Aturan Pemain Homegrown dan Bagaimana Klub-klub Premier League Mengakalinya

Foto: Arsenal

Jadi, siapa bilang peraturan homegrown yang dibuat UEFA itu tidak bisa diakali?

Transfer Joe Hart ke Tottenham Hotspur pada musim panas kali ini bukanlah semata urusan taktis. Spurs tak hanya mencari kiper pelapis Hugo Lloris--toh sebenarnya mereka sudah punya Paulo Gazzaniga yang pada musim lalu menunjukkan kualitas baik sebagai kiper kedua, tetapi juga melihat Hart sebagai peluang untuk 'mengakali' peraturan pemain homegrown.

Sebagai klub yang didominasi oleh pemain-pemain impor, 'Bunga Lili Putih' jelas khawatir akan peraturan tersebut. Minus Hart, di skuad Spurs musim 2020/21 ini, setidaknya tercatat ada tujuh pemain di skuad utama yang berstatus sebagai pemain homegrown. Mereka adalah Danny Rose, Matt Doherty, Harry Winks, Ben Davies, Ryan Sessegnon, Dele Alli, dan Harry Kane.

Jumlah itu pas-pasan dengan aturan UEFA yang mensyaratkan tiap klub Premier League harus memiliki setidaknya delapan pemain berstatus homegrown dari 25 nama yang didaftarkan setiap musimnya. Sebagai landasan, homegrown player dalam peraturan tersebut adalah pemain yang menghabiskan setidaknya tiga tahun di satu negara saat mereka berusia 15-21 tahun.

Dalam hal Premier League, pemain homegrown bisa diartikan sebagai mereka yang pernah tiga tahun berkarier di akademi klub-klub naungan FA selaku federasi sepak bola Inggris. Asal negaranya pun tak mesti Inggris. Boleh dari mana saja, yang penting, ya, tiga tahun pernah bermain di akademi klub-klub Inggris atau Wales.

Oleh karena itu, dalam kasus Spurs, Eric Dier tidaklah dihitung pemain homegrown meskipun dia berpaspor Inggris. Ini dikarenakan Dier mengenyam akademi di luar Inggris, tepatnya di Portugal bersama Sporting CP. Jadilah, sebelum kedatangan Hart, Spurs punya status waspada dalam peraturan ini. Apalagi salah satu pemain homegrown mereka musim lalu, yakni Kyle Walker-Peters, baru saja hengkang ke Southampton.

Praktik seperti yang dilakukan Spurs dengan merekrut Hart, yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat ini, untuk mengakali peraturan pemain homegrown juga pernah dilakukan klub-klub Premier League lainnya. Manchester City, misalnya. Pada musim lalu, mereka meminjam Scott Carson dari Derby County sebagai kiper ketiga. City juga membeli kembali Angelino dari dari PSV hanya demi memenuhi kuota pemain homegrown, meski sudah punya Benjamin Mendy dan Oleksandr Zinchenko di posisi full-back kiri.

Status City, ya, memang tak jauh berbeda dengan Spurs musim ini. Kebanyakan pemain non-homegrown dan minim pemain jebolan akademi klub Inggris. Ini tak lepas dari pemain yang dibelanjakan oleh City kebanyakan adalah nama-nama impor. Tak heran pula bahwa pada musim ini mereka memboyong Nathan Ake yang kebetulan berstatus sebagai pemain homegrown.

Begitu pula dengan Wolverhampton Wanderers. Wolves hanya memiliki lima pemain homegrown di skuad utama musim ini. Mau tak mau, Wolves cuma boleh mendaftarkan 22 pemain senior (usia 21 ke atas) musim ini. Jika mau mencapai 25 pemain, mereka kudu mendatangkan 3 pemain homegrown. Yang unik dari skuad mereka adalah pemain berpaspor Portugal yang dimiliki justru lebih banyak ketimbang pemain Inggris.

Sang juara bertahan Premier League, Liverpool, sebenarnya juga hampir serupa. Beruntung klub yang bermarkas di Anfield itu bisa mempromosikan pemain homegrown jebolan akademi sendiri seperti Curtis Jones dan Neco Williams. Padahal, jika melirik pemain dengan umur di atas 23 tahun, The Reds hanya memiliki empat pemain berstatus homegrown.

Klub-klub yang mampu mempromosikan para pemain akademi mereka secara reguler ke tim utama memang lebih mudah untuk berhadapan dengan peraturan homegrown ini. Selain Liverpool, ada Manchester United yang meski memiliki cukup banyak pemain impor,  tak perlu khawatir lagi dengan peraturan tersebut. Pasalnya, di sana muncul pemain-pemain dari akademi, mulai dari Marcus Rashford, Mason Greenwood, Andreas Pereira, Scott McTominay, hingga Brandon Williams.

Pun dengan Arsenal yang memang sejak bermusim-musim lalu sudah sering memenuhi kuota 25 pemainnya dengan nama-nama dari jebolan akademi mereka. Di musim ini, Hector Bellerin, Ainsley Maitland-Niles, Joe Willock, Bukayo Saka, Reiss Nelson, dan Eddie Nketiah jadi jebolan akademi mereka yang ada di skuad utama. Tentu saja mereka semua statusnya adalah pemain homegrown.

Peraturan pemain homegrown ini juga yang ditengarai jadi salah satu musabab tingginya harga pemain-pemain Inggris. Sebab nilai tawar mereka tak hanya perihal kemampuan taktis saja, tetapi juga karena mereka bisa memberikan nilai plus bagi klub dalam menghadapi peraturan pemain homegrown ini. Terlebih jumlah pemain Inggris (yang dinilai berkualitas buat tampil di Premier League) juga sedikit.

Karenanya tak heran jika ada pemain muda Inggris yang baru bagus sedikit saja harganya sudah tak keruan, apalagi kalau yang mengincar adalah klub-klub papan atas. Bagi klub-klub yang merasa tak punya banyak talenta di akademi untuk dipromosikan ke skuad utama, membeli pemain dengan status homegrown adalah sebuah jawaban.

Alih-alih mempromosikan para pemain mudanya, jalan pintaslah yang kerap dipilih. Padahal, aturan pemain homegrown ini sejatinya diterapkan agar talenta-talenta lokal terus bermunculan, akademi klub terus berkembang, dan klub-klub yang banyak duit tak mesti selalu menghambur-hamburkan uang untuk membeli pemain. Apalagi Inggris, khususnya Premier League, lebih dikenal sebagai liga yang jumlah pemain impornya jauh lebih banyak ketimbang pemain lokal.

Berdasarkan data Transfermarkt, ada 368 pemain asing di Premier League musim ini berbanding dengan hanya 219 pemain lokal. Dengan peraturan pemain homegrown yang masih bisa 'diakali', klub-klub yang punya uang pada akhirnya lebih suka membeli ketimbang coba mempromosikan pemain dari akademi mereka. Sebuah fenomena yang tentu saja tak diharapkan oleh FA.