Benarkah De Gea Sudah Kalah?

Ilustrasi: Arif Utama

Manchester United punya satu adagium, bahwa siapa pun harus berhati-hati dengan penyelamatan David de Gea.

Manchester United punya satu adagium, bahwa siapa pun harus berhati-hati dengan penyelamatan David de Gea. Terkadang ia membahayakan lawan, terkadang ia membahayakan kawan. Dave Saves, demikian orang-orang menyebut aksi penyelamatan sang penjaga gawang Spanyol.

Jose Mourinho mengakhiri musim 2017/18 dengan senyuman khasnya. Ia menutup periode itu dengan mengantarkan Manchester United ke posisi runner up Premier League. Semusim sebelumnya, ia mempersembahkan podium puncak Liga Europa. Silakan mengolok-olok trofi yang satu ini. Namun, itu kali pertama United merengkuh gelar juara Liga Europa.

Dalam perjalanan United merengkuh gelar pada masa kepelatihan Mourinho, nama De Gea hampir selalu ada. Bagi juru taktik asal Portugal itu, De Gea adalah komponen penting bagi sistem yang dirancangnya untuk United.

Habis sudah United jika tak ada De Gea pada musim 2017/18. Meski lini pertahanan United bobrok betul, mereka menyelesaikan Premier League dengan 28 kebobolan. Dalam rangkaian tersebut, De Gea tampil penuh selama 37 kali dan membukukan 18 nirbobol. Saat absen sekali, posisinya ditempati oleh Sergio Romero.

Dari 28 kebobolan itu, 25 gol di antaranya bukan penalti. StatsBomb dan Opta mendedah angka-angka tersebut dalam skala yang lebih mikroskopis untuk menerjemahkan bagaimana De Gea di depan gawang.

Serupa dengan para pemain outfield yang memiliki expected goals (xG), para penjaga gawang pun demikian. Akan tetapi, ukuran buat kiper adalah expected goals on target conceded (xGOT Con). Secara sederhana, elemen ini memperkirakan berapa kali seorang penjaga gawang kemasukan gol dalam satu laga atau musim kompetisi.

De Gea memang kebobolan gol non-penalti sebanyak 25 kali pada musim tersebut. Akan tetapi, perhitungan xGOT Con De Gea jauh lebih tinggi daripada itu. StatsBomb dan Opta sama-sama menilai bahwa XGOT Con De Gea di Premier League 2017/18 adalah 38.

Artinya, De Gea diperkirakan bakal kemasukan 38 gol non-penalti. Ternyata kenyataan tak selalu sama dengan harapan. Angka kemasukan gol yang lebih kecil daripada xGOT Con dapat merefleksikan bahwa kualitas De Gea sebagai seorang kiper jauh di atas ekspektasi. Sudah bersiap-siap kecewa, Manchester United malah bahagia.

Mengingat laga antara United dan Arsenal pada 3 Desember 2017 merupakan salah satu cara terbaik untuk menerjemahkan statistik dan angka tentang De Gea. United menang 3-1 dan Jesse Lingard yang mencetak dua menjadi man of the match. Akan tetapi, pertandingan itu berkisah tentang ketidakwajaran De Gea.

Itu adalah laga yang membuat entah berapa banyak suporter Manchester United keringat dingin. Di sepanjang laga, De Gea 14 kali melakukan penyelamatan. Sejago apa pun penjaga gawangmu, menyaksikan dia melompat-lompat kepayahan menggagalkan sepakan lawan tidak akan menjadi saat-saat yang menyenangkan.

Kalau boleh memilih, suporter United saat itu lebih suka menonton De Gea ongkang-ongkang kaki sambil berteriak "vamos! vamos!" kepada kawan-kawan penyerangnya yang sibuk membobol gawang lawan.

De Gea seperti manusia yang datang dari masa depan yang tahu persis apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukannya. Ia paham betul apa yang harus dikerjakannya dalam waktu sepersekian detik ketika Romelu Lukaku secara tidak sengaja membelokkan bola Alexis Sanchez ke gawang sendiri. De Gea mafhum benar bagaimana caranya menangkap bola yang melesat dari sepakan menyusur tanah Alexandre Lacazette.

Penyelamatan itu membuat Sanchez mendapatkan bola rebound. Sanchez penyerang pintar. Ia tahu betul bahwa ia hanya berjarak satu atau dua meter dari gawang. Ini kesempatan emas. Momentum sedang berpihak padanya. Inilah saat yang tepat untuk menghentikan sepak terjang De Gea.

Sekali lagi kita menyaksikan keajaiban. Sadar tak punya banyak waktu untuk bangkit setelah menjatuhkan diri, De Gea menjulurkan kaki untuk menyambut sepakan jarak dekat Sanchez. Dalam sekejap De Gea berhasil membujuk momentum untuk memunggungi Sanchez. Dalam waktu sepersekian detik, De Gea dan momentum menjadi kawan karib.

Lalu sampailah kita pada masa ini, saat tanda tanya besar terus-menerus membuntuti De Gea. Orang-orang mempertanyakan kualitasnya, meragukan kepemimpinannya, dan mengharapkan kepergiannya.

United memulangkan Dean Henderson pada 2020/21. Kiper asal Inggris itu tampil hebat bersama Sheffield United. Dengan modal 13 cleansheet, Henderson membantu Sheffield promosi ke Premier League pada akhir 2018/19. 

Ia memang masih bermain di Sheffield pada 2019/20. Namun, keberadaannya di sana sudah membuat kubu United terbelah menjadi dua. Ada yang meragukan kualitasnya karena Sheffield adalah tim promosi, ada pula yang menyebut pencapaian itu memang hebat karena Championship dianggap sebagai liga yang lebih barbar ketimbang Premier League.

Terlepas dari siapa yang benar, membandingkan Henderson dan De Gea begitu saja serupa dengan membandingkan stroberi dan beri. Sama-sama beri, tetapi punya situasi berbeda. Sama-sama penjaga gawang, tetapi berlaga bersama tim dengan kondisi berbeda.

Henderson menghabiskan musim 2019/20 sebagai palang pintu terakhir pertahanan untuk Sheffield yang beringas saat menyerang. Bahkan tak jarang dua dari tiga bek tengah Sheffield ikut maju bersama bek sayap. Dengan begitu, Henderson hanya tinggal berdua bersama seorang bek tengah. 

Situasi itu membuat Henderson juga harus menjadi penjaga gawang yang agresif. Ia adalah komando tunggal di area penalti. Bahkan saat timnya unggul jauh, tak jarang Henderson mendistribusikan bola sendirian dari ujung gawang. Lazimnya, tim yang sudah unggul--katakanlah 2-0 atau 3-0--akan menumpuk banyak pemain di area pertahanan.

Dalam tulisannya untuk The Athletic, Carl Anka memaparkan bahwa sistem permainan United tidak sama seperti Sheffield. United adalah tim yang sebagian besar pemain bertahannya mengetatkan pertahanan di area tengah. Dengan begitu, De Gea bukan pemain yang dirancang untuk menjadi komando tunggal di area penalti seperti Henderson. 

Ia selalu memiliki satu bek, entah itu Harry Maguire atau Aaron Wan Bissaka di dekatnya yang mengatur garis akhir pertahanan. Bahkan saat melepas tendangan gawang, De Gea memiliki satu atau dua bek yang bertugas untuk menyambut sepakannya dan mendistribusikan bola tersebut ke depan.

Di bawah kepelatihan Ole Gunnar Solskjaer, permainan United punya ciri khas. Para pemainnya senang betul melakukan dribel. Namun, tak ada manuver tanpa risiko, begitu pula dengan dribel. Jika melakukan eror atau pemain dapat merebut bola, situasi bisa kacau balau. United memang tim yang cepat melakukan serangan balik. 

Akan tetapi, tak selalu begitu jika bicara tentang pertahanan. Kalau pertahanan melakukan kesalahan, akibatnya dapat ditebak. Lawan akan semakin dekat dengan kiper dan bukan tidak mungkin ia bakal dihabisi dengan tembakan.

Performa De Gea pada 2019/20 memang tak sebaik musim sebelumnya, apalagi 2017/18. Akan tetapi, ia tidak bisa disebut sebagai penjaga gawang buruk. Mengutip Opta, De Gea menciptakan 96 saves di Premier League 2019/20. Tiga belas di antaranya dengan kaki, sedangkan 83 lagi dengan tangan.

Sementara, Henderson membuat 97 penyelamatan untuk Sheffield di Premier League 2019/20. Bila dipecah, aksi itu akan menjadi 7 penyelamatan dengan kaki dan 90 dengan tangan. Namun, kita harus kembali kepada gaya permainan United dan Sheffield tadi.

Sejak awal, De Gea tidak pernah dibentuk menjadi kiper yang bertarung sendirian di lini pertahanan. Sepintas ini seperti membuat United tampak sebagai ‘kawan yang baik hati’ untuk De Gea.

Dunia telanjur mengecap kiper sebagai pemain yang kesepian, yang berkawan karib dengan sunyi. Maka, ketika United memberikan beberapa bek sebagai kawan De Gea di lini pertahanan, nasib kiper 'Iblis Merah' tidak seburuk yang dibicarakan orang-orang. Masalahnya, perlakuan itu seperti pisau bermata dua karena lini pertahanan United tidak kalis dari eror. Kalau mereka salah, ya, De Gea yang menanggung akibatnya.

Sementara, Sheffield membentuk Henderson sebagai kiper yang terbiasa bertarung sendirian di area belakang. Dia diserahi tugas untuk menjadi penjaga gawang yang agresif, dituntut untuk tahu bertahan dan menyerang saat kawan-kawannya sibuk membabi-buta di area terdepan. Barangkali itu yang membuat Henderson tampil superior. Jika lini pertahanan United gagal terus melindungi De Gea bukan tak mungkin Henderson dapat maju mengungguli seniornya.

***

De Gea datang ke United pada 2011. Bebannya tak tanggung, apalagi ringan. Ia harus menggantikan Edwin van der Sar yang sebelumnya menempati posisi itu dengan sangat brilian. De Gea datang saat berusia 20 tahun. Sir Alex Ferguson mengamatinya sebagai bocah ceking yang ototnya belum siap menghadapi penyerang-penyerang tangguh Premier League.

De Gea datang sebagai bocah culun. Namun, Sir Alex tak butuh superstar ada dalam timnya. Yang ia butuhkan adalah pesepak bola keras kepala yang tak lembek saat ditempa habis-habisan oleh kepelatihannya yang keras betul.

Lantas di hadapan para pemainnya, Sir Alex berkata bahwa De Gea adalah pemain berkarakter United. Ia tak datang dengan nama besar. Ia tak mampu berbahasa Inggris dan tak mungkin bisa punya SIM dalam waktu dekat. Namun, dengan segala hal yang membuat akamsi Manchester menertawakannya, De Gea tak mundur ketika mesti turun arena hanya untuk dihajar para pemain tangguh.

Sikap seperti itu yang membuat Sir Alex tak mau melepas De Gea. Bahkan ketika Sir Alex meninggalkan Old Trafford, De Gea tinggal. Ia tetap berdiri di depan gawang United, menjadi pesakitan terakut setiap kali timnya dihajar kekalahan.

Barangkali di sejumlah malam kekalahan tersebut, De Gea mengingat jelas apa yang terjadi, bahwa ia baru saja kalah saat berhadapan satu lawan satu dengan apa pun yang membawanya jauh ke ujung garis pertahanan.