Arogansi Jose Mourinho

Kalau Mourinho sedemikian berharapnya pada pemain-pemainnya untuk membuat sebuah keajaiban, mengapa ia masih saja memilah-milah antara seteru dan sekutu?
Jose Mourinho adalah orang yang menyenangkan kalau dia adalah sekutumu. Di luar itu, jangan banyak berharap.
Tidak semua bisa punya kedekatan personal dengan Mourinho. Tidak semua bisa menjadi Marco Materazzi, yang bisa mendapatkan rangkulan hangat sebagai salam perpisahan.
Selebihnya, barangkali hanya hubungan transaksional belaka. Kalau kamu bisa menguntungkan Mourinho, kamu mungkin akan ia terima dengan baik. Kalau tidak, ya, sudah.
Sebetulnya ada cara untuk meluluhkan tembok dengan Mourinho. Kamu cuma perlu mendengarkan apa yang dia minta dan menurutinya dengan sepenuh hati.
Sebagai orang yang gemar bermain-main dengan aspek psikologis, juga berperang urat syaraf, Mourinho terbiasa mengontrol segala sesuatu di sekelilingnya supaya bergerak sesuai kemauannya.
Sikapnya dalam sebuah pertandingan juga tidak jauh berbeda. Kamu mungkin bisa mengkritiknya bermain negatif, tetapi besar kemungkinan Mourinho tidak peduli.
Asalkan hasil akhir pertandingan menguntungkan timnya, itu sudah lebih dari cukup. Mourinho (dan timnya) boleh jadi tidak mendominasi, tapi mereka mengontrol pertandingan.
Manakala kamu sebal tim jagoanmu tidak bisa menembus pertahanan tim Mourinho—dan ujung-ujungnya jadi frustrasi—, boleh jadi mereka sudah berada dalam kontrol Mourinho. Pertandingan itu, suka atau tidak suka, sudah bergerak ke arah yang dia mau.
Namun, mengontrol sekelilingmu untuk berjalan sesuai maumu bukan perkara mudah. Ia tidak bekerja dalam sekejap. Mourinho paham itu.
Oleh karena itu, ada banyak kerja di belakang pertandingan yang ia lakukan. Perang urat saraf yang kerap kita saksikan itu hanya salah satunya. Sisanya, adalah bagaimana membangun tim sesuai maunya.
Tidak sulit memilih mana tim terbaik Mourinho. Kita bisa menyebut FC Porto 2003/04, Chelsea pada 2004/05 dan 2005/06, atau Inter 2009/10. Tim-tim itu tidak hanya berisikan pemain-pemain yang atributnya sesuai dengan keinginan Mourinho, tetapi juga memiliki harmoni.
Jarang betul Mourinho sukses tanpa harmoni yang terjaga di dalam skuadnya. Satu kali saja dia bentrok dengan pemain di dalam skuadnya, jalan jadi berlubang.
Repotnya, Mourinho tidak pernah berusaha menyembunyikan diri ketika tidak menyukai sesuatu. Ada pemain yang menurutnya tidak becus, umpankan saja kepada media.
Luke Shaw pernah mengalami itu di Manchester United, lalu kemudian Dele Alli dan Tanguy Ndombele di Tottenham Hotspur. Repotnya, tidak semuanya merespons sikap keras Mourinho dengan terbuka. Sisanya, biasanya, menyimpan dendam.
[Baca Juga: Bukan Neverland untuk Luke Shaw]
Ndombele adalah salah satu yang merespons sikap Mourinho dengan terbuka. Dalam sebuah wawancara, gelandang asal Prancis itu mengakui bahwa ia menurunkan egonya demi kepentingan tim.
[Baca Juga: Mesin Baru Tottenham Hotspur Itu adalah Tanguy Ndombele]
Hasilnya pun manjur. Ndombele berubah dari pemain yang tertepikan menjadi andalan The Lilywhites musim ini. Kasus Ndombele adalah satu dari sekian banyak cerita tough love Mourinho yang berhasil.
Namun, hal serupa tidak bekerja pada Alli ataupun—yang paling anyar—Serge Aurier. Alli betul-betul hilang dari peredaran, sementara Aurier, per laporan The Athletic, baru-baru berselisih dengan Mourinho pada pergantian babak melawan Liverpool.
Pada pertandingan tersebut, Mourinho mengganti Aurier dengan Harry Winks pada babak kedua. Tujuannya, untuk mengubah formasi Spurs, dari 3-4-3 menjadi 4-2-3-1.
Dengan situasi tertinggal 0-1 pada babak pertama, Mourinho merasa bahwa bermain 4-2-3-1 pada babak kedua bisa memberikan keseimbangan. Namun, Aurier tidak suka.
Ia kemudian ngambek dan memilih pulang ke rumah sebelum pertandingan berakhir. Jeda turun minum yang semestinya Mourinho gunakan untuk membenahi tim terbuang percuma karena perdebatannya dengan Aurier.
Alhasil, rencana Mourinho tak berjalan lancar. Pada babak kedua, Spurs kebobolan dua gol lagi dan Liverpool menang 3-1.
Menurut Jack Pitt-Brooke, jurnalis The Athletic yang melaporkan kejadian tersebut, selalu ada strategi dan politik di balik setiap keputusan Mourinho. Ketika ia menjadikan seseorang atau sekelompok pemain sebagai kambing hitam, sesungguhnya ia sedang menantikan reaksi positif.
Pada kekalahan melawan Liverpool itu, Mourinho mengkritik habis divisi pertahanan timnya di hadapan jurnalis pada konferensi pers. Ini bukan pertama kalinya Mourinho melakukan eksekusi di depan umum.
Ketika ia kecewa pada hasil 3-3 melawan West Ham United, Oktober 2020, Spurs merespons dengan positif. The Lilywhites menang 9 kali dalam 12 laga di semua kompetisi setelahnya, 8 di antaranya berakhir dengan clean sheet.
Tentu saja, kesuksesan itu bukan hanya perkara pemain yang merespons dengan tepat kekecewaan pelatihnya, melainkan juga disertai perubahan taktis. Selain bertahan lebih dalam, para pemain Spurs juga menjadi lebih disiplin.
Masalahnya, berulang kali memarahi pemain dan berharap mereka merespons dengan bagus adalah perjudian yang teramat mahal. Kalau tidak berhasil, hasil keseluruhan tim yang jadi taruhannya.
Setelah kekalahan dari Liverpool itu, Spurs tak serta-merta bangkit. Pada pertandingan Premier League berikutnya, melawan tuan rumah Brighton and Hove Albion, mereka takluk 0-1.
Mourinho pun sekali lagi berada di dalam limbo. Sudah banyak pendukung Spurs meminta dirinya untuk cepat-cepat didepak.
Sekali lagi, Mourinho hanya bisa berteman dengan dirinya sendiri. Sudah sering betul arogansinya memukul balik.
Di Real Madrid, selain berselisih dengan figur penting seperti Iker Casillas, ada anekdot lain yang mengatakan bahwa ia terlalu bergantung kepada respons individual.
Mourinho pernah mengatakan bahwa keberhasilan lini depan Madrid tampil impresif adalah berkat apa-apa yang ia rancang di sesi latihan. Kejelian pemain-pemain Madrid dalam melakukan pergerakan ketika menyerang dan menempati space, semuanya karena metode latihannya.
Namun, menurut buku “The Special One: The Dark Side of Jose Mourinho” yang ditulis oleh Diego Torres, para pemain menertawakan klaim tersebut.
Menurut mereka, Mourinho tidak pernah memberikan instruksi khusus. Para pemain acap bingung harus bersikap bagaimana ketika menguasai bola di sepertiga akhir lapangan. Kalaupun akhirnya Madrid terlihat oke saat menyerang, itu karena solusi yang dipikirkan sendiri oleh pemain-pemain depan mereka.
Cerita itu terjadi pada 2011. Kini, hampir sepuluh tahun setelah kejadian itu, tim Mourinho masih menunjukkan gejala yang sama: Para pemainnya bingung harus bertindak bagaimana ketika menguasai bola.
Cerita yang sama sesungguhnya pernah terjadi pada Manchester United; mereka pernah terlihat bingung ketika harus membangun serangan. Ini yang kemudian membuat permainan United di tangan Mourinho terasa amat hambar.
Kalau Mourinho sedemikian berharapnya pada pemain-pemainnya untuk membuat sebuah keajaiban, mengapa ia masih saja memilah-milah antara seteru dan sekutu?