Ball-Playing Center Back: Dulu, Kini, dan Nanti

Ball-playing center back. (Arif Prawira Utama)

Di sepak bola masa kini, keberadaan ball-playing center back adalah harga mati. Lalu, bagaimana asal usul peran ini dan seperti apa masa depannya?

Kemampuan mengumpan biasanya melekat pada seorang pemain tengah, tetapi coba tengok apa yang terjadi di Premier League. Berdasarkan data statistik resmi liga, delapan dari sepuluh pemain dengan jumlah umpan terbanyak berposisi sebagai bek. Dari delapan nama itu, tujuh di antaranya merupakan bek tengah.

Joao Cancelo, Virgil van Dijk, Ruben Dias, Marc Guehi, Lewis Dunk, Caglar Soyuncu, Aymeric Laporte, dan Antonio Rudiger. Itulah delapan nama pemain belakang yang mencatatkan jumlah umpan terbanyak di Premier League musim ini. Dari semua nama itu, ada satu persamaan yang tak terbantahkan: Tim-tim yang mereka perkuat membangun serangannya dari lini belakang.

Di Serie A, situasinya tak jauh berbeda. Dari sepuluh pemain dengan jumlah umpan terbanyak, tujuh di antaranya merupakan pemain belakang. Hal serupa bisa ditemukan pula di Ligue 1. Di Bundesliga, bahkan, sepuluh pemain dengan jumlah umpan terbanyak semuanya merupakan pemain belakang. Hanya di La Liga yang agak lain, di mana jumlah pemain belakang dalam daftar pemain dengan umpan terbanyak "hanya" lima. Namun, lima dari sepuluh juga bukan angka yang sedikit.

Apa yang terjadi di liga-liga top Eropa ini mestinya sudah tidak lagi mengherankan. Membangun serangan dari lini belakang sudah menjadi hal populer setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir. Maka, ketika bek (terutama bek tengah) mampu mencatatkan jumlah umpan yang banyak, itu adalah konsekuensi yang logis.

Sebenarnya, bek yang piawai mengolah dan mendistribusikan bola sudah ada sejak lama. Bobby Moore, misalnya. Di saat pemain-pemain seangkatannya lebih dikenal karena kemampuan mematahkan engkel lawan, Moore mencuat sebagai anomali. Pembawaannya tenang, teknik olah bolanya cemerlang, dan kemampuan distribusinya mumpuni. Dua assist di final Piala Dunia 1966 jadi bukti kepiawaian Moore dalam melakoni peran sebagai ball-playing center back.

Statistik umpan terbanyak Premier League 2021/22.

Moore adalah seorang libero, seperti halnya Franz Beckenbauer, Gaetano Scirea, Franco Baresi, Velibor Vasovic, Ronald Koeman, Arie Haan, Miodrag Belodidici, dan Matthias Sammer. Mereka semua merupakan bek tengah yang memiliki kemampuan olah bola, distribusi, bahkan mencetak gol. Tak cuma punya kemampuan, para pemain itu juga diberikan kebebasan untuk menunjukkan apa yang mereka bisa lakukan.

Di masa lampau, terutama pada dekade 1970-an dan 1980-an, melihat seorang bek tengah menggiring bola dari kotak penaltinya ke kotak penalti lawan bukan hal aneh. Tengok bagaimana Scirea merangsek sampai ke kotak penalti dalam proses terjadinya gol Marco Tardelli di final Piala Dunia 1982. Scirea bukan cuma mengirimkan umpan kunci atau umpan lambung akurat, tetapi menggiring bola sampai depan, bermain kombinasi satu-dua, lalu memberi assist untuk Tardelli.

Sampai awal hingga pertengahan dekade 1990-an, para libero masih melakukan hal seperti itu. Baresi beberapa kali melakukannya, begitu pula Sammer. Pada 1996, Sammer bahkan berhasil menggondol trofi Ballon d'Or setelah membawa Jerman juara Piala Eropa. Akan tetapi, tak lama kemudian, peran libero bisa dibilang tamat.

Libero adalah peran ciptaan Karl Rappan, pelatih asal Austria yang menghabiskan sebagian besar kariernya di Swiss. Peran itu muncul dari rasa takut, sebenarnya. Rappan sadar bahwa pemain-pemain yang diasuhnya di Swiss bukanlah yang terbaik. Untuk itu, dia menciptakan sistem pertahanan gerendel (verrou) yang tujuan utamanya adalah mencegah lawan mencetak gol.

Namun, dalam sepak bola, sebuah tim hanya akan bisa menang bila mencetak gol lebih banyak dari tim lawan. Maka, Rappan juga memikirkan cara untuk menyerang seefektif mungkin. Formasi 2-3-5 dimodifikasinya. Dia menurunkan dua center half* ke lini belakang dan memerintahkan mereka untuk mengapit seorang full back. Sementara, satu full back lainnya diturunkan ke belakang tiga pemain belakang untuk menjadi pemain bebas atau libero.

Karl Rappan, pencipta peran libero.

Pemain bebas itu punya dua peran, yaitu menyapu bola atau menggiring bola ke depan untuk menginisiasi serangan balik. Dalam bahasa Italia, pemain bebas itu disebut sebagai libero. Akan tetapi, karena dia juga punya peran menyapu bola, istilah sweeper juga lahir. Sweeper dan libero sebetulnya serupa karena mereka beroperasi di belakang garis pertahanan, tetapi tak sama karena tugasnya berbeda. Meski demikian, tak jarang mereka mengemban tugas sebagai libero dan sweeper sekaligus.

Dalam perkembangannya, libero bisa dimainkan di berbagai formasi. Di tim Grande Inter era 1960-an besutan Helenio Herrera, Armando Picchi bermain di belakang duet bek tengah Aristide Guarneri dan Tarcisio Burgnich. Di sisi kiri, mereka punya bek sayap ofensif dalam diri Giacinto Facchetti. Sedangkan, sosok yang mengover sisi kanan adalah gelandang sayap yang ikut membantu pertahanan. Pola serupa bisa ditemukan di Timnas Jerman pada Piala Dunia 1974 dan Timnas Italia pada Piala Dunia 1982. 

Namun, libero bisa juga cuma dipasangkan dengan satu center back dan diapit dua full back ofensif. Contohnya bisa ditemukan di Ajax era 1970-an. Timnas Belanda juga menggunakan pakem seperti ini pada era yang sama. Lalu, pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, libero banyak ditemukan di tim-tim yang menggunakan pakem 5 bek (satu libero, dua center back, dan dua wing back**). Timnas Jerman Barat di Piala Dunia 1990, misalnya.

Intinya, mau digunakan dalam pakem apa pun, libero selalu punya peran yang sama. Mereka disebut pemain bebas karena tidak memiliki kewajiban mengawal lawan secara satu-lawan-satu. Karena itu, mereka punya kebebasan entah untuk membuang bola langsung atau memulai counter attack dengan kemampuan olah bola, distribusi, bahkan mencetak gol tadi.

Namun, seiring dengan makin eratnya persahabatan sepak bola dengan sistem, pemain-pemain sarat kebebasan, termasuk liberopun praktis tidak lagi bisa ditemukan. Mereka telah berevolusi sedemikian rupa ke dalam bentuk baru. 

Peran libero sebetulnya mulai dibatasi oleh Arrigo Sacchi saat menangani Milan pada paruh kedua 1980-an. Sacchi yang sangat saklek terhadap sistem dan organisasi permainan itu memaksa Baresi untuk lebih tunduk pada pakem. Namun, upaya Sacchi tak selalu berhasil karena Baresi juga tidak jarang memanfaatkan kecepatan dan skill olah bolanya untuk menginisiasi serangan, bahkan mencetak gol sendiri.

Sejak Sacchi mulai "mengebiri" Baresi, secara umum kebebasan libero di tempat lain juga memudar, kecuali di Jerman. Di Jerman, libero masih digunakan setidaknya sampai Euro 2000. Dalam turnamen yang berujung tragis bagi Timnas Jerman tersebut, Lotthar Matthaeus mengemban peran sebagai libero seperti halnya pada 1999 ketika dia mengantarkan Bayern Muenchen ke final Liga Champions.

Praktis, seiring dengan kegagalan Jerman di Euro 2000, libero pun mati. Namun, tak lama kemudian, peran itu bisa ditemukan dalam sosok ball-playing center back. Saat mencuat ke permukaan pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, Rio Ferdinand sudah menjadi purwarupa ball-playing center back modern. Pada masa itu, Paolo Maldini juga sudah berhenti menyisir sayap kiri dan menjadi ball-playing center back.

Seiring dengan makin banyaknya tim yang mengawali serangan dari bawah, keberadaan seorang ball-playing center back jadi harga mati. Semua tim memilikinya, termasuk di Indonesia. Rachmat Irianto bisa dibilang sebagai ball-playing center back terbaik Indonesia saat ini. Pada dekade 1990-an, ayah Rachmat, Sugiantoro, kebetulan juga merupakan libero terbaik negeri ini.

Yang menarik, dalam perkembangan terakhirnya, ball-playing center back mulai dikembangkan lagi untuk menjadi libero. Di Atalanta dan Sheffield United (yang sama-sama menggunakan pakem 3 bek), dua bek tengah terluar acapkali naik ke atas untuk membantu serangan. Bek-bek itu memang tidak sehebat Beckenbauer atau Scirea, tetapi cukup piawai dalam melakukan kombinasi satu dua dan menempatkan diri di posisi yang tepat untuk setidaknya memberi opsi umpan bagi rekan-rekannya.

Apa yang dilakukan Chris Wilder bersama Sheffield United sempat berhasil sebelum akhirnya The Blades terlempar lagi dari Premier League. Sementara, di Atalanta, cara main yang diterapkan Gian Piero Gasperini masih sangat efektif. Buktinya, mereka saat ini duduk di peringkat tiga klasemen Serie A.

Taktik Wilder dan Gasperini berpotensi menjadi pemicu kebangkitan kembali libero. Akan tetapi, kalaupun ini terjadi, prosesnya bisa jadi cukup lama karena sebagian besar bek tengah saat ini tidak dididik untuk menjadi libero. Mungkin, di generasi berikutnya renaisans ini baru akan terjadi.

-----

*) Nomenklatur posisi dalam tim sepak bola banyak dipengaruhi oleh nomenklatur klasik dari pakem 2-3-5. Dalam pakem itu, dua pemain paling belakang disebut sebagai full back, tiga pemain tengah disebut right half, left half, dan center half, lalu lima pemain depan disebut inside left, inside right, outside left, outside right, dan center forward. Ketika 2-3-5 menjadi W-M (3-2-2-3), satu gelandang (centrer half) mundur ke belakang menjadi bek tengah. Itulah mengapa, dulu, center back disebut sebagai center half. Sesekali, istilah itu masih digunakan di Inggris Raya.

**) Wing back dan full back mirip tetapi berbeda. Full back adalah sebutan untuk bek sayap dalam pakem empat bek, sementara wing back untuk pakem lima bek. Istilah wing back lahir karena biasanya mereka bermain dalam formasi tanpa winger. Mereka adalah full back sekaligus winger, sehingga muncullah istilah hibrida wing back.