Atas Nama Iblis dan Penalti

Ilustrasi: Arif Utama

Manchester United yang sekarang bukan lagi kesebelasan yang dibenci sekaligus disegani, mereka cuma remah-remah dari bayangan masa lalu mereka saja.

Eric Cantona hidup seperti seorang jagoan di dalam mitos. Kamu bisa merekam sebaris atau dua baris kalimat tentangnya dan lantas bergumam dalam hati, apakah yang demikian sungguh-sungguh terjadi?

Cantona lahir di Marseille. Katanya, di sebuah gua yang sempat jadi persembunyian tentara Nazi di Perang Dunia II. Letaknya tidak jauh dari pinggiran kota. Kakek Cantona, yang berasal dari Sardinia, datang dan beranak-pinak di gua itu hingga lahirlah Cantona.

Semasa kecil, Cantona menjalani hidup sebagai bocah pinggiran. Kerjaannya adalah berjalan-jalan di kaki bukit dan menembaki burung lark dan woodcock. Ketika dewasa, ia menjadi pemberontak. Wasit ia maki, rekan satu tim ia gampar dengan sepatu, petinggi federasi pun ia bentak.

Jalan hidup Cantona yang tak biasa itu membuat Jeff Maysh suatu kali menulis di Run of Play bahwa ia tak ubahnya Iblis dalam ‘Paradise Lost’ karangan Milton. Kata Maysh, mengelu-elukan seorang bedebah tidak pernah semenyenangkan ini.

Maysh tidak mengada-ada. Entah sudah berapa banyak tindakan kontroversial Cantona yang semestinya sudah bikin dia jadi kriminal lapangan hijau. Andai namanya adalah Joey Barton dan kemampuan bermainnya biasa-biasa saja, Cantona cuma jadi seorang berandalan.

Beruntung yang namanya berkah itu ada. Cantona tidak sekadar punya kemampuan, tetapi juga memiliki keterampilan untuk bermain elegan. Untuk melengkapi kepingan kepribadiannya, ia juga memiliki karisma.

Kombinasi antara perangai yang lebih mirip tukang jagal dan elegansi serta karisma itu membuat Cantona seperti yang dibilang Maysh tadi: Bedebah yang enak betul untuk dielu-elukan.

Bedebah yang sedemikian charming-nya itu terlalu indah untuk sungguh-sungguh ada. Kisah bahwa ia lahir dan besar di gua dan kerap berburu untuk mengisi waktu luang cuma menambah kesan sureal dari asal-usul Cantona.

Kalau saya bilang bahwa sebetulnya kakek Cantona tidak benar-benar pindah ke gua, dan sudah lebih dulu membangun rumah di sekeliling dan di atas gua itu, mana cerita yang akan Anda percaya?

***

Cantona duduk di hadapan banyak orang pada sebuah hari di April 1995. “When the seagulls,” kata dia, sembari meneguk air, “follow the trawler, it is because they think sardines will be thrown into the sea. Thank you very much.”

Ia lalu menjalani hukuman dan menghilang dalam pengasingan.

Beberapa bulan sebelumnya, Cantona menendang seorang pendukung lawan yang menghinanya —sesuatu yang emoh ia sesali sampai hari ini. Konsekuensinya besar, baik untuk Cantona maupun Manchester United.

Cantona melakukan tindakan kriminal sungguhan, United pun terjerembab. Alex Ferguson mati-matian meyakinkan Cantona untuk tidak pensiun ketika si bedebah serius memikirkannya di tengah pengasingannya.

Bagi Ferguson, Cantona adalah anak yang (di)istimewa(kan). Di dalam skuat yang mulai memberikan ruang untuk sekelompok anak muda, dijejali berandalan macam Roy Keane dan Paul Ince, Cantona adalah paket lengkap: Bajingan sekaligus pemimpin karismatik yang seolah siap kapan pun memimpin pemberontakan, persis Iblis-nya Milton tadi.


Buat Ferguson punya paket lengkap seperti itu di dalam timnya adalah keharusan. United yang mendominasi era 90-an itu tidak sekadar dibenci, tetapi juga disegani. Mereka tak hanya punya pemain-pemain dengan tulang punggung keras —sehingga emoh untuk membungkuk, kecuali pada Ferguson—, tetapi juga flair (kepandaian).

Kombinasi antara karakter kuat dan flair itu menjadi DNA United-nya Ferguson sampai akhirnya ia pensiun pada 2013. Setelahnya, yang terjadi adalah sejarah.

***

Ketika Bruno Fernandes mengambil penalti pada laga melawan Tottenham Hotspur —dan berhasil mengeksekusinya dengan baik—, Anda tentu bisa membayangkan cemoohan macam apa yang terlontar pada United. Terlebih, pertandingan baru berjalan sekitar 2 menit.

Sepanjang musim 2019/20, United mendapatkan lebih dari 20 penalti, cukup untuk bikin siapa pun geleng-geleng kepala. Teorinya, tim mana pun yang lebih sering menyentuh bola di dalam kotak penalti lawan pasti punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan penalti. Namun, dalam kasus United tidak demikian.

Teori sang pelatih, Ole Gunnar Solskjaer, justru lebih sederhana. Menurutnya, karena pemain-pemain depan United terbilang lincah dan cepat, mau tak mau lawan mesti menghentikan mereka dengan jegalan.

Asumsi lain menyebut, Solskjaer sendiri sengaja memasang taktik yang memungkinkan pemain-pemainnya dijegal lawan di boks. Dari situ, penalti bisa mereka dapatkan

Apa pun itu, United sudah berhasil dalam satu hal: Bikin kesal lawan. Bedanya dengan era Cantona dulu, penilaian terhadap mereka cuma mentok di rasa kesal itu. Perkara bikin takut atau disegani lawan, sudah menguap entah ke mana.

Kepandiran Harry Maguire sebagai kapten dan mengorganisir pertahanan adalah remah-remah di hadapan karisma Cantona dan kepandaian yang dulu dimiliki United-nya Ferguson.

Saya tahu bahwa menengok dan mengais kejayaan masa lalu adalah hal percuma. Namun, melihat United bisa terjerembab dan kehilangan identitasnya begitu saja adalah komedi yang tak siapa pun bisa mengira.

Alih-alih bikin gemas karena menjadi tim yang bisa menggabungkan keculasan dan aplaus karena mereka bisa mengangkangi lawan, United justru mengundang kegemasan yang lain: Pekan berganti pekan, kok, ya, bodohnya masih sama saja?