Bagaimana Rasanya Berganti Peran sebagai Pemain?

Saya bertanya kepada Jackson Irvine bagaimana rasanya menghadapi perubahan peran (atau posisi) sebagai seorang pemain.
Adaptasi adalah satu hal yang pasti bagi pesepak bola. Sebab, dalam karier, banyak sekali perubahan, pergantian, perpindahan yang bisa mereka alami dalam karier sepak bolanya. Pindah klub adalah hal yang mafhum. Bermain di bawah beberapa pelatih berbeda adalah hal biasa. Berganti-ganti posisi juga merupakan sesuatu yang acap dihadapi, pun dengan pergantian peran di lapangan.
Pada akhirnya, pemain yang bisa bertahan lama dalam sepak bola adalah mereka yang mampu melakukan adaptasi tersebut dengan baik. Mereka yang mampu menerima dan berdamai dengan berbagai perpindahan dan perubahan yang terjadi dalam karier mereka. Namun, pernahkah terbesit bagaimana rasanya, sebagai pemain, melakukan perubahan-perubahan tersebut dan beradaptasi dengannya?
Saya bertanya kepada Jackson Irvine mengenai hal tersebut. Sebab, dalam kariernya, saya tahu Irvine melakukan banyak perubahan. Selain ia beberapa kali berganti klub (dari Celtic, Ross County, Burton Albion, Hull City, Hibernian, sampai kemudian St. Pauli), Irvine juga acap berganti posisi dan melakukan peran yang berbeda-beda di lapangan.
Dalam konteks St. Pauli saja, klub di mana ia bermain sejak 2021, pemain berpaspor Australia ini sudah melakukan banyak perubahan. Soal posisi, ia memulai dari bermain sebagai gelandang tengah dengan peran box-to-box dalam formasi 4-4-2 diamon, lalu kemudian menjadi gelandang bertahan dalam formasi dua gelandang, lalu mengemban peran yang lebih ofensif juga dalam sistem dua gelandang.
Ia pernah menjadi pemain dengan jumlah intersep terbanyak dalam sebuah periode di 2. Bundesliga, kemudian pernah menjadi gelandang yang mampu mencetak delapan gol dalam semusim, hingga musim ini menjadi pemain dengan jumlah assist terbanyak untuk St. Pauli—menunjukkan bahwa ia juga mengemban tugas “baru“ sebagai kreator tim.
Irvine juga sudah menjalani perubahan bersama tiga pelatih berbeda: Timo Schultz, Fabian Hürzeler, sampai sekarang Alexander Blessin. Setiap pelatih tentu punya preferensi berbeda tentangnya, tentang di mana sebaiknya ia bermain dan peran apa yang harus ia emban. Juga tentang siapa partner yang tepat untuknya. Tentu, sebagai profesional, ia tau bahwa mematuhi arahan pelatih adalah opsi yang baik.
Namun, Irvine, sebagaimana manusia pada umumnya, juga memiliki preferensi. Misalnya, ketika bermain bersama Eric Smith di lini tengah—seperti yang terjadi pada dua laga terakhir St. Pauli di Bundesliga vs Mainz dan Borussia Dortmund, Irvine merasa ia bisa lebih bebas untuk bisa naik ke sepertiga akhir lawan untuk membantu serangan.
“Dengannya (Eric) menjaga lini tengah, saya rasa kami lebih kuat dalam menyerang melalui area tersebut,“ kata Irvine.
Ia juga berkata bahwa sebagai pemain, melakukan perubahan dan beradaptasi dengan perubahan tersebut adalah bentuk pengorbanan. Sebab, itu berarti ia harus bisa melakukan apa saja: Ikut serta dalam fase awal build-up ketika bermain sebagai nomor enam dan punya peran lebih bertahan, atau turut mengkreasikan gol ketika memiliki peran lebih ofensif.
Irvine paham bahwa mungkin kemampuannya sebagai pemain, atau lebih spesifik lagi sebagai gelandang, mungkin tidak semewah itu untuk melakukan banyak hal. Akan tetapi, ia mengerti bahwa ia bisa menjadi pemain yang baik dalam konteks fungsional: Bahwa apa pun yang dibutuhkan tim, tugas apa pun yang diberikan pelatih, itulah yang akan ia maksimalkan.
“Buat saya, ini soal memberikan keseimbangan untuk tim. Saya akan mencoba berkontribusi sebisa saya, untuk membantu build-up dan juga aspek ofensif. Saya akan berusaha untuk menjadi pemain yang baik secara taktikal, bahwa saya bisa kuat dalam duel, bisa berkontribusi di kotak penalti sendiri dan lawan,“ ujar Irvine.
“Saya mencoba untuk meninggalkan lapangan tiap pekan tanpa penyesalan, bahwa saya telah memberikan segalanya dan mencoba menjadi contoh kepada pemain lain. Untuk selalu memberikan sesuatu untuk tim, dan menjadi pemimpin skuad ini,“ tambahnya.
Yap, tak semua perubahan memang berjalan sesuai dengan preferensi sang pemain. Kadang mereka harus bermain di posisi yang mungkin terasa asing, menjalankan peran yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya atau tak sesuai dengan karakteristik permainan mereka. Namun, sebagaimana kata Irvine, perubahan dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan tersebut bisa menjadi salah satu kekuatan bagi seorang pemain.
Selain itu, seorang pemain juga bisa mendapatkan peran baru yang tak berkaitan dengan taktik. Mendapat peran sebagai kapten atau pemimpin tim seperti Irvine, misalnya, juga merupakan perubahan yang bisa dialami seorang pemain. Irvine telah menjadi kapten St. Pauli sejak dua musim silam, menjadi pemimpin tim di ruang ganti dan atas lapangan. “Saya mencoba untuk membuat semua pemain terlibat dalam permainan,“ katanya.
St. Pauli tengah berada dalam fase yang tidak terlalu baik. Sudah lima pertandingan terakhir mereka tak mampu menang, dengan tempat terakhir berujung kekalahan. Saat ini mereka berada hanya satu strip di atas zona play-off degradasi dan dua tangga di atas zona degradasi. Posisi di Bundesliga amat tak aman bila mereka terus-menerus menelan hal buruk.
Dan di sinilah pengorbanan Irvine dibutuhkan. Bahwa ia mungkin saja bisa punya peran yang berbeda di pertandingan-pertandingan berikutnya, entah itu untuk bermain lebih bertahan atau menyerang. Selain itu, ia juga dituntut terus bisa menjadi pemimpin yang kuat, sebagai orang yang mampu melecut semangat rekan-rekannya untuk bermain lebih baik lagi.