Au Revoir, Gérard

Grafis: Arif Utama

Houllier mungkin tak sering diperbincangkan dan dipuja seperti Shankly, Paisley, Fagan, Dalglish, Benitez, atau Klopp. Namun, pengaruhnya untuk Liverpool tak kalah besar. Dia adalah juru selamat Liverpool dari jurang mediokeritas.

2018. Tur stadion Anfield. Saya lupa tepatnya di bagian tribune mana, tapi yang saya ingat saya tengah melewati tembok yang dihiasi foto-foto manajer hebat Liverpool. Bill Shankly, Bob Paisley, Joe Fagan, Kenny Dalglish, Rafa Benitez, sampai Juergen Klopp semua ada di tembok itu.

Nama-nama itu adalah sosok yang akan ditunjuk atau disebut banyak orang ketika berbicara tentang kesuksesan Liverpool. Shankly dipuja karena keberhasilannya membangkitkan Liverpool dari kesemenjanaan. Paisley dan Fagan membawa The Reds terbang tinggi di Eropa. Dalglish, juga dengan segala kehebatannya sebagai pemain, adalah sosok meneruskan kejayaan Liverpool di Inggris.

Kemudian ada Rafa Benitez yang mampu mengangkat kembali derajat Liverpool di Eropa. Dan Klopp, yang meski saat itu belum memenangkan apa pun untuk Liverpool, tapi tengah memberikan asa bahwa klub yang bermarkas di Anfield ini akan segera bangkit dan berjaya lagi (kelak, semuanya benar).

Di tembok itu, ada foto satu sosok manajer lain yang lebih jarang dibicarakan dan dipuja dibanding manajer-manajer yang dituliskan di atas. Wajahnya tak sesering itu muncul di banner atau bendera yang dibentangkan kopites di Anfield. Media sosial Liverpool juga jarang menuliskan namanya.

***

Gérard Houllier datang pertama kali ke Liverpool pada medio 1960-an. Kedatangannya itu tak ada hubungannya dengan sepak bola. Dia datang sebagai assisten pengajar di sekolah bahasa yang berada tak jauh dari Anfield. Namun, kebetulan, kedatang Houllier ke Liverpool berada di masa yang sama dengan masa kebangkitan klub di bawah Bill Shankly.

Liverpool tengah berapi-api dan mulai jadi pembicaraan. Houllier tak mau ketinggalan. Sejak di sana dia sudah jatuh cinta dengan kotanya dan tak ada salahnya juga untuk dia jatuh cinta dengan klub sepak bolanya. Pria Prancis itu pun mulai mengikuti Liverpool.

Houllier kemudian datang ke Anfield, berdiri di tribune The Kop, untuk merasakan pengalaman pertamanya menonton Liverpool berlaga secara langsung. Itu tanggal 16 September 1969 dan Liverpool sedang berlaga di ajang Piala UEFA (saat ini Liga Europa, red) menghadapi wakil Irlandia, Dundalk. Beruntungnya Houllier, dia langsung disuguhkan banyak gol karena pada malam itu Liverpool menang 10-0 atas lawannya.

Sayangnya, saat mulai jatuh cinta dengan Liverpool, dia harus kembali ke Prancis. Tugasnya sebagai asisten pengajar berakhir. Dan selepas kembali ke Prancis, dia memutuskan untuk melanjutkan karier sebagai pesepak bola hingga kemudian pada tahun 1973 memutuskan berkarier sebagai pelatih.

***

Pada sebuah siang di musim panas 1997, telepon Houllier berdering. Dia mengangkat dan orang yang berada di ujung telepon lainnya adalah Peter Robinson, Direktur Eksekutif Liverpool. Perbicangan siang itu singkat saja: Robinson menawarkan Houllier untuk kembali ke kota yang dicintainya sebegitu dalam dan Houllier menolak.

Robinson tentu saja tak menawarkan Houllier pekerjaan sebagai pengajar lagi. Kali ini Houllier diajak untuk bergabung dengan Liverpool sebagai manajer. Namun, Houllier langsung menolak karena dia masih ingin berada di Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) sebagai Direktur Teknik.

Kebetulan musim panas tahun berikutnya akan ada Piala Dunia dan Prancis jadi tuan rumah. Houllier punya asa untuk membantu negaranya jadi kampiun buat pertama kali. Karena itu dia menepikan tawaran Robinson. Houllier yang gigih kemudian berhasil mewujudkan ambisinya itu. Prancis jadi juara Piala Dunia 1998 di rumah sendiri.

***

Sejak musim panas 1997 itu, Houllier terus terngiang pangilan telepon dari Robinson. Maka setelah memastikan mimpinya membawa Prancis juara Piala Dunia 1998 sudah terwujud, salah satu hal pertama yang dilakukannya adalah menelepon Robinson kembali. Kali ini Houllier menyatakan kesiapan untuk kembali ke kota yang dicintainya, sebagai manajer Liverpool.

Pria yang juga pernah jadi pelatih Paris Saint-Germain (PSG) itu kemudian terbang ke Inggris dan menjadi Manajer Liverpool. Namun, di sini situasi uniknya. Dia menjadi Manajer Liverpool berbarengan dengan Roy Evans yang memang sedang menjabat ketika Houllier tiba. Maka muncullah manajer kembar di kubu The Reds.

Houllier sendiri datang saat Liverpool tidak baik-baik saja. Sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali trofi Liga Inggris datang ke Anfield. Malah, Liverpool terperosok ke jurang mediokeritas pada era 1990-an itu. Cuma gelar Piala FA dan Piala Liga yang mampu diraih.

Roy Evans sendiri adalah sosok yang membawa Liverpool meraih Piala Liga. Karena dia adalah anggota The Boot Room terakhir yang masih aktif di Liverpool saat itu, Evans ditugaskan untuk membawa kembali kejayaan yang pernah ditorehkan guru dan rekannya; Shankly, Paisley, Fagan, hingga Dalglish.

Namun, Evans kesulitan mewujudkannya. Tugas kepalang berat. Houllier pun menjadi sosok yang diharapkan bisa meringankan tugas Evans saat itu. Sayangnya, mereka hanya bertugas bersama beberapa bulan karena kemudian Evans mengundurkan diri. Dia lalu memberikan kepercayaan buat Houllier untuk seorang diri membawa Liverpool menjadi lebih baik.

***

Di masa-masa awal kepelatihan (tunggal) Houllier, ada banyak sekali masalah yang dibereskannya. Houllier mengubah program latihan Liverpool. Tak ada lagi ritual memulai bersiap dari Anfield, untuk kemudian berlari ke Melwood, dan memulai latihan. Latihan langsung dipusatkan di Melwood, bahkan muncul dua sesi: Pagi dan sore.

Houllier juga meminta Melwood dimodernisasi. Atas perintahnya kemudian berdirilah Millennium Pavillion yang juga menjadi kantor untuk para staf dan manajer Liverpool. Selain itu, Melwood juga jadi memiliki fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang berbagai kebutuhan Liverpool. Mulai dari ruang pers hingga lapangan uji tanding. Semua ada.

Houllier juga mengubah pola diet skuad Liverpool. Jika pada era Evans mereka dibebaskan untuk menyantap kacang merah serta sosis sebelum latihan, Houllier menerapkan diet ketat. Dia tak hanya menginginkan para pemainnya disiplin taktik, tapi juga pola makan. Houllier ingin para pemainnya menjadi lebih profesional.

Tak cuma itu, Houllier juga melepas pemain-pemain senior Liverpool yang dianggap sudah tidak bisa berkontribusi besar untuk klub. Nama macam Paul Ince yang notabene merupakan salah satu sosok dihormati di Liverpool saja dilepas oleh Houllier. Figur lain seperti David James, Oyvind Leonhardsen, hingga Bjorn Tore Kvarme kemudian turut dilego.

Foto: @LFC

Houllier lalu mendatangkan pemain-pemain kurang populer (saat itu) seperti Sami Hyypiä, Stéphane Henchoz, Sander Westerveld, dan Dietmar Hamann. Dia juga mengorbitkan pemain-pemain muda Inggris seperti Jamie Carragher dan Steven Gerrard. Kedua nama itu, kelak, akan jadi legenda Liverpool.

***

Pada musim 2000/01, Houllier memetik buah dari apa yang ditanamnya di Liverpool. Perubahan program latihan hingga perekrutan jitu membuat Liverpool meraih prestasi. Pada musim itu, tiga trofi datang ke Anfield: Piala UEFA, Piala FA, dan Piala Liga. Orang-orang menyebutnya treble mini. Dan itu adalah momen pertama Liverpool juara lagi di kompetisi antarklub Eropa setelah terakhir kali meraih gelar Liga Champions pada 1984.

Pada ajang Premier League pun Houllier sukses mengangkat peringkat Liverpool. Setelah hanya finis di posisi tujuh pada musim 1998/99, Houllier membawa Liverpool naik ke peringkat empat satu musim setelahnya dan duduk di peringkat tiga pada musim 2000/01. Satu musim setelahnya Liverpool bahkan jadi runner-up di bawah Arsenal yang masih luar biasa bersama Arsene Wenger.

Liverpool kembali disegani di Inggris dan Eropa. Kebetulan saat itu mereka juga punya Michael Owen yang sangat menonjol dan bahkan meraih gelar Ballon d'Or. Pemain seperti Gerrard, Carragher, Hamann, Hyypiä, dan Robbie Fowler juga makin menanjak penampilan dan popularitasnya di bawah Houllier.

***

Petaka itu datang di pertengahan Oktober 2001. Liverpool sedang menghadapi Leeds di Anfield, dan mereka tertinggal 0-1 saat peluit tanda berakhirnya babak pertama berbunyi. Namun, yang jadi masalah bukanlah papan skor di Anfield saat itu, melainkan kondisi kesehatan Houllier. Dia mengeluh tak enak badan dan kondisinya semakin memburuk.

Ambulans pun membawanya ke rumah sakit dan Houllier kala itu diduga mengalami serangan jantung. Tindakan operasi segera dilakukan dan dokter kemudian menyarakannya untuk istirahat dari dunia sepak bola selama satu musim penuh. Houllier kemudian tidak dipecat atau mengundurkan diri. Tugasnya untuk sementara diemban asistennya, Phil Thompson.

Sejak itu, Houllier tak lagi sama. Saat dia kembali lima bulan setelah operasi itu (ya, dia tak menuruti anjuran dokter), semua berubah. Bukan hanya kondisi fisiknya saja yang menurun, performa Liverpool pun juga. Kebijakan-kebijakan yang diambil pasca-operasi tak lagi sejitu kebijakan yang dia ambil sebelum petaka di Oktober itu.

Phil Thompson (kiri) dan Houllier (kanan). Foto: @phil_thompson4

Kondisi fisiknya yang menurun juga mengurangi intensitasnya pada kegiatan praktikal, termasuk kegiatan menganalisis pemain seperti yang intens dia lakukan saat merekrut Hyypiä, Henchoz, dan Hamann. Karena itu, rekrutan yang dilakukan Houllier setelah operasi bisa disebut gagal. Sebab yang datang adalah nama-nama yang urung bersinar seperti El Hadji-Diouf, Salif Diao, atau Bruno Cheyrou

Perlahan-lahan kemudian prestasi Liverpool di bawah Houllier merosot. Belum lagi ada transfer Michael Owen yang juga membuatnya dikritik. Liverpool hanya finis di posisi lima Premier League musim 2002/03 dan meski naik satu peringkat pada musim berikutnya, itu tak bisa menyelamatkan karier Houllier. Pada musim 2004/05 tugasnya digantikan oleh Rafa Benitez.

***

Sebuah kabar buruk datang, 14 November 2020 kemarin. Gerrard Houllier dinyatakan meninggal dunia pada usia 73 tahun usai menjalani operasi jantung di Paris. Ayah dua anak itu tak kuasa lagi melawan penyakit yang dideritanya sejak puluhan tahun silam, bahkan sejak dia berada di Liverpool.

Sebagai manajer, Houllier adalah sosok yang hebat dan punya pengaruh besar untuk Liverpool. Dia adalah sosok yang mampu mengangkat derajat Liverpool setelah berkubang di mediokeritas pada medio 1990-an. Dia juga sosok yang mampu membawa Liverpool kembali mengangkat trofi kompetisi antarklub Eropa.

Perannya untuk memodernisasi Liverpool pun amat penting. Jika dia tak punya ide untuk merenovasi Melwood, maka mungkin Liverpool era Benitez tak akan sebagus itu. Jika dia tak mengharuskan pemainnya untuk disiplin menjaga pola makan, trofi Piala Liga dan Piala FA Liverpool tak akan bertambah.

Jika dia tak bekerja 16 jam sehari dan hanya menyediakan waktu tiga jam untuk tidur, nama Michael Owen atau Steven Gerrard mungkin tidak akan sebesar yang kita tahu. Houllier adalah sosok yang gigih dan kegigihannya itulah membuat Liverpool tak terperosok semakin dalam di masa-masa peralihan.

***

Satu manajer lain yang saya lihat fotonya ada di tembok Anfield itu adalah Houllier dan saya rasa wajahnya juga layak untuk sering muncul dan didengungkan di tempat-tempat lain. Di tribune The Kop hingga di setiap perbincangan ketika kita semua sedang berbicara tentang kesuksesan Liverpool.

Au Revoir, Gérard...