Balada Sepak Bola Dybala

Foto: instagram @paulodybala

Sepak bola Dybala adalah sepak bola yang berkisah tentang kegembiraan, kepedulian, dan kehidupan.

Sepak bola Paulo Dybala tidak hanya bercerita soal trequartista, Nyonya Tua, maupun deretan trofi prestisius. Sepak bola Dybala adalah sepak bola yang juga berkisah tentang bagaimana bal-balan bisa memperbaiki nasib orang-orang di kolong Bumi.

Dybala jatuh cinta pada sepak bola sejak berusia tiga tahun. Tubuhnya belum ajek betul, langkahnya masih gontai, tetapi ia sudah menendang-nendang bola dengan penuh keriangan. Ruang-ruang kosong di dalam maupun halaman rumah menjadi arena bermain mengasyikkan bagi Dybala kecil.

Dari rumah, sepak bola Dybala merambak ke jalanan. Meski beralas aspal dan bertiang batu, sepak bola jalanan punya tempat spesial dalam benaknya. Tak peduli seberapa keras benturan dan pertarungan yang pernah dialami, Dybala akan mengenang momen menyenangkan di jalanan itu selama-lamanya.

Sepak bola jalanan memang disesaki dengan kegembiraan, kelicikan, dan kebebasan. Bermain, ya, bermain saja. Menendang, ya, menendang saja. Tak perlu pusing soal struktur bermain, posisi, skor yang sudah 10-15, dan seterusnya, dan seterusnya. Selama bola masih bisa menggelinding dan teriakan orang tua yang memanggil-manggil belum berdentum, silakan bertanding sepuas-puasnya.

Kegembiraan sepak bola jalanan menyulut gairah Dybala untuk meningkatkan skill olah bola dengan sungguh-sungguh. Gairah itu tidak pernah menemukan pertentangan. Toh, ayahnya, Adolfo, juga penggila bola. Adolfo sampai-sampai menyekolahkan Dybala ke akademi Instituto dan menempuh jarak sekitar 70 mil --dari Lugana Larga ke Cordoba-- setiap kali berlatih.

Adolfo tidak banyak mendebat keinginan sang anak. Ia membiarkan anaknya bersenang-senang dengan si kulit bundar. Hanya saja, Adolfo tak bisa mengawal kesenangan anaknya dengan paripurna. Tumor menggerogoti tubuh Adolfo. Ia sering sakit-sakitan dan sulit mengantar Dybala menuju tempat latihan.

Namun, tubuh yang lunglai tidak meredam semangat Adolfo untuk merawat cita-cita Dybala. Adolfo adalah ayah yang siap menepuk-nepuk pundak anaknya ketika terpuruk dan berkata: Kamu pasti bisa. Termasuk ketika Dybala menetap di Cordoba pada usia 14 tahun.

Jalan sepak bola Dybala kecil sungguh menyenangkan. Semua fasilitas untuk bermain sepak bola terpenuhi. Ia tidak perlu memikirkan duit, sepatu, jersi, dan tetek bengek lainnya yang dapat melenyapkan jalan menuju pesepak bola profesional. Belum lagi, Tuhan menganugerahkan bakat yang tidak semua orang dapatkan.

Bakat itulah yang membuat kapasitas dan kapabilitas Dybala menanjak. Ia bisa berlari cepat dengan bola menempel di kakinya. Tembakannya keras dan akurat. Umpan-umpannya juga oke. Latihan bersama akademi Instituto jadi bagian untuk menyempurnakan bakat yang Tuhan berikan.

"Tuhan memberi kita bakat, tetapi bakat tetap harus diasah. Saya banyak melihat pemain potensial di akademi, pemain yang bisa kita nilai begini, 'Andai saja mereka mengasah bakat itu dengan tepat, mereka dapat jadi pengganti Maradona ataupun Messi," kata Dybala kepada Vanity Fair.

Namun, Dybala bukan makhluk yang selalu berteman dengan kemudahan dan kebahagiaan. Ia adalah manusia biasa yang seringkali terjebak dalam kesedihan. Ketika Dybala berusia 15 tahun, misalnya, Adolfo meninggal dunia. Tumor yang sudah dilawan dengan sebaik-baiknya pada akhirnya merenggut nyawa Adolfo.

Kematian Adolfo memukul telak mental Dybala. Ia terjebak dalam labirin kesedihan. Hidupnya tidak lagi indah. Semua gelap gulita. Jalan sepak bola Dybala pun menjadi runyam. Ia meninggalkan sekolah sepak bola dan memilih pulang ke Lugana Larga. Baginya, tidak ada yang lebih penting dari keluarga.

"Saya berusia 15 tahun, saya tidak bisa menyembunyikan betapa sulitnya hidup. Sepak bola bukan lah tempat yang bisa memberikan perlindungan bagi saya. Saya akhirnya pulang," ucapnya. 

Ketika mental sudah goyah dan keputusan meninggalkan sepak bola nyaris bulat, gairah sepak bola Dybala kembali meletup-letup. Itu karena keluarganya terus menstimulasinya untuk tetap fokus pada sepak bola. Kata mereka, Dybala harus kembali ke Cordoba. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Dybala pergi ke Instituto dengan kesedihan yang masih melekat dan air mata yang seringkali menetes.

Sejak kematian Adolfo, sepak bola serupa sandaran Dybala untuk melampiaskan kesedihan dan kesepian. Ia terus berlatih, berlatih, dan berlatih. Ia juga memuntahkan kesedihannya dengan berlari, berlari, dan menyepak bola.

Hingga akhirnya, bakat Dybala terendus. Instituto memasukkan Dybala ke tim utama untuk musim 2011/12 . Selain dapat menit bermain yang banyak, Dybala mampu menyerap pengalaman-pengalaman seniornya. Performanya juga menjanjikan --8 gol dalam 17 laga. Sejak itu, klub-klub Eropa menaruh minat kepadanya. Namun, Palermo lah yang bergerak cepat mengamankan bakat Dybala.

Terbang jauh-jauh dari Argentina menuju Italia, Dybala menempa diri dengan sebaik-baiknya. Ia tidak hanya fokus mengasah insting mencetak gol maupun mengkreasikan peluang, tetapi juga belajar bagaimana membentuk mental. Ia paham betul bahwa mental bisa jadi persoalan jika tidak dibentuk dengan sekuat-kuatnya. Sedikit goyah, karier bisa remuk redam.

Pertualangan Dybala di Palermo adalah pertualangan manusia biasa. Ada kalanya hidup tidak baik-baik saja. Namun, ada saatnya dunia benar-benar berpihak padanya. Jatuh-bangun. Naik-turun.

Baru semusim bergabung Palermo, Dybala sudah merasakan pedihnya terdegradasi. Performanya biasa-biasa saja. Kontribusinya sangat minim. Ia cuma mengemas 3 gol tanpa assist dalam 27 laga Serie A.

Setelah melalui musim yang menyesakkan, Dybala bekerja lebih keras. Kapasitas dan kapabilitasnya meningkat tajam. Hanya butuh satu musim bagi Dybala untuk kembali berlaga di Serie A.

Musim 2014/15 menjadi momen terbaik Dybala bersama Palermo. Ia mencetak 13 gol dan 10 assist di Serie A. Meski hanya mengantarkan Palermo ke posisi 11 klasemen akhir pada musim itu, nama Dybala mulai bertalu-talu. Penampilannya sangat teramat meyakinkan. Katanya, sih, ia titisan Sergio Aguero.

Berkat performa itu juga, Juventus kesengsem mendatangkan Dybala. Awalnya, Juventus dan Palermo tarik ulur soal mahar transfer. Setelah terjadi perbincangan alot, Juventus resmi merekrut Dybala dengan harga 32 juta euro. Nilai itu bisa bertambah 8 juta euro tergantung perfoma Dybala.

Sialnya, dana transfer tersebut dinilai cukup besar untuk Dybala --pemain muda yang belum bergelimang prestasi. Namun, Juventus dan Dybala tidak menghiraukan omongan-omongan buruk terkait nilai transfer. Mereka sama-sama berjuang menjaga singgasana Italia.

Di Juventus, Dybala adalah trequartista. Perannya begitu mencolok. Umpan-umpannya akurat. Jago mengkreasikan peluang. Tajam dalam mengakhiri serangan. Caranya menggiring bola pun begitu mengasyikkan. Ia rajin bergerak ke ruang-ruang kosong di semua koridor, entah itu flank, half-space, maupun jalur tengah.

Memang, perjalanan Dybala bersama Nyonya Tua tidak mulus-mulus amat. Ada saja musim yang membuatnya menjadi omongan orang-orang. Namun, ia mampu menyihir dan mengembalikan kepercayaan orang-orang yang mencintai Juventus dengan cepat.

Tujuh tahun adalah waktu yang Dybala habiskan dengan Juventus. Selama itu, Dybala merangkum 115 gol, 48 assist, 5 scudetto, 4 trofi Italian Cup, dan 3 gelar Italian Super Cup. Selama itu juga, Dybala merawat cinta pada sepak bola dan fan Juventus.

Sihir Dybala tidak berhenti sampai deretan trofi. Sihirnya merambak ke ruang-ruang yang jauh dari rumput stadion. Sihir itu berupa mantra yang ia sampaikan melalui sepak bola.

Ambil contoh selebrasi gladiator mask. Melalui perayaan tersebut, Dybala ingin menyampaikan pesan bahwa hidup seberapa beratnya mesti dilalui. Kita, kata Dybala, harus terus berjalan dan bertarung dengan nasib dan kenyataan. Laiknya gladiator yang akan terus melangkah ke depan meski berhadapan dengan maut.

"Sering kali, kita mengalami kesulitan. Akan tetapi, mau tidak mau, kita harus menjalaninya dan berjuang. Itu tidak berlaku dalam sepak bola, tetapi juga kehidupan," kata Dybala. Ia melanjutkan, "Kita bisa menjalaninya dengan mengenakan topeng seperti gladiator dan bertarung."

Sepak bola Dybala pun berbicara soal bahu-membahu melawan nasib buruk orang-orang di kolong Bumi. Ada begitu banyak pergerakan yang ia lakukan untuk membantu sesama. Salah satunya, ia bergabung dengan Common Goal dan menyisihkan 1 persen gajinya untuk kemanusiaan.

Itu, kata Dybala, perlu dilakukan. Sebab, suara-suara dari pesepak bola selalu terdengar lantang ketimbang suara-suara presiden maupun perdana menteri di benua manapun. Suara-suara pesepak bola selau terdengar nyaring bagi telinga orang-orang.

Bagi Dybala, suara-suara pesepak bola bisa juga tertanam di hati anak-anak bernasib buruk secara ekonomi untuk terus merawat cita-cita dengan sebaik-baiknya. Ada harapan besar dalam hati Dybala untuk menggamit Ballon D'Or pada 2017. Prestasi itu bukan hanya untuk memenuhi kabin prestasinya, tetapi juga bersuara soal bagaimana semua orang punya kesempatan sama untuk berprestasi dan berbahagia.

"Prestasi ini akan mengirimkan pesan pada anak-anak di dunia dan untuk mereka yang dilahirkan di kota kecil seperti saya dan berharap bisa berkisah yang sama seperti yang saya lakukan sekarang," ucap Dybala kepada Vanity Fair dilansir GOAL.

Begitulah sepak bola Dybala. Sepak bola yang tidak hanya berkisah soal kemenangan dan trofi, tetapi juga bercerita tentang kemanusiaan. 

***

Musim ini adalah musim terakhir Dybala berseragam Juventus. Ada kesedihan yang menyertai perpisahannya. Ada juga deretan rumor yang mencuat soal masa depannya. Ada pula daftar klub yang dikabarkan menaruh minat mendatangkan Dybala.

Ke mana pun kaki melangkah, Dybala tetap  La Joya (sang permata) berjiwa gladiator yang akan terus berjalan dan bertarung dengan penuh kegembiraan meski dukacita dan caci maki selalu memata-matai dalam hidup, dalam sepak bola.