Apa yang Bisa Diberikan De Paul untuk Atletico Madrid?

Foto: @rodridepaul.

De Paul naik kelas. Dari Udinese ke Atletico. Pertanyaannya, apa yang bisa ia berikan buat sang juara La Liga?

"Dengar, Cholo, aku memberi tahu klubku bahwa Atletico adalah satu-satunya tim yang kuinginkan," begitu Diego Simeone menirukan percakapannya dengan Rodrigo De Paul. Ia kemudian menjawabnya dengan singkat, "Oke, sampai bertemu 20 hari lagi."

Ya, sebegitu entengnya Simeone menceritakan negosiasinya dengan De Paul. Tak butuh waktu lama bagi Atletico Madrid buat merealisasikannya. De Paul telah resmi menjadi personel Los Colchoneros setelah membayar 35 juta euro kepada Udinese. 

Ritual perkenalan pemain tinggal menunggu waktu. Siang waktu setempat, Senin (26/7/2021), De Paul rencananya mendarat di Madrid setelah sebulan berjibaku bersama Argentina di Copa America. Kiprahnya di sana sempurna karena berhasil membantu Lionel Messi menggamit titel Copa America pertamanya.

Kini, tinggal menyimak, apa yang bisa De Paul berikan untuk sang juara La Liga.

De Paul sebagai kreator serangan

Ya, kami tak memungkiri bahwa Simeone adalah tipikal pelatih defensif. Pertahanan adalah prioritas, baru kemudian memikirkan bagaimana caranya menyerang. Tak ada yang salah dari situ. Toh, ia berhasil membawa Atletico merengkuh 7 gelar plus dua kali menjadi runner-up Liga Champions.

Puncaknya, ya, pada musim 2020/21. Atletico ia bawa menyabet titel La Liga untuk kedua kalinya. Adalah Luis Suarez yang jadi salah satu resep terbesarnya. Eks Liverpool itu berhasil mengatrol produktivitas Atletico yang terkenal pelit gol. Suarez mencetak 21 gol atau lebih dari sepertiga total lesakan Aletico di La Liga.

Betul bahwa Atletico mengalami eskalasi gol pada musim 2020/21. Total 67 gol mereka bikin di La Liga atau terbanyak dalam empat musim terakhir. Akan tetapi, jumlah itu tetaplah kerdil jika dibandingkan dengan torehan Barcelona yang mencapai 85 gol.

Itu baru di La Liga, belum Liga Champions. Atletico menjadi klub yang lolos ke fase gugur dengan jumlah gol terminim. Lesakan mereka cuma 7. Bayern Muenchen, yang finis satu setrip di atas mereka, mengumpulkan 18 gol. Bahkan Red Bull Salzburg yang nangkring di peringkat ketiga sukses mengemas 10 gol.

Atletico kemudian tersingkir di tangan Chelsea pada perdelapan final. Mereka gagal mencetak satu gol pun ke gawang The Blues. Dari sana Simeone sadar betul bahwa memang semestinya ia tidak menomorduakan agresivitas. 

Lantas, apa yang Simeone lakukan? Memboyong penyerang baru atau bertumpu kepada Suarez? Jawabannya tidak keduanya. Sebab, bukan keputusan bijak andai Atletico terus bergantung kepada Suarez. Usianya tak lagi muda, 34 tahun. Akan lebih baik mengembangkan tunas yang ada ketimbang bergelayut di pohon yang sudah tua.

Lagipula, Atletico sudah punya salah satu tunas terbaik di dunia, Joao Felix. Belum lagi dengan Ángel Correa yang berada dalam performa terbaiknya sekarang. Sudah semestinya Atletico mengoptimalkan ketajaman mereka. Caranya, ya, dengan mendatangkan kreator serangan seperti De Paul.



“Kami membutuhkan pemain yang bisa mengkreasi serangan serta mengontrol tempo sehingga pemain sayap dan striker bisa fokus menyerang," begitu Simeone berkata soal perekrutan De Paul kepada Marca.

“Sulit untuk berpikir (Marcos) Llorente bakal mencetak 12 gol lagi, jadi kami perlu mendapatkannya dari Saul, Lemar, dan De Paul,” lanjut Simeone.

Simeone bukannya tidak memercayai para pemainnya, termasuk juga Llorente. Justru Llorente merupakan salah satu penemuan terbaiknya. Pada La Liga musim lalu, ia memproduksi 12 gol dan 11 assist atau empat kali lipat dari torehan terbaiknya di periode 2019/20.

Namun, Simeone membutuhkan opsi lebih. Mengandalkan Llorente seorang, setelah menjalani musim terbaiknya, jelas bukan perkara bijak.

De Paul bukan pemain sembarangan. Ia merupakan salah satu playmaker terbaik di Serie A. Komplet kemampuannya sebagai konduktor. Tak hanya soal distribusi bola, ia juga memiliki kecakapan dalam melakukan dribel.

Memang betul bahwa Udinese kepayahan menembus papan tengah Serie A. Mereka cuma finis di peringkat 14 pada musim lalu. Namun, performa individu De Paul bukan main bagusnya. Sembilan gol dan assist dibuatnya di pentas liga. Tak ada pemain Udinese yang bisa melebihi itu.

WhoScored mencatat ada 2,3 rata-rata umpan kunci yang De Paul torehkan pada tiap pertandingan. Angka itu masuk dalam daftar tiga besar, di bawah Hakan Calhanoglu dan Luis Alberto. Sementara rerata dribelnya mencapai 3,4 per laga atau peringkat kelima di lima liga top Eropa.

Dengan fiturnya yang seabrek itu, jangan heran kalau De Paul jadi target utama para pemain lawan. Setidaknya ia rata-rata dilanggar 3,5 kali di tiap pertandingan, cuma kalah banyak dari Jack Grealish (Aston Villa), Andrea Belotti (Torino), dan Angelo Fulgini (Angers).

[Baca Juga: Underrated Story: Rodrigo De Paul]

Well, salah satu variabel penilaian dari jago atau tidaknya seorang pemain adalah konsistensi. Bagaimana ia bisa mempertahankan performa dari musim ke musim, mengembangkan diri serta resisten seiring dengan kedinamisan sepak bola itu sendiri. Untuk aspek ini, De Paul sudah cukup teruji.

Per edisi 2017/18, De Paul setidaknya mengumpulkan 6,5 gol dan assist per musim. Jebolan akademi Racing Club itu bahkan menjadi salah satu dari empat pemain yang mencatatkan lebih dari 100 peluang dalam tiga musim ke belakang--setara dengan Lionel Messi, Kevin De Bruyne, dan Bruno Fernandes. Ingat, itu dilakukannya bersama Udinese dengan segala keterbatasannya.

Jadi jangan buru-buru mempertanyakan mengapa De Paul tenggelam dari perburuan top assist Serie A. Pasalnya, Udinese memang tumpul di depan. Jumlah gol mereka cuma 38 dari 48,24 xG (expected goals). Margin itu menjadi yang terburuk kedua setelah Bologna.

Lalu, Bagaimana Diego Simeone Menggunakan De Paul?

Bersama Udinese, De Paul intens bermain sebagai gelandang tengah dalam wadah 3-5-2. Luca Gotti memasangnya bersama Walace atau Tolgay Arslan yang bertipe defensif plus gelandang ofensif seperti Roberto Pereyra.

Paul bertanggung jawab untuk menghidupkan permainan selain mengalirkan bola ke lini depan. Bukan perkara kreasi peluang saja, tetapi juga sebagai jembatan antarlini. Itu tertuang dari rata-rata umpan per laga De Paul yang mencapai 51. Bandingkan dengan rerata umpan Wallace dan Pereira yang tak genap 40.

Sementara di Atletico, besar kemungkinan Simeone tidak akan menggunakan De Paul sebagai jembatan antarlini atau distributor utama bola. Pasalnya, Simeone dan Atletico masih punya Koke. Tugas menyambut bola dari lini belakang kemudian menyebarkannya ke area strategis lebih mudah dilakukan Koke yang notabene bisa bermain sebagai gelandang bertahan.

Jika melihat apa yang dilakukan Simeone pada musim kemarin, De Paul kemungkinan bakal bermain di spot belakang striker. Sepanjang 2020/21, Simeone lebih sering memainkan formasi 3 bek ketimbang 4-4-2, entah itu 3-1-4-2 atau 3-4-2-1. Tujuannya adalah demi memperkaya opsi serangan dari lini kedua. Dengan begitu mereka tak melulu bergantung kepada striker untuk mendulang gol. Ini yang jadi alasan mengapa Llorente bisa begitu produktif selama 2020/21.

Persoalannya, Atletico tak punya gelandang ofensif dan subur selain Llorente. Geoffrey Kondogbia dan Hector Herrera adalah tipikal gelandang defensif. Memang masih ada Saul Niguez, tetapi ia tak cukup produktif. Demi memaksimalkan second line, Simeone juga sampai menjajal Thomas Lemar untuk bermain di belakang penyerang. Namun, hasilnya jauh dari efektif. Pasalnya, pemain Prancis ini  berposisi natural sebagai winger.

Lain cerita dengan De Paul. Posisi gelandang serang ini bakal menjadi medium sempurna buat mengejawantahkan spesialisasinya sebagai kreator kans. Bisa dibayangkan betapa idealnya pemain 27 tahun ini bila bertandem dengan Llorente--sebagai penyokong Suarez dan Felix atau Correa di garda terdepan. Bukan masalah juga andai Simeone beralih ke 4-4-2. De Paul nantinya bisa ditaruh di sayap kiri seperti yang sempat dilakoninya di Udinese.


Dengan segala pertimbangan di atas, mestinya De Paul tak akan menjadi pembelian gagal Atletico. Simeone tahu betul bahwa ia adalah sosok pemain yang dibutuhkan timnya sekarang.

Sementara perkara adaptasi, De Paul tampaknya tak akan membutuhkan waktu yang lama. La Liga bukan ladang baru buatnya. Dua musim lamanya ia pernah dengan Valencia. Agar lebih meyakinkan, perlu diingat bahwa De Paul telah menjalani 5 musim dengan 7 pelatih berbeda di Udinese, semuanya ia jalani sebagai pemain penting. Itu membuktikan bahwa ia adalah pemain cerdas yang mampu menangkap keinginan juru taktiknya.