ke Inter.

Terakhir, karena waktunya tidak tepat. Wawancara itu dirilis hanya beberapa hari jelang bursa transfer musim dingin dibuka. Ini seperti menyiratkan bahwa Lukaku minta dilepas Chelsea. Selain itu, wawancara juga berlangsung saat situasi Chelsea buruk. Performa tak konsisten, banyak pemain cedera atau positif COVID-19.

Wajar kalau kemudian wawancara itu membuat Tuchel berang. Dalam konferensi persnya, Tuchel secara terang-terangan menyebut ia tak suka dengan wawancara itu. Bagi Tuchel, hal tersebut menimbulkan kegaduhan yang terlalu besar.

Kegaduhan ini pula yang akhirnya membuat Tuchel menepikan Lukaku di laga vs Liverpool akhir pekan kemarin. Lukaku tak turun, bahkan ia tak ada di daftar susunan pemain. Tuchel kemudian berkata bahwa ia akan segera mengadakan pertemuan dengan Lukaku untuk membahas hal ini.

Per Selasa (4/1/22) ini, Tuchel mengabarkan bahwa Lukaku sudah meminta maaf. Masalah sudah mereda. Sang pemain pun akan kembali ke skuad Chelsea untuk menghadapi Tottenham Hotspur akhir pekan nanti.

Namun, apakah situasinya sudah benar-benar selesai? Atau, apa berikutnya?

***

Thomas Tuchel tak mudah memaafkan. Histori mencatat bahwa ia beberapa kali berseteru dengan anggota tim dan manajemen, baik itu di Dortmund maupun di Paris Saint-Germain. Itulah kenapa media media asal Jerman, DW, menyebutnya ‘A talented but difficult coach’.

Pada tiap perseteruan, hasil rujuk sulit hadir. Selalu saja ada yang pergi. DW pernah mengabarkan bahwa sempat terdapat friksi antara Tuchel dan beberapa pemain senior Dortmund. Namun, tidak disebutkan siapa saja pemain senior yang dimaksud.

Selain itu, Tuchel pernah berseteru dengan kepala pemandu bakat, Sven Mislintat, dan CEO, Hans-Joachim Watzke. Yang jadi alasan, Tuchel berang karena dua orang itu melepas pemain-pemain kuncinya (Henrikh Mkhitaryan, Ilkay Guendogan, dan Mats Hummels).

Embed from Getty Images

Tuchel tak suka dengan keputusan itu. Ia lantas melarang Mislintat untuk datang ke tempat latihan. Tuchel juga kemudian sering mengeluarkan ketidaksukaannya pada Watzke ke publik. Perseteruan memanas dan, pada akhirnya, Tuchel pergi dari Dortmund.

Di PSG, media Prancis beberapa kali mengabarkan bahwa ada friksi antara Tuchel dengan dua bintang tim, Neymar dan Kylian Mbappe. Puncaknya kemudian adalah perseteruan Tuchel dengan manajemen—yang dinilai jadi alasan kuat mengapa ia tak lagi berada di Paris.

Pada pengujung karier di PSG, Tuchel pernah melakukan wawancara dan menyebut bahwa ia merasa bingung: Apakah ia seorang manajer atau seorang politisi? Sebelumnya, Tuchel juga bersitegang dengan Direktur Olahraga, Leonardo, soal beberapa kebijakan transfer.

Akhirnya, kita tahu, Tuchel dan PSG berpisah. Dan serangkaian konflik itu menunjukkan bahwa Tuchel adalah sosok yang tak suka jika kontrolnya terhadap sesuatu (dalam hal ini timnya, anak-anak asuhnya) diganggu orang lain.

***

Lukaku, si pembuat onar, harus menghadapi Tuchel, si pelatih yang keras dan tak pandang bulu. Ini, jika melihat cerita keduanya tadi, jelas bukan konflik sepele. Bisa saja tak ada jalan keluar, meski sebenarnya kedua belah pihak saling membutuhkan.

Lukaku butuh Tuchel untuk mengembalikan performanya. Sebab, penampilan Lukaku musim ini masih jauh dari kata memuaskan. Di Premier League, Lukaku baru mencetak lima gol dari 13 penampilan. Statistiknya juga menurun jika dibandingkan musim lalu.

Musim ini, angka harapan gol (xG)—yang menilai peluang-peluang—per 90 menit Lukaku hanya 0,40. Padahal, musim lalu, ia mampu mencatatkan xG 0,71 per 90 menit. Jumlah tembakannya pun menurun. Musim ini, Lukaku melepaskan 2,39 tembakan per 90 menit, berbanding 2,78 musim lalu.

Performa yang seperti ini, entah apa pun keputusan nanti, tak akan baik untuk masa depannya. Lagipula siapa yang mau beli striker—yang ketajamannya sudah berkurang jauh—dengan harga di atas 80 juta poundsterling? Karena itu, Lukaku kudu berbenah dan ia butuh bantuan Tuchel.

Embed from Getty Images

Tuchel sendiri juga butuh bantuan Lukaku. Ia butuh sang striker untuk membuat lini depan Chelsea makin berbahaya. Sebab, Lukaku didatangkan dengan mahar selangit untuk menyelesaikan masalah itu. Masalah yang acap membuat Chelsea tak konsisten.

Begini, di Premier League musim ini, Chelsea baru mencetak 45 gol. Namun, angka xG mereka hanya 38,7. Bandingkan dengan Manchester City yang mencetak 53 gol dari xG 49,2 dan Liverpool yang bisa menceta 52 gol dari xG 49,3.

Mencetak gol lebih banyak daripada perkiraannya (yang terhitung oleh xG) memang baik. Namun, di satu sisi, itu juga menunjukkan satu hal: Timmu tidak cukup pandai untuk menciptakan dan mendapat peluang berkualitas. Dan tanpa peluang berkualitas, timmu akan susah menang.

Tengok saja di laga vs West Ham, Brighton, Wolves, dan Everton di mana Chelsea tak berhasil meraup tiga poin. Di situ, mereka gagal mendapat poin penuh karena tak bisa memiliki peluang berkualitas dan tak mampu menyelesaikannya dengan baik.

Lukaku, yang begitu buas musim lalu, diharapkan mampu menjadi pemecah masalah. Kehadirannya di kotak penalti lawan diharapkan menjadi pembeda. Kendati, Tuchel dan Lukaku juga membutuhkan penyesuaian untuk klop satu sama lain.

Lukaku harus tau bahwa di Chelsea saat ini, dirinya bukan lagi pusat. Umpan ke lini depan tak semua mengarah padanya seperti di Inter. Ada Kai Havertz, Mason Mount, sampai Christian Pulisic yang juga bisa jadi target. Lukaku pun harus jadi pemantul dan pembuka ruang buat mereka.

Sementara itu, Tuchel juga harus sadar bahwa Lukaku bukan poacher klasik. Ia juga bisa berbahaya jika diberikan kebebasan bergerak, dari sayap atau dari lini kedua. Justru kecepatan dan aspek fisik Lukaku bisa dimanfaatkan untuk membongkar pertahanan rapat lawan—alih-alih membuatnya menunggu sendirian di depan.

***

Chelsea bukan klub yang mudah menoleransi kesalahan. Jika ada anggota klub yang berbuat salah atau merugikan klub, pintu keluar akan selalu terbuka. Kalimat “Tidak Ada yang Lebih Besar dari Klub” berlaku di Chelsea. Atau Anda juga bisa mengganti kata “besar” dan “benar”.

Dalam kasus ini, The Athletic mengabarkan bahwa Manajemen Chelsea berada di pihak Thomas Tuchel. Oleh karena itu, meski Tuchel menyebut bahwa masalah sudah selesai dan Lukaku akan tetap bertahan di Chelsea, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Apakah friksi masih berlanjut, Lukaku akan kembali ditepikan, atau Tuchel benar-benar sudah kembali percaya kepada sang striker, semua sulit ditebak. Yang jelas, masalah ini jelas tidak sepele. Dan fans Chelsea pun berharap akan ada titik terang.

Lukaku, oh, Lukaku. Wawancara di sebuah sofa itu ternyata membuatmu terlalu nyaman sampai-sampai lupa diri.