Benarkah Jersi Nomor 9 Milan Terkutuk?

Ilustrasi: Arif Utama.

Benarkah jatuh bangun di atas lapangan bola sesederhana mengotak-ngotakkan siapa yang diberkati dan siapa yang dikutuk?

Segalanya tampak baik-baik saja untuk Alexandre Pato ketika datang ke Milan pada 2007/08. Pato menunjukkan bahwa dia bukan pemuda bau kencur yang gamang meski harus bersaing dengan penyerang-penyerang papan atas seperti Ronaldo, Filippo Inzaghi, dan Alberto Gilardino. Pada musim perdananya di Eropa, Pato mengemas delapan gol dalam 18 laga.

Pemuda 18 tahun ini menjawab keraguan publik dengan elegan. Ia menepikan Ronaldo, Gilardino, Ricardo Olivieira, dan penyerang-penyerang muda berbakat seperti Pierre Emerick Aubameyang dan Alberto Paloschi. Setidaknya, Pato bisa mengemas 18 gol dalam 42 laga. 

Hari-hari menyebalkan datang ke hadapan Pato setelah bursa transfer musim panas 2010. Dengan menggebu-gebu, Milan yang begitu merindukan scudetto mendatangkan Zlatan Ibrahimovic dan Robinho. 

Saat persaingan lini depan bertambah panas, Pato mesti bertarung melawan cedera. Salah satu yang terparah adalah cedera ACL yang memaksanya menepi sepanjang 2011. Dari situ Milan mendatangkan Antonio Cassano dan sejak saat itu, cerita Pato tergerus dari San Siro.

Pembicaraan tentang kutukan itu muncul. Keputusan Inzaghi untuk pensiun membuat jersi nomor 9 diberikan kepada Pato. Bagi para suporter, Inzaghi adalah anugerah yang entah kenapa dikirimkan Tuhan untuk Milan. 

Mewariskan jersi kepada Pato yang memang masih muda dan tajam adalah upaya untuk merawat anugerah tersebut. Sayangnya, realitas justru benar-benar berlawanan dengan harapan. Cedera tak berkesudahan menyingkirkan Pato dari Milan. Seliar apa pun mimpinya kini, pintu San Siro belum juga dibukakan untuknya.

Jika Pato menjadi satu-satunya pemain yang gagal saat mengenakan kostum tersebut, mungkin publik akan menganggapnya sebagai kejadian luar biasa. Masalahnya, setelah Pato siapa pun yang berlaga dengan jersi nomor 9 seperti kehilangan taji dan magi.

Pembicaraan mengenai kutukan dan berbagai macam mitos adalah perkara jamak di ranah sepak bola. Apa boleh buat, sepak bola pada dasarnya karib dengan persoalan ajaib dan tak masuk akal. 

Seaneh-anehnya  mitos, ia dibiarkan hidup untuk merangkum kompleksitas ke dalam bentuk yang paling mudah dimengerti. Mitos menjadi masalah ketika ia ditelan bulat-bulat tanpa mendedah apa yang terjadi di baliknya. 

Mitos ada supaya satu peristiwa dapat tetap hidup dan diingat. Jika merujuk pada suatu peristiwa buruk, mitos seharusnya menjadi peringatan bagi sekelompok orang untuk mencegah dan mengantisipasi.

Begitu pula dengan kutukan jersi nomor 9 Milan. Jika dikupas satu per satu, kegagalan para pemain bernomor punggung 9 tidak terjadi begitu saja.

***

Setelah Pato, giliran Alessandro Matri tiba. Keputusan mendatangkan Matri dari Juventus pada 2011 konon juga dipicu oleh Massimiliano Allegri yang memang menyukai permainannya. Keduanya pernah bekerja sama di Cagliari.

Alih-alih mengulang cerita menyenangkan di Cagliari, Allegri dan Matri sama-sama gigit jari. Persoalan yang tertutupi oleh cerita kutukan adalah rencana Milan yang tidak jelas. Di bawah kepelatihan Allegri saat itu, Milan berlaga dengan formasi dasar 4-3-3 meski kembalinya Ricardo Kaka mengubah skema menjadi 4-3-1-2. 

Persoalan muncul karena Milan memiliki Mario Balotelli sebagai target man. Itu artinya, salah satu dari Matri atau Balotelli harus bermain lebih untuk mengemban fungsi link-up player. 

Salah besar jika mengira Matri yang mengemban tugas itu. Dengan begitu, muara serangan Milan bukan lagi Baloteli, tetapi Matri. Masalahnya, Matri tidak seefektif Balotelli. Di sisi lain, Balotelli juga tidak bisa tampil seganas biasanya karena terlalu berjarak dengan gawang lawan. 

Keputusan untuk mendatangkan Matri seharga 11 juta euro itu menjadi salah satu blunder terkonyol Milan. Meski datang dengan atribut ‘pemain favorit Allegri’, Matri dan pelatihnya itu tidak bisa benar-benar sinkron. Ketimbang menyelesaikan masalah, Matri lebih sering membuat masalah di Milan. 

***

Persoalan jersi nomor punggung 9 datang lagi ketika Milan merekrut Fernando Torres. Tidak ada yang benar-benar paham mengapa Milan memutuskan untuk ikut dalam perjudian semacam ini. Dibandingkan dengan penampilannya di Atletico Madrid jilid pertama dan Liverpool, Torres sudah hampir habis. Sejak 2011/12, sepak bola sudah kehilangan badai El Nino yang ganas.

Mungkin Milan ingin membangkitkan kembali Torres yang pernah dikenal dunia. Masalahnya, Milan cuma punya keinginan tanpa tahu bagaimana mewujudkannya. Ketika itu Milan yang dilatih Inzaghi sudah memiliki Keisuke Honda, Jeremy Menez, dan El Shaarawy. Permainan ketiganya membuat lini serang Milan cukup padu. 

Sebagai sayap kanan, Honda juga sigap jika harus melindungi full back ketika membangun serangan. Operan cepat pemain asal Jepang ini juga oke untuk memulai serangan balik. Ketika Torres tiba, Honda merupakan top scorer sementara Milan dengan enam golnya.

El Shaarawy memang tidak setajam musim-musim perdananya. Namun, sang Pharaoh cukup efektif untuk melakukan cut inside dari sisi kiri. Ia juga dapat diandalkan untuk melepas serangan jarak jauh. Jangan lupa bahwa El Shaarawy memang tipe penyerang yang lebih andal untuk melepas tembakan jarak jauh. Menez yang berperan sebagai false nine membuat para suporter Milan masih bisa berharap pada lini serang mereka.

Menez bisa memasuki ruang tanpa terdeteksi lawan-lawannya. Umpan-umpannya pun membantu menjaga permainan Milan agar tak putus di tengah jalan. Kedatangan Torres memaksa Menez berpindah ke posisi lain atau menepi.

Sebenarnya Torres bisa berfungsi sesekali. Dalam beberapa pertandingan, ia sanggup meregangkan pertahanan lawan dan menawarkan variasi dengan direct run

Namun, performa itu tidak muncul secara konsisten. Akibatnya dapat ditebak. Jangankan mengangkat performa Milan, mengangkat performa sendiri pun Torres kepayahan. Lagi-lagi tak ada gemilang di jersi bernomor punggung 9 Milan.

***

Ketika diserahkan ke Inzaghi, Milan sedang tidak karuan. Sudah dihantam krisis finansial, Milan juga tak bisa berbuat banyak di atas lapangan. Milan hidup dari satu kekeliruan ke kekeliruan lain, termasuk ketika mendatangkan Mattia Destro.

Destro tidak datang ke Milan dalam keadaan baik-baik saja. Ia gagal di AS Roma karena tidak bisa menyatu dengan permainan tim didikan Rudi Garcia. Roma saat itu beroperasi dengan skema dasar 4-3-3 dengan Francesco Totti yang berperan sebagai false nine. Sang Pangeran Roma biasanya diapit oleh Gervinho dan Adem Ljajic.

Yang dibutuhkan Roma bukan penyerang tengah, tetapi penyerang sayap cepat untuk membukakan ruang untuk Totti. Destro tidak bisa mengemban tugas itu karena ia merupakan penyerang tengah. Keberadaannya justru membuat struktur serangan Roma jadi kaku. 

Di bawah kepelatihan Inzaghi Milan menggunakan sistem yang mirip. Selain itu, performa Menez sebagai false nine membaik. Mengorbankan Menez adalah kebodohan, tetapi tidak memanfaatkan Destro adalah pemborosan. Pada akhirnya, San Siro hanya menjadi kubangan lain bagi Destro.

Cerita serupa berlanjut. Milan memberikan jersi bernomor punggung 9 yang telanjur dianggap sakral itu kepada para pemain yang diangkut via keputusan transfer yang membuat entah berapa banyak suporter pening. 

Transfer-transfer tidak jelas seperti Luiz Adriano dan Gianluca Lapadula hanya menambah seram cerita kutukan jersi tersebut. Mereka bukan pemain buruk. Yang buruk adalah transfer Milan yang tanpa rencana matang. 

Bursa transfer seharusnya menggambarkan rencana apa yang hendak dijalankan tim di musim atau periode baru. Dengan begitu, para pemain atau pelatih yang didatangkan seharusnya sesuai dengan rencana tersebut. Milan melakukan sebaliknya. Mereka mendatangkan pemain dulu, lalu membuat rencana. Akibatnya, ya, dilema dan kekacauan melulu.

***

Suporter Milan girang bukan main begitu Andre Silva menjejak ke San Siro pada 2017. Pemain sekaliber Cristiano Ronaldo saja mengakui bahwa Silva pantas ditahbiskan sebagai masa depan sepak bola Portugal. Dari situ wajar jika Milan berusaha mengangkut Silva dari Porto.

Lagu lama mengalun lagi. Alih-alih mengangkat performa tim, Silva melempem pada musim perdananya. 

Silva yang terbiasa menyentuh bola banyak-banyak tak sesuai dengan permainan di Italia. Liga Primer Portugal berbeda dengan Serie A. Di Serie A, penyerang atraktif yang doyan menggiring bola seperti Silva jadi bulan-bulanan pemain bertahan lawan.

Milan seharusnya tidak hanya menggunakan sejarah untuk mengungkit pencapaian masa lalu, tetapi juga untuk belajar. Musim perdana Marco van Basten yang agung itu adalah hari suram. Van Basten kesulitan karena ia terlalu sering menggiring bola. 

Ketimbang ngebet mendatangkan penyerang seperti Silva, lebih baik Milan memburu pemain yang cerdik memosisikan diri dan menjadi muara serangan tim. Vincenzo Montella yang menyadari kecenderungan tersebut cuma bisa membangkucadangkan Silva terus-menerus. 

Ketika Gennaro Gattuso melatih, perlakuan serupa juga diterima Silva. Gattuso mungkin tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena taktiknya  sangat mengandalkan pertahanan dan serangan balik. 

Silva yang masih individualis tentu tidak bisa masuk ke permainan tim. Gattuso tidak mungkin mengorbankan seluruh tim. Maka, sekarang bolanya ada di Silva bertahan, tetapi mengubah gaya bermain, atau angkat kaki. 

Silva memilih dipinjamkan ke Frankfurt. Di klub itu pula ia menemukan kembali permainan terbaiknya. Keputusan selanjutnya tepat karena Silva memilih untuk dipermanenkan.

Milan yang berkali-kali gagal saat menampung pemain yang hampir habis ternyata belum kapok. Kali ini, mereka membukakan pintu untuk Gonzalo Higuain pada bursa transfer musim panas 2018. Pemain Argentina ini diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan akan penyerang tajam Milan.

Start Higuain tidak bisa disebut buruk. Dalam 5 pertandingan pertamanya di Serie A, dia merangkum torehan 4 gol dan 1 assist. Asa suporter Milan pun melambung karenanya.

Masalahnya, ketajaman Higuain berhenti sampai di situ. Untuk 8 pertandingan selanjutnya di liga, Higuain yang berlaga dengan kostum 9 cuma sanggup membawa pulang 1 gol. Yang menyedihkan, Higuain bukan hanya kehilangan tajam. Emosinya meledak-ledak sehingga ia lebih sering disorot karena membuat kontroversi daripada gol.

***

Awalnya segala sesuatu tampak brilian buat Krzysztof Piatek. Dalam setengah musim 2018/19, ia menjadi kejutan dengan mencetak 13 gol untuk Genoa

Rossoneri  yang sedang dalam misi bangkit bersedia membayar 35 juta euro untuk mendatangkan Piatek ke San Siro. Pada kedua 2018/19, dia sanggup mengoleksi 9 gol untuk Milan. Dua puluh dua gol dalam musim pertamanya di Serie A adalah bukti potensi besar Piatek.

Pemain Polandia ini baru mengenakan jersi nomor 9 pada musim 2019/20. Dalam sekejap, Piatek yang berulang kali melepas selebrasi menembak itu tidak terlihat lagi di Milan.

Piatek meredup. Cerlangnya yang menyala-nyala seperti padam dalam semalam. Tentu saja orang-orang mengungkit kutukan jersi nomor punggung 9. Namun, sepak bola tidak sesederhana mengotak-ngotakkan siapa yang diberkati dan siapa yang dikutuk.

Yang berganti pada 2019/20 bukan cuma nomor punggung Piatek, tetapi juga pelatih Milan. Itu berarti, perubahan sistem permainan pun bisa terjadi. Skema 4-3-3 yang dimainkan oleh si pelatih baru, Stefano Pioli, ternyata tidak sesuai untuk Piatek. Dalam 20 laga, ia cuma mampu mengemas 5  gol.

Pioli tidak datang ke San Siro sebagai pelatih Piatek, tetapi pelatih Milan. Jika sistem itu sesuai untuk tim, tetapi tidak pas untuk Piatek, keputusan logisnya adalah menepikan dan menyingkirkan Piatek. Langkah itu pula yang diambil oleh Pioli. 

Pada musim yang sama pula Milan berhasil mendatangkan Zlatan Ibrahimovic. Pemain asal Swedia memang karibnya pengecualian. Jika pemain tua lainnya gagal menunjukkan taji di Milan, Zlatan adalah kebalikannya. 

Segala perubahan yang terjadi pada Milan pun mengubah nasib Piatek. Tidak ada lagi selebrasi yang membuat seantero stadion menirukan suara menembak. Dalam seketika, tempat Piatek berubah, dari tengah lapangan menjadi bangku cadangan.

***
Jersi nomor 9 itu kini melekat pada tubuh Mario Mandzukic. Tidak ada satu orang pun yang tahu apakah cerita kutukan tersebut berlanjut atau berhenti. 

Jika kali ini Mandzukic juga gagal, rasanya ada yang perlu diperiksa ulang oleh Milan. Jangan-jangan kutukan Milan yang sebenarnya bukan jersi nomor 9, tetapi ketidaksanggupan merawat apa yang ada dan merancang apa yang di depan.