Apakah Xabi Alonso Siap?

Foto: Riiana Izzietova

Xabi Alonso bukan pelatih terbaik di Millerntor akhir pekan lalu, pun performa timnya di Bundesliga musim ini menurun. Lantas, apakah ia sudah siap jika terpilih jadi pelatih baru Madrid?

Xabi Alonso bukanlah pelatih terbaik di Millerntor akhir pekan lalu. Timnya, Bayer Leverkusen, memang mendominasi penguasaan bola dengan angka 58%. Namun, bila melihat pertandingan keseluruhan, adalah Alexander Blessin pelatih St. Pauli yang mampu membuat timnya bermain lebih baik.

Hasil akhir laga memang menunjukkan angka 1-1. Namun, St. Pauli memiliki kualitas peluang yang lebih baik ketimbang Leverkusen. Mereka mencatatkan 1,09 angka ekspektasi gol (xG) berbanding 0,77 milik Leverkusen.

St. Pauli juga paham betul bagaimana sepanjang 90 menit mereka mampu meredam Leverkusen. Pasukan Alonso hanya melepas enam tembakan secara keseluruhan, dan satu-satunya gol yang mereka cetak datang via situasi bola mati.

Leverkusen gagal menciptakan momen-momen berbahaya untuk mereka. Build-up mereka pampat di tengah dan ide sepertinya hanya berpusat pada memberikan bola kepada Florian Wirtz, dan setelah itu biarkan sang bintang yang menentukan.

Foto: Riiana Izzietova

Memang salah satu alasan Leverkusen buntu juga karena St. Pauli mampu bertahan dengan sangat baik. Mereka meminimalisir ruang buat Leverkusen untuk berkreasi, menerapkan man-to-man marking, dan bergerak agresif untuk melakukan duel ketika Leverkusen masuk ke area mereka—terutama di sepertiga akhir.

Namun, kebuntuan Leverkusen juga berarti kebuntuan Xabi Alonso. Well, dia merupakan pelatih yang terkenal dengan idenya. Musim lalu, ide segarnya mampu membuat Leverkusen menjadi kampiun di Bundesliga dan DFB Pokal. Mereka begitu dominan, sangat-sangat sulit dikalahkan.

Alonso masih sama musim ini. Ia masih pelatih yang memiliki ide yang jelas. Gaya permainan timnya masih menunjukkan identitas seperti musim lalu. Akan tetapi, di sinilah masalahnya: Cara bermain Leverkusen secara garis besar masih sama dan itu dipelajari oleh setiap tim yang akan menghadapi mereka.

Alonso melakukan beberapa perubahan untuk menjawab itu: Ia tak selalu kekeuh akan pola tiga bek dan cukup sering menggunakan pola empat bek, terutama saat timnya memegang kendali bola. Ia juga tak selalu menggunakan nomor 10 kembar di depan untuk mengapit striker, mengombinasikan itu dengan menggunakan dua pemain sayap yang lebih acap berdiri melebar.

Namun, variasi yang diberikan Alonso kepada para pemainnya acap tak berjalan sesuai ekspektasi di atas lapangan. Pada konferensi pers pasca-laga vs St. Pauli itu, ia mengatakan bahwa ada beberapa strategi yang tak berjalan sesuai rencana—yang menyebabkan timnya bermain buruk di atas lapangan.

Sementara sebaliknya, strategi-strategi yang diberikan Alexander Blessin berhasil diejawantahkan dengan baik oleh pasukannya. Bahkan pada babak dua Blessin memberikan kredit buat para pemainnya karena mampu meredam Wirtz, yang mana berarti juga mampu memampatkan serangan Leverkusen.

Foto: Riiana Izzietova

Masalah Leverkusen sepanjang musim ini memang terlihat pada bagaimana mereka kekurangan api di aspek ofensif. Musim lalu mereka mampu menciptakan rerata 3.79 angka expected goals (xG) + expected assisted goals (xAG) per 90 menit. Namun, musim ini angkanya menurun menjadi 3.03.

Ketergantungan terhadap Wirtz terlihat begitu jelas. Tak ada pemain yang mampu menunjang kreativitas sebagaimana Wirtz. Granit Xhaka menjadi pemain kedua dengan jumlah assist terbanyak, tapi ia bukanlah seorang playmaker. Sementara pemain depan macam lain tak mampu menjadi kreator ulung buat tim.

Soal urusan mencetak gol juga sama. Memang Patrik Schick mampu hadir menjadi pencetak gol ulung, tapi itu tak cukup. Selain dirinya, tak ada pemain yang mampu mencetak dua digit gol musim ini Boniface, dengan berbagai permasalahannya, tak terlalu konsisten seperti musim lalu.

***

Rumor menyebut bahwa Alonso saat ini jadi kandidat terkuat untuk menjadi pengganti Carlo Ancelotti di Real Madrid. Sebuah rumor yang terdengar masuk akal, mengingat Madrid saat ini membutuhkan pelatih yang punya sistem lebih baik dan Alonso, yang juga berstatus sebagai mantan pemain, memiliki hal tersebut.

Namun, rasanya kedua pihak harus lebih dulu memperbaiki diri masing-masing. Manajemen Madrid harus lebih dulu meyakinkan para pemain untuk percaya pada proyek Alonso, meski sang pelatih terbilang masih belia dalam pekerjaannya dan tak kaya pengalaman seperti Ancelotti, misalnya.

Kedua, Manajemen Madrid rasanya juga perlu membuat skuadnya tak timpang di depan, tengah, dan belakang. Untuk menjadi tim yang bisa menjalankan sistem pelatih dengan baik, Madrid butuh keseimbangan dalam skuadnya. Mereka harus menemukan pengganti Toni Kroos, dan Luka Modric juga berada di pengujung karier.

Lini belakang juga butuh tambahan, mengingat betapa rapuhnya lini tersebut ketika badai cedera datang seperti ini. Dan Madrid butuh penyerang tengah yang mampu menjadi target dan buas di kotak penalti ketimbang menimbun youngster yang lebih suka berlari ke sana ke mari.

Di satu sisi, Alonso juga harus memperkaya idenya lagi. Ia sudah punya banyak ide yang terbukti bagus di Leverkusen, tapi di Madrid situasinya berbeda. Ia akan memiliki pemain-pemain bintang yang terbiasa bermain dalam sistem yang mengedepankan kebebasan individu. Alonso harus menemukan formula yang tepat untuk mengakomodir itu.

Foto: Riiana Izzietova

Bukan, bukan berarti ia harus melunturkan idealismenya. Namun, ia harus menemukan platform yang tepat untuk membuat pemain seperti Vinicius Junior, Kylian Mbappe, dan Jude Bellingham mampu bersinar secara bersamaan. Sebab, Vinicius, misalnya, tumbuh besar di sistem Ancelotti yang memberinya kebebasan untuk mengambil banyak keputusan di lini depan.

Mbappe bukan pemain yang patuh dalam sistem. Bisa terlihat jelas bagaimana ia acap abai untuk memberikan effort lebih ketika timnya berada dalam fase bertahan. Dan ini akan merugikan timnya Alonso yang membutuhkan kolektivitas di segala fase. Atau Bellingham, yang acap terlihat berbeda ketika bermain untuk Inggris yang notabene memiliki sistem yang lebih rigid ketimbang Madrid.

Alonso jelas harus menyiapkan sistem yang membuat timnya mampu menjadi kuat secara kolektif di seluruh fase, seperti apa yang terlihat dari permainan Leverkusen musim lalu. Sebab itulah yang dibutuhkan Madrid, jika ia nanti benar-benar ditunjuk untuk menjadi pengganti Ancelotti.

Alonso mungkin juga tak akan bersua Blessin yang mampu meredam taktiknya, atau pelatih-pelatih lain yang sudah mulai paham cara kerja timnya. Namun, di Madrid nanti, ia akan menghadapi pelatih-pelatih lain di Liga Champions yang juga punya ide yang tak kalah cerdas, yang bisa menjawab taktiknya dengan lugas.