AS Roma dan Jose Mourinho yang Tak Seflamboyan Vespa

Mural Jose Mourinho pada sebuah sudut di kota Roma. Foto: @Footballitalia.

Kisah-kisah soal Jose Mourinho tidak pernah berbicara soal esok hari. Yang ia tahu adalah bagaimana caranya menang hari ini dan persetan dengan esok hari.

Di Roma, Jose Mourinho boleh jadi menghadapi panggung penghakiman: Bakal dilempari cacian atau masyhur karena pemujaan.

Seumur hidup dan sepanjang kariernya sebagai pelatih, Mourinho selalu dikenal sebagai problem fixer (pemecah masalah). Barangkali, ia memandang hidup sebagai balok-balok kayu yang manakala dianggapnya ada yang salah kudu dibongkar pasang dan disusun ulang sesuai maunya.

Bukan kebetulan juga kalau karier Mourinho mulai terangkat setelah menjadi penerjemah. Dialah yang menjadi jembatan dan mendobrak kendala bahasa ketika Sir Bobby Robson menjadi pelatih di Porto dan Barcelona. Tak ada Mourinho, tak lempeng perjalanan Robson di Iberia dan Catalunya.

Ketika Robson pergi meninggalkan Barcelona—setelah hanya semusim menjadi pelatih—Mourinho diminta oleh sang mentor untuk menetap. Kepada suksesornya, Louis van Gaal, Robson meminta supaya Mourinho diikutsertakan dalam staf kepelatihannya sebagai asisten. Meski masih hijau, Robson melihat sesuatu di dalam diri pria muda keras kepala itu.

Mengingat Van Gaal adalah orang dengan ego sebesar balon udara, merupakan sebuah keajaiban ia mau mendengarkan permintaan Robson. Namun, kelak Van Gaal menyadari bahwa mengecilkan kepalanya barang sejenak dan mendengar masukan orang tidaklah seburuk yang ia sangka-sangka.

Bagi Van Gaal, Mourinho lebih dari sekadar pembisik. Ia adalah mata-mata sekaligus kepanjangan tangannya. Mourinho adalah orang pertama yang bakal Van Gaal tanyai soal bagaimana tim lawan bermain. Dari situlah bakat Mourinho terasah.

Suatu ketika, Van Gaal memercayainya untuk memegang Barcelona B dan bahkan tim utama untuk beberapa kesempatan dalan laga turnamen domestik. “Lama-lama, saya lebih mendengarkan dirinya ketimbang asisten-asisten saya yang lain,” kata Van Gaal.

Berkat kepercayaan Van Gaal, Mourinho mengembangkan sendiri gaya kepelatihannya. Yang aneh, Mourinho berkembang sebagai pelatih di lingkungan Barcelona yang amat mengedepankan sepak bola proaktif, sementara gaya permainan yang ia usung justru amat reaktif.

Di mata Mourinho, tim yang makin sedikit menguasai bola makin kecil persentasenya untuk melakukan kesalahan. Sebisa mungkin, Mourinho bakal menjadikan timnya sebagai pihak yang paling minim melakukan kesalahan itu.

Oleh karena itu, ia selalu menempatkan timnya sebagai penawar, sedangkan tim lawan adalah problem. Segala sesuatu yang dilakukan Mourinho adalah menyiapkan timnya untuk menelanjangi tim lawan sampai ke tulang. Ia mempersetankan segala tetek-bengek bernama filosofi sepak bola. Satu-satunya filosofi yang ia tahu adalah kemenangan.

Dengan jalan seperti itu, Mourinho mencapai puncak kejayaan. Tim-tim terbaiknya biasanya berisikan sekelompok pemain yang rela menabrak tembok beton hanya untuknya. Mereka bergerak dengan satu tujuan: Bagaimana caranya menundukkan lawan dengan menihilkan mereka.

Ketika tren sepak bola berkembang dan tim-tim yang bermain proaktif mulai mengambil alih dominasi, Mourinho perlahan-lahan mulai terterpikan. Gaya main yang ia terapkan memang masih bisa mendatangkan beberapa trofi, termasuk gelar juara Premier League pada 2015. Namun, trofi-trofi itu tidak bisa menutupi rupa jelek yang juga ia bawa: Bahwa timnya susah betul untuk tampil konsisten sepanjang musim.

Karena Mourinho adalah seorang pemecah masalah, apa-apa yang ia lakukan adalah untuk membenahi problem yang sedang ada di depan mata. Maka, solusi-solusi yang ia berikan, juga usulan pemain yang ingin dibeli, semata-mata adalah untuk quick fix (perbaikan cepat).

Jangan heran kalau Mourinho paling lama menukangi sebuah klub hanya sekitar tiga musim atau bahkan kurang. Ia memang mendesain semuanya hanya untuk hari ini saja tanpa berpikir jauh-jauh ke masa yang akan datang. Semua yang ia lakukan adalah untuk dapat trofi atau menang hari ini, sementara esok adalah urusan belakangan.

Mourinho yang reaktif itu memang masih memiliki pengagum. Harry Kane, kapten Tottenham Hotspur itu, adalah salah satunya. Meski perjalanan Mourinho bersama Spurs dirundung banyak problem, ia masih memiliki beberapa pendukung di ruang ganti, salah satunya Kane.

Kendati begitu, beberapa pemain lainnya tidak sependapat. Menurut laporan Jack Pitt-Brooke di The Athletic, sejumlah pemain bingung karena Mourinho tidak memiliki gaya permainan atau taktik yang saklek. Yang ia lakukan adalah menyiapkan tim untuk menghadapi lawan berikutnya. Oleh karena itu, yang Spurs lakukan di sesi latihan selalu bergonta-ganti, beradaptasi dengan lawan yang akan dihadapi.

Dengan segala pro dan kontra yang mengikutinya, Mourinho terbang ke Roma. Di kota abadi itu, ada tim lain yang membutuhkan dirinya untuk memecahkan masalah. Ia adalah AS Roma. Dengan sederet pencapaian yang pernah ia dapatkan, Mourinho mudah saja mendapatkan pemujaan. Namun, karena kisah-kisah tentangnya tidak pernah berbicara soal esok hari, kita tidak pernah tahu apa yang menanti di depan.

***

Mourinho cuma pernah dua tahun melatih di Italia. Meskipun begitu pendek, cerita yang ia tinggalkan nyaris sepanjang tol A1 dari Milan ke Napoli. Dari mulai sesumbar bagaimana ia menguasai bahasa Italia dengan cepat sampai gesture tangan diborgol ketika ia merasa wasit tidak adil. Karena tingkahnya yang terakhir, Mourinho dapat denda dan larangan menemani tim tiga laga.

Namun, begitulah Mourinho. Ia justru banyak dipuja karena sosoknya yang bengal dan sulit betul untuk diatur. Jagoan boleh jadi mendapatkan segalanya, tetapi seorang tokoh antagonis biasanya hidup lebih lama dan begitulah, sepertinya, yang ingin Mourinho tunjukkan kepada para pembencinya.

Ketika AS Roma mengumumkan bahwa Mourinho resmi menjadi pelatih baru mereka, para pendukung Giallorossi langsung mengabadikannya dalam sebuah mural. Di tembok dekil itu, mereka menggambarkan Mourinho dalam tampilan yang amat berbeda.

Mourinho pada mural itu mengendarai sebuah Vespa berlambang serigala Roma. Ia mengenakan setelan jas, lengkap dengan dasi, dan syal berwarna kuning-merah—warna kebesaran I Lupi—sebagai pemanis. Sungguh flamboyan dan penuh gaya.

Akan tetapi, Mourinho yang flamboyan dan penuh gaya itu adalah ilusi. Mourinho yang asli adalah seorang sersan yang siap menghardik kapan pun. Baginya, bermain di atas rumput hijau adalah turun ke medan perang. Tidak ada urusan dengan gaya, pemain-pemainnya cuma perlu melumpuhkan lawan di lapangan.

Sesi pramusim pun tak ubahnya latihan di barak. Sebelum mengarungi musim yang sesungguhnya, Mourinho lebih dulu menjlentrehi pemain-pemainnya dengan berbagai alasan mengapa mereka salah dan dia benar. Sesi latihan para pemain Roma ia perhatikan secara menyeluruh. Drone dan layar besar dipergunakan untuk memantau setiap jengkal gerakan pemain.

Roma sebelum Mourinho, sesungguhnya, bukanlah Roma yang buruk-buruk amat, setidaknya kalau mau dilihat dari cara (atau katakanlah, niat) mereka bermain. Paulo Fonseca, yang dua musim menangani klub, adalah pelatih yang doyan sepak bola proaktif dan ofensif. Dalam benak Fonseca, sepak bola mesti dimainkan dengan mengeksploitasi setiap jengkal channel, entah kedua sisi lapangan, kedua area halfspace, dan bagian tengah.

Persoalannya, Roma sulit betul mendapatkan hasil atau pencapaian bagus. Dua musim bersama Fonseca, mereka cuma finis di urutan kelima dan ketujuh klasemen. Jika Roma pada akhirnya membutuhkan pencapaian yang lebih baik—dan semata-mata cuma berbicara soal hasil—mereka sudah berpaling kepada orang yang tepat.

Mourinho datang tidak untuk bermanis-manis ria. Dia datang untuk memberitahu satu per satu pemain Roma bahwa satu-satunya yang ia pedulikan adalah mendapatkan kemenangan di atas lapangan, entah bagaimanapun caranya. Cuplikan video dari ‘All or Nothing’ yang banyak beredar di dunia maya membuktikannya ketika ia melabeli pemain-pemain Tottenham sebagai sekelompok anak baik-baik. Mourinho tidak membutuhkan anak baik-baik, ia membutuhkan sekelompok bajingan di atas lapangan.

Di hadapan Roma yang gamang itu, ia mulai membenahi satu per satu aspek permainan tim. Salah satu problem yang jamak ditemukan Roma pada musim lalu atau musim-musim sebelumnya adalah bagaimana sistem dan taktik melupakan man-management itu sendiri. Dua situs milik pendukung Roma, Chiesa Di Totti dan Il Romanista, bersepakat soal ini. Setelah berkutat pada dua pelatih yang amat mengandalkan sistem dan taktik pada diri Eusebio Di Francesco dan Fonseca, Roma akhirnya mengingkari dan berpaling dari apa yang mereka yakini sendiri.

Mourinho di sisi lain adalah pelatih yang lebih dulu mengedepankan man-management ketimbang urusan sistem atau taktik. Jika pemain-pemainnya ia rasa sudah berada dalam mindset dan level sesuai keinginannya, barulah ia berbicara urusan taktik. Bagi Mourinho, para pemainnya mesti memiliki work rate yang sama baiknya dengan kemampuan teknik.

Tentu saja proses mengasah pemain ala dirinya tidak selamanya mulus. Sering betul kita mendengar Mourinho bertengkar dengan pemain sampai-sampai menyebabkan suasana ruang ganti jadi tak enak. Pada kasus lain, ada pemain seperti Tanguy Ndombele yang sampai rela menurunkan ego demi mendapatkan rapor baik dari Mourinho. Bagi Ndombele, kerelaannya itu mendatangkan hal baik: Ia diganjar hadiah berupa jadi pemain spesial dalam skema Mourinho di Tottenham.

Per berbagai laporan di Italia, Mourinho kemungkinan bakal menendang 8 orang pemain yang ia rasa tak cocok dengan skemanya. Sebagai gantinya, ia menargetkan beberapa pemain yang boleh jadi memiliki karakteristik nyaris-nyaris mirip.

Di pos gelandang bertahan, misalnya, Mourinho menargetkan Pierre-Emile Hojbjerg dan Granit Xhaka. Hojbjerg tampil impresif sepanjang Euro 2020 ketika ia menjadi jangkar lini tengah Denmark, yang kemudian melaju sampai semifinal. Kepiawaian Hojbjerg menjadi penyeimbang sekaligus penyaring serangan lawan membuatnya masuk ke dalam UEFA Team of the Tournament.

Hal tak jauh berbeda, sesungguhnya, diperlihatkan Xhaka di Swiss. Karena memiliki rekan yang lebih mobile dalam diri Remo Freuler, gelandang 28 tahun punya beban yang lebih ringan karena bisa berkonsentrasi untuk meng-cover lini belakang dan lebih fokus pada aspek defensif. Jika Mourinho dan Roma mendapatkannya, besar kemungkinan Xhaka akan mengemban peran serupa.

Sepanjang perjalanannya sebagai pelatih, Mourinho pernah menggunakan berbagai macam formasi, dari 4-3-3, 4-3-1-2, dan 4-2-3-1. Namun, melihat kebiasaannya dalam beberapa musim terakhir, besar kemungkinan Mourinho akan bermain dengan 4-2-3-1 di Roma dengan 4-3-3 sebagai alternatifnya. Memainkan dua gelandang poros, dengan salah satunya betul-betul fokus pada aspek defensif sementara yang lainnya bergerak lebih mobile, bakal menjadikan Roma sebagai tim yang amat Mourinho.

Italia sendiri bukan tanah yang asing buat Mourinho. Ini adalah tanah kemungkinan, di mana seperti apa pun gaya bermain dan taktik yang diusung—asalkan memberikan kemenangan—bakal dihormati setinggi-tingginya. Mourinho sendiri pernah menyebut, pergantian taktik di Italia lebih mirip pertandingan catur. Dengan gaya Mourinho yang licin, semestinya ia bak kembali ke habitat aslinya di Serie A.

Meski demikian, Italia yang sekarang berbeda dengan Italia yang dahulu pernah Mourinho singgahi. Seiring berjalannya waktu, makin banyak tim Serie A yang memainkan sepak bola proaktif. Tak terkecuali tetangga Roma, Lazio, yang kini ditangani oleh Maurizio Sarri. Jika di Premier League Mourinho keteteran menghadapi tim-tim yang lebih proaktif, ada tanda tanya besar masih menggantung mengiringi kedatangannya ke Roma.