Arsenal, Tottenham, dan Kebencian yang Berkelindan

Twitter @thfcnostalgia

Arsenal dan Tottenham awalnya tak sedekat ini. Sampai akhirnya mereka begitu dekat, bergesekan, dan saling bertubrukan sepanjang hayat.

Jarak tak selalu harus dilawan. Terkadang kedekatan justru memunculkan ancaman. Kalaupun harus, persaingan adalah salah satu konsekuensinya. Lebih buruknya lagi: Kebencian. Arsenal dan Totenham menjadi bukti nyatanya.

Tottenham lahir di London Utara 138 tahun silam. Sementara Arsenal berdiri empat tahun setelahnya di Woolwich, London Tenggara, sekitar 16 mil dari mereka. 16 mil itulah yang memisahkan keduanya dari rivalitas. Bahkan saat Tottenham dan Arsenal pertama kali bentrok pada 1887.

Hingga akhirnya Henry Norris membeli Arsenal pada tahun 1910. Sadar kalau proyeknya bakal seret di Woolwich, Norris kemudian berencana memindahkannya ke London Utara.

Tottenham tak terima. Atas nama eksistensi, mereka berupaya mencegah relokasi Arsenal. Wong, mereka sudah jadi akamsi London Utara lebih 28 tahun lamanya.

Namun, Norris bukan orang sembarangan. Dia adalah pengusaha properti sekaligus pejabat daerah. Kucuran dana serta koneksi Norris kemudian mempermudah misi Arsenal buat pindah.

Pada 1913, Arsenal akhirnya resmi bermigrasi ke Highbury. Mereka cuma terpisah 4 mil dari White Hart Lane. Perayaan itu lantas mereka iringi dengan pergantian nama dari Woolwich Arsenal menjadi Arsenal.

Kebencian Tottenham makin menggunung setelah Arsenal mendesak buat bergabung ke Divisi Pertama (yang akhirnya menjadi Premier League) pada 1919. Usai liga dibekukan akibat Perang Dunia I, Federasi Liga Inggris memutuskan untuk menambah 2 tim buat mentas di Divisi Pertama. Kebetulan Tottenham finis di posisi paling buncit, satu setrip di bawah Chelsea.

Harusnya, sih, Tottenham aman seperti Chelsea karena FA sudah mempromosikan Derby County dan Preston North End yang notabene merupakan tim teratas Divisi Kedua. Namun, FA tak berniat menghapus degradasi dan malah mengadakan voting klub untuk memperebutkan satu slot tersisa.

Tottenham--sebagai sang juru kunci--mau tak mau kudu beradu dalam jajak pendapat. Mereka bersaing dengan klub Divisi Kedua seperti Barnsley, Wolverhampton Wanderers, Birmingham, Hull City, Nottingham Forest, dan Arsenal.

Ajaib, justru Arsenal yang mendapatkan voting tertinggi sebanyak 18 suara. Padahal, mereka cuma nangkring di peringkat keenam pada Divisi Kedua. Tottenham yang cuma mendapatkan delapan suara harus turun dari divisi teratas.


Tottenham memang sukses comeback ke Divisi Pertama semusim kemudian dan bertahan sewindu di sana. Namun, Arsenal berbeda. Lebih dari sekadar resisten, gelar demi gelar sukses mereka panen.

Bersama Herbert Chapman, Arsenal merengkuh titel pertama pada musim 1930/31. Ini sekaligus mengukuhkan mereka sebagai tim London pertama yang menjuarainya. Hegemoni Arsenal makin kukuh; 5 gelar juara liga mereka sabet sebelum Perang Dunia II pecah.

Tottenham? Mereka sibuk naik-turun divisi. Bahkan mereka nyangkut di Divisi Kedua hingga periode 1949/50. Tottenham 0 gelar, Arsenal 6.

Saat Tottenham sukses meraih gelar pertamanya, Arsenal sudah jauh di depan. Pun saat memasuki era Premier League, makin dalam saja jurang yang pemisah keduanya. Arsenal dengan 10 gelar plus 3 titel era Premier League, sedangkan Tottenham baru sepasang trofi --yang semuanya diraih di masa lampau.

Apakah aspek finansial jadi faktor pembeda Arsenal dan Tottenham? Tidak juga. Nyatanya Tottenham bukan klub miskin, setidaknya mereka tidak pelit untuk urusan duit.

Pada musim 2001/02, Tottenham tercatat telah menggelontorkan 25 juta poundsterling buat belanja pemain. Cuma 4 juta lebih sedikit dari Arsenal. Tiga musim setelahnya, Tottenham malah lebih hedon ketimbang Arsenal. 42 juta poundsterling mereka habiskan di lantai transfer --nyaris 4 kali lipat dari total belanjaan Arsenal pada periode yang sama.

Bila dikalkulasi, Tottenham sudah menggelontorkan 641 juta poundsterling dari 2001/02 sampai 2014/15. Jauh lebih boros dibanding Arsenal yang cuma mengeluarkan 375 juta poundsterling.

Duit bukan faktor utama dari diferensiasi keduanya. Masih ada aspek penting lainnya. Pemilihan pelatih salah satunya. Lihat bagaimana Tottenham telah berganti 14 pelatih berbeda saat Arsenal stay dengan Arsene Wenger. Cukup jadi bukti bahwa manajemen tim Tottenham belum stabil.

Sebaliknya, Arsenal paham betul apa yang mereka mau dan apa yang mereka butuhkan. Itulah mengapa perekrutan pemain The Gunners lebih efektif. Thierry Henry, Cesc Fabregas, Robin van Persie, dan Laurent Koscielny adalah sebagian contohnya.

Well
, Arsenal juga pernah menggaet aset Tottenham. Demikian sebaliknya. Total ada 18 pemain yang pernah membela keduanya. Laiknya derbi besar lainnya, hengkang ke tim lawan bebuyutan kerap memunculkan banyak ocehan. Ada yang dipuja ada yang dicerca.

Pat Jennings kebagian yang pertama. Meski sudah mengecap 591 pertandingan di lintas kompetisi buat Tottenham, kepergiaannya ke Arsenal masih direstui. Toh, pada akhirnya Jennings balik lagi setelah 8 tahun pergi.

Dan tak ada yang lebih menyakitkan selain kepindahan Sol Campbell. Sembilan musim tumbuh di White Hart Lane tak berarti apa-apa buatnya. Janjinya untuk tak pindah ke Arsenal cuma jadi pepesan kosong. Campbell mengabaikan kontrak baru dari Tottenham dan pergi ke Arsenal dengan cuma-cuma.

Kepindahan ini seakan mendadak, tidak terendus media. Wenger ingat betul bagaimana ekspresi para jurnalis saat dia memperkenalkan Campbell sebagai pemain Arsenal. Pasalnya, waktu itu para jurnalis menyangka Arsenal bakal memperkenalkan kiper Richard Wright.

“Saya ingat konferensi persnya, ketika saya mengatakan kami akan mengumumkan seorang pemain. Tidak ada yang muncul. Hanya ada dua orang jurnalis di sana. Saya tidak akan pernah melupakan wajah pers ketika Sol masuk. 'Sol Campbell dari Tottenham', mereka tidak dapat mempercayainya," kata Wenger seperti dilansir AFTV.

Arsenal boleh bahagia. Namun, buat Tottenham, ini bencana. Fans mereka murka. Rasa sakit hati itu meledak dan divokalkan dengan kata 'Judas'. Julukan yang mereka anggap tepat buat Campbell si pengkhianat.

Namun, Tottenham tak melulu jadi objek penderita. Mereka pernah diperkuat David Bentley, William Gallas, dan Emmanuel Adebayor yang merupakan mantan pemain-pemain Arsenal.

Masterpiece Tottenham, tentu saja, Harry Kane. Pada 2001, Arsenal luput menimbang bakat Kane dan melepasnya. Tottenham kemudian menampungnya tiga tahun berselang. Siapa yang menyangka pada akhirnya Kane jadi striker terbaik yang pernah dimiliki Tottenham.



Sejarah tak berbohong. Arsenal dan Tottenham memang terpisahkan oleh prestasi. Kesenjangan ini makin membuat Arsenal jemawa. Superioritas yang kemudian diwujudkan dalam St Totteringham's Day. Julian Shulman, salah seorang fans Arsenal, mencetuskannya setelah Arsenal berhasil finis di atas Tottenham pada 2002.

St Totteringham's Day menjadi ledekan yang dirayakan nyaris tiap tahun oleh para pendukung Arsenal. Sampai akhirnya mereka tak pernah lagi berpesta sejak musim 2017/18. Alasannya, ya, karena Tottenham rutin finis di atas Arsenal sampai sekarang.

Titik balik Tottenham terjadi di periode 2015/16. Di bawah rezim Mauricio Pochettino The Lilywhites menemukan bentuk terbaiknya. Dari segi permainan maupun kerangka tim.

Tak ada lagi pembelian ngawur macam Roberto Soldado, Kazuyuki Toda atau Ilie Dumitrescu. Kalau pun ada, itu di-cover dengan baik oleh para pemain potensial macam Kane, Son Heung-min, dan Christian Eriksen.

Tottenham bahkan sukses mencapai posisi kedua di musim 2016/17. Itu jadi torehan terbaik mereka sejak 1962/63. Tapi, ya, cuma itu yang bisa dibanggakan. Mereka masih nihil gelar. Piala Liga 12 tahun silam jadi titel terakhir Tottenham sampai sekarang.

Namun, angin segar berembus ke Tottenham. Bersama Jose Mourinho, mereka mendapatkan momentum. Hugo Lloris cs. tampil impresif dan memimpin tabel klasemen Premier League.





Arsenal tak lebih baik. Inkonsistensi mulai jadi karib mereka sejak pertengahan 2000-an. Bila dirunut, 16 musim sudah mereka lewati tanpa gelar Premier League. Cuma Piala FA dan Community Shield yang jadi hiburannya. Yah, catatan yang cukup sergut buat klub tersukses ketiga di Inggris.

Pun di musim ini. Kejeniusan Mikel Arteta nyatanya belum cukup mengembalikan martabat Arsenal. Lini depan tumpul. Pertahanan keropos. Rasio kemenangan Arsenal cuma menyentuh 40%. Jadi jangan heran kalau mereka cuma ngepos di peringkat 14 sekarang.

Minggu (7/12/20) Tottenham dan Arsenal kembali berjumpa. Pertemuan dengan derajat yang berbeda. Tottenham sebagai pemuncak klasemen versus Arsenal yang inkonsisten. Siapa menang?