Banyak Masalah, Liverpool Mesti Bagaimana?

Target paling realistis buat Liverpool musim ini adalah finis di posisi empat besar. Untuk berhasil melakukan itu (dan untuk kembali perkasa musim depan) apa yang harus Liverpool dan Klopp lakukan?
Buat Liverpool, tahun 2021 (setidaknya sampai hari ini) adalah tahun yang amat buruk. Pada tahun ini, mereka baru meraih tiga kemenangan dan sudah menelan lima kekalahan dari total sembilan pertandingan yang sudah dilalui di seluruh kompetisi.
Tak cuma itu, kekalahan-kekalahan yang mereka telan juga memupuskan harapan untuk meraih dua gelar: Premier League dan Piala FA.
Pada akhir Desember 2020, Liverpool masih berada di puncak klasemen Premier League. Asa untuk mempertahankan gelar juara masih amat tinggi. Namun, saat ini, mereka sudah melorot ke posisi empat dan tertinggal 10 poin dari Manchester City sebagai pemuncak klasemen. Itu pun dengan catatan bahwa City masih menyimpan satu laga sisa. Gelar juara Premier League terlihat lepas dari genggaman.
Pada ajang Piala FA, usai menang 4-1 atas Aston Villa (U-18) pada babak ketiga, Liverpool justru langsung tersingkir pada babak keempat. Mereka takluk dari musuh bebuyutan, Manchester United, di Old Trafford dengan skor 2-3. Ini membuat Liverpool tak punya harapan untuk meraih gelar domestik, mengingat sebelumnya mereka juga sudah terlempar dari ajang Piala Liga.
Kini, Liverpool dan Juergen Klopp tak lagi berbicara mengenai gelar juara. Liverpool cuma mampu berbicara tentang bagaimana caranya finis di empat besar Premier League, karena itu target paling realistis. Memang masih ada ajang Liga Champions, tapi mengingat performa mereka yang menukik tajam belakangan, rasanya sulit untuk berharap banyak.
Apalagi Liverpool saat ini tak bisa berharap pada Anfield untuk menghadirkan magi seperti musim-musim sebelumnya. Pada 2021, mereka belum pernah menang di Anfield. Mereka kalah dari tim-tim macam Brighton dan Burnley, serta teranyar dihancurkan 1-4 oleh City. Liverpool benar-benar tak berdaya tanpa kehadiran suporter mereka.
Sebabnya, laga kandang dan tandang pada ajang Liga Champions tak akan lagi terasa berbeda. Sama saja. Sama-sama menyulitkan buat Liverpool. Remontada seperti yang mereka lakukan saat menghadapi Barcelona dua tahun silam hanya tinggal memori yang baru bisa terulang mungkin setelah suporter kembali lagi memenuhi tribune. Namun, kita tahu, itu masih lama.
A year since one of the greatest comebacks in history... Liverpool against Barcelona in Anfield 🔴#LFC | #UCL | #Barça pic.twitter.com/ygAUCdbGI4
— FIG2 Football (@FIG2football) May 7, 2020
Lantas, dengan situasi seperti ini, apa yang bisa Liverpool dan Klopp lakukan? Setidaknya untuk tetap finis di posisi empat besar musim ini dan bangkit lagi pada musim depan?
Mengembalikan 'Monster Mentality'
Liverpool saat ini boleh dikatakan sedang terkena sindrom 'juara Premier League'. Sejak musim 2009/10, juara-juara Premier League kesulitan mempertahankan gelar juara mereka. Hanya Manchester City pada musim 2017/18 dan 2018/19 yang bisa jadi juara dua musim berturut-turut. Selain itu, pasti ada penurunan performa yang terjadi dari para juara bertahan.
Manchester United terlempar dari tiga besar pada musim 2013/14 setelah juara pada musim berikutnya. Chelsea hanya finis di posisi 10 pada musim 2015/16 dan finis di posisi lima musim 2017/18 dengan sama-sama bertatus sebagai juara bertahan. Sementara City pada musim lalu menelan sembilan kekalahan setelah pada musim 2018/19 jadi juara Premier League dengan raihan 98 poin.
Menurunnya performa juara bertahan memang disebabkan oleh hal berbeda: Pergantian pelatih, taktik yang monoton, hingga cederanya pemain andalan. Namun, satu hal yang sama dari apa yang ditunjukkan mereka yang gagal mempertahankan gelar juara itu adalah: Menurunnya mentalitas. Tak ada rasa lapar yang sama yang ditunjukkan saat sudah menjadi juara.
Musim lalu Klopp menunjukkan bahwa Liverpool bisa menang kapan dan dengan cara saja: Lewat gol di menit akhir atau ketika bermain buruk sekalipun. Mereka punya mentalitas menang yang luar biasa. Itu yang tidak terlihat pada musim ini dan harus bisa diperbaiki Klopp pada sisa musim.
Liverpool FC: 2019/20 Premier League Champions 🏆🔴
— BBC 5 Live Sport (@5liveSport) June 25, 2020
Here's how Jurgen Klopp's #LFC side became 'Mentality Monsters', as narrated by @bbcjohnmurray
🎥🔊 Get your sound on for this one
Subscribe to the Football Daily podcast on @BBCSounds 🎙️⚽️ https://t.co/Vd66i1BLpY pic.twitter.com/irSzQIa6QV
Klopp punya kapabilitas melakukan itu. Dia adalah seorang pelatih yang tau betul caranya meningkatkan semangat timnya. Bahkan orang-orang di klub menyebutnya sebagai 'Kepala Psikolog Liverpool'. Situasi memang sedang sulit buatnya setelah kabar buruk yang kita dengan pekan ini, tapi Klopp kudu segera membawa dirinya dan anak-anak asuhnya bangkit.
Klopp harus menghadirkan rasa lapar yang sama seperti yang ditunjukkan The Reds pada musim lalu. Para pemain Liverpool harus menunjukkan semangat yang sama seperti saat mereka bersemangat memutus mimpi buruk tak pernah juara Premier League selama 30 tahun. Klopp harus bisa membuat pemainnya berpikir seperti apa yang dikatakan Sir Alex Ferguson kepada Manchester United-nya: "Berpikirlah seperti kamu bukan yang nomor 1. Bepikirlah bahwa kamu adalah nomor 2!"
Membuat Jordan Henderson Bermain di Tengah Lagi
Liverpool sudah punya dua bek tengah baru dan ini saatnya Klopp mengembalikan Jordan Henderson ke posisi aslinya sebagai gelandang tengah. Kehadiran Henderson di lini tengah adalah salah satu penyebab moncernya Liverpool di Premier League musim lalu. Dia bisa jadi penyeimbang lini tengah karena bisa membantu lini depan dan lini belakang sama baiknya.
Henderson musim lalu mencatatkan 1,1 umpan kunci per 90 menit dengan 0,3 di antaranya lahir dari umpan lambung. Catatan 0,3 umpan kunci dari umpan lambung itu bahkan adalah catatan terbaik kedua di Liverpool setelah milik Trent Alexander-Arnold. Sejak musim 2018/19, Henderson adalah gelandang Liverpool dengan jumlah umpan ke kotak penalti terbanyak setelah Xherdan Shaqiri.
Dengan ketiadaan Virgil van Dijk di belakang, kehadiran Henderson di tengah diharapkan bisa jadi jawaban atas kebutuhan Liverpool akan umpan-umpan lambung untuk mendapatkan ruang di lini depan. Laga melawan Chelsea awal musim lalu bisa jadi contoh betapa pentingnya kehadiran umpan lambung Henderson di tengah.
Kala itu umpan lambungnya membuat Andreas Christensen melakukan pelanggaran kepada Sadio Mane. Pelanggaran itu membat Christensen dikartu merah wasit dan Liverpool jadi unggul jumlah pemain untuk kemudian memenangkan pertandingan. Henderson tahu betul bagaimana caranya menemukan ruang melalui umpan panjangnya, sesuatu yang sebenarnya juga dia tunjukkan saat berposisi sebagai bek tengah.
Namun, kehadirannya di tengah tak kalah penting karena dia juga bisa meng-cover lini belakang dengan baik. Jika bermain sebagai gelandang nomor 6, mantan pemain Sunderland itu bisa mampu menutup celah yang ditinggalkan full-back Liverpool saat naik ke depan. Jadilah Alexander-Arnold atau Andrew Robertson lebih nyaman untuk bergerak naik karena mereka tahu ada Henderson yang akan meng-cover area mereka.
Klopp juga tak perlu khawatir akan minimnya umpan lambung dari belakang ketika memindahkan Henderson ke tengah karena Ozan Kabak dan Ben Davies punya kapabilitas melakukan itu. Seperti yang sudah kami tuliskan sebelumnya, dua bek anyar Liverpool itu merupakan bek tengah yang mafhum cara melepaskan umpan lambung untuk menemukan ruang di lini depan.
Mempercepat Permainan
Permainan Liverpool melambat musim ini. Rata-rata waktu mereka melakukan penguasaan bola sebelum melepaskan tembakan (atau bola direbut lawan) pada musim ini ada di angka
26,4 detik. Musim lalu, angka mereka ada di angka 24,5 detik saja.
Kami sebenarnya sudah pernah menyebut ini: Liverpool terlalu bertele-tele. Mereka tak perlu melakukan itu dan Klopp harus mengembalikan kapabilitas timnya yang juga fasih bermain direct, terutama ketika melancarkan serangan balik.
Gol Mohamed Salah dalam laga melawan West Ham Januari lalu bisa jadi contoh. Kala itu Liverpool mampu menciptakan gol via serangan balik cepat setelah berhasil menggagalkan sepak pojok lawan. Liverpool hanya butuh 3 umpan dari lini belakang sebelum akhirnya mampu menceploskan bola ke jala gawang West Ham.
Mo Salah’s counter-attack goal vs. West Ham has been named January’s Premier League Goal of the Month ⚡
— B/R Football (@brfootball) February 12, 2021
(🎥 via @LFC) pic.twitter.com/UJdcr2Mt96
Permainan direct jugalah yang membuat Roberto Firmino mencetak gol ke gawang Tottenham Hotspur (juga di Januari lalu) dan membuat Liverpool mendapatkan penalti pada laga vs City akhir pekan lalu. Adalah umpan lambung Trent Alexander-Arnold yang membuat Salah berada di posisi yang bagus sebelum akhirnya dilanggar Ruben Dias.
Musim lalu, Liverpool secara total mampu melepaskan 2.457 umpan lambung di Premier League dengan tingkat akurasi sebesar 51,36%. Musim ini, dari 23 pertandingan, mereka baru melepaskan 1.301 umpan lambung dengan tingkat akurasi sebesar 50,65%. Liverpool tak perlu bertele-tele melakukan penguasaan bola karena umpan lambung adalah senjata mematikan yang mereka miliki musim lalu.
Mulai Berpikir Soal Transfer
Ini berarti dua hal: Liverpool harus menentukan siapa yang mereka incar dan juga mereka harus menentukan siapa yang akan mereka lepas. Kami bahas yang kedua dulu.
Pada sisa musim ini, Klopp harus jeli melihat siapa saja yang bisa dia lepas pada akhir musim nanti. Sebab, Liverpool butuh kedalaman skuad yang tak sekadar dalam saja. Mereka juga butuh kedalaman skuad yang berkualitas dan bisa digunakan kapan saja. Itu yang tak mereka miliki musim ini.
Musim ini secara jumlah memang banyak, tapi secara kualitas tentu kurang. Nama seperti Divock Origi dan Alex Oxlade-Chamberlain tak kunjung memberikan impak positif sebagai pemain pelapis. Ketika diberi kesempatan, penampilan keduanya tak sesuai ekspektasi (dan tak secemerlang musim-musim lalu juga).
@premierleague - is hot 🔥🔥 at 11 PM #LIVBUR
— The Standard Digital (@StandardKenya) January 21, 2021
Lineups: @LFC : Alisson, Arnold, Fabinho, Matip, Robertson, Thiago, Wijnaldum, Chamberlain, Shaqiri, Mane, Origi@BurnleyOfficial : Pope, Lowton, Tarkowski, Mee, Taylor, Brady, Westwood, Brownhill, McNeil, Barnes, Wood
📸REUTERS pic.twitter.com/pzAlC26SDU
Nama lain seperti Naby Keita juga layak dipertanyakan. Banyak pendukung Liverpool yang berharap lebih kepadanya, tapi Keita lebih sering cedera daripada bermain. Musim ini dia baru bermain enam kali sebagai starter di ajang Premier League. Ada juga Shaqiri, yang meski ketika tampil mampu memberikan impak, juga acap diterpa cedera.
Mereka, ditambah pemain muda seperti Neco dan Rhys Williams serta Nathaniel Phillips yang bisa masuk daftar pinjaman, adalah pemain yang harus diputuskan Klopp apakah dijual atau tidak pada akhir musim nanti. Sebab dengan kondisi keuangan yang tak baik, Liverpool jelas butuh uang untuk belanja pemain.
Untuk belanja pemain, Liverpool juga harus mempersiapkan target sejak sekarang. Mereka tak boleh gegabah lagi setelah melihat krisis pemain bisa mendatangkan panic buying seperti musim ini. Klopp sudah harus tau dia butuh pemain di posisi mana dan seperti apa.
Kebetulan, Liverpool sebenarnya sudah dikaitkan dengan beberapa nama. Di pos depan ada Raphinha. Di pos tengah ada Denis Zakaria, Florian Neuhaus, dan Yves Bissouma. Di belakang ada David Alaba. Liverpool harus bisa mengunci pemain-pemain incaran mereka sebelum musim berakhir, sebab harga bisa saja melambung tinggi kapan saja dan mereka bisa diserobot siapa saja.
[Baca Juga: Mengintip Dompet Liverpool]