Benarkah Pressing Liverpool Melempem?

Foto: @LFC.

Katanya salah satu penyebab melorotnya performa Liverpool musim ini adalah karena pressing mereka melempem. Apakah statistik memang berkata demikian?

Juergen Klopp datang dan kemudian memberikan Liverpool sebuah identitas: Tim yang jago pressing.

Gegenpressing, sebagaimana yang dipopulerkan Klopp saat dia masih bersama Borussia Dortmund, juga diaplikasikan di Liverpool. The Reds jadi mesin pressing. Mereka siap menyergap sejak kiper lawan mulai mepnggulirkan bola. Setiap lini Liverpool dibuat jadi pemburu bola yang ulung.

Tekan, tekan, dan tekan. Para pemain Liverpool dituntut harus bisa merebut bola dari lawannya dengan cepat. Pemain yang dibeli pun yang bisa memaksimalkan sistem pressing ini. Roberto Firmino kemudian dipasang sebagai penyerang tengah dan diberi peran false nine juga untuk membuat sistem pressing ini jadi maksimal.

Ketika sudah berubah jadi mesin pressing, Liverpool kemudian berubah jadi tim yang mengerikan. Performa mereka meroket. Pada musim 2018/19 mereka jadi kampiun Liga Champions dan pada musim lalu mereka berhasil menjadi juara Premier League.

Oleh karena itu, ketika prestasi mereka melorot musim ini, salah satu hal yang dibicarakan banyak orang adalah soal pressing. Banyak yang bilang kalau pressing-nya Liverpool melempem dan itu jadi musabab jebloknya performa mereka. Apa benar begitu?

Seperti biasa, kami akan mencari tahu dengan mendedah statistik pressing Liverpool. Apa memang ada penurunan yang berimpak pada permainan?

***

Untuk mengukur seberapa sukses pressing sebuah tim, statistik pertama yang kami lihat adalah angka PPDA (passes allowed per defensive action). Secara sederhana, angka PPDA adalah rata-rata umpan yang dilepaskan lawan di area lapangan mereka sebelum aksi defensif untuk merebut bola dilakukan.

Semakin sedikit angka PPDA sebuah tim, artinya semakin bagus pressing mereka. Sebab itu berarti semakin dikit pula umpan yang dilepaskan lawan sebelum bola berhasil direbut kembali oleh tim tersebut. Lawan tak sempat menguasai bola lama-lama, karena sudah berhasil direbut kembali.

Nah, pada musim lalu, Liverpool adalah tim dengan angka PPDA terbaik (paling kecil) kedua di premier League. Pasukan Klopp punya angka 8,01 atau cuma kalah tipis dari Leicester yang punya angka 7,95.

Pada musim lalu, Liverpool berhasil memaksa lawan hanya melepas 8,01 umpan per pertandingan di wilayahnya sebelum direbut kembali lewat aksi defensif. 8 umpan. Bayangkan seberapa cepat dan efektifnya pressing Liverpool itu. Tak heran kalau di musim lalu mereka jadi tim dengan pertahanan terbaik di Premier League.

Sebab, Liverpool sudah berhasil menetralisir serangan sejak dari area pertahanan lawannya. Bola belum sampai di depan mata Virgil van Dijk, eh, sudah tersebut duluan. Pressing berhasil, pertahanan aman, dan pada akhirnya Liverpool cuma kebobolan 33 gol sepanjang musim. Jadilah mereka jawara Inggris.

Pada musim ini, situasinya tak semulus itu. Angka PPDA Liverpool turun jadi 9,19. Di Premier League, angka itu hanya jadi yang terbaik ke tiga. Dari sini saja kita sudah bisa menyimpulkan bahwa pressing Liverpool memang lebih melempem ketimbang musim sebelumnya.

Namun, kami tak hanya akan menggunakan angka PPDA saja. Kami juga mendedah angka pressing Liverpool. Datanya kami ambil dari Fbref. Pada musim lalu, per 90 menit, Liverpool berhasil melancarkan 47,7 pressing sukses di seluruh kompetisi. Sementara di musim ini, mereka hanya mencatatkan 42,9 pressing sukses per 90 menit.

Angka pressing secara keseluruhannya pun menurun. Musim lalu, Liverpool punya angka pressing 148,8 kali per 90 menit. Bandingkan di musim ini yang cuma 130,8 kali per 90 menit. Dua angka itu sendiri kami ambil dari seluruh kompetisi. Hasilnya, memang pressing Liverpool jadi melempem.

Ketika kemudian kami mendedah ke statistik lain, yakni angka tekel di sepertiga akhir lapangan lawan, statistik Liverpool juga menurun. Pada musim lalu, mereka mencatatkan 3,24 tekel per 90 menit di sepertiga akhir lapangan lawan, sedangkan musim ini hanya 2,58 tekel per 90 menit.

Sebenarnya, kendurnya pressing Liverpool, terutama di sepertiga akhir area lawan, bisa dengan mudah kita lihat dari laga-laga yang mereka jalani. Di mana pemain depan acap tak terlihat seperti punya intuisi untuk merebut bola dengan cepat. Paling gampang diingat, ya, di laga leg pertama perempat final Liga Champions vs Real Madrid.

Kroos dibiarkan bebas mengumpan di leg pertama.

Dua gol Madrid, yang diawali oleh umpan lambung Toni Kroos, memperlihatkan bagaimana kurangnya inisiatif para pemain Liverpool untuk melakukan pressing. Kroos, yang punya kemampuan long ball ciamik, dibiarkan bebas untuk menentukan ke arah mana dia akan memberi umpan.

Keteledoran itu harus dibayar mahal oleh Liverpool. Umpan Kroos bisa membuat Vinicius Junior dan Marco Asensio (meski yang ini dibantu Trent Alexander-Arnold) mencetak gol. Dua gol itu membuat laju Liverpool di Liga Champions musim ini harus berakhir.

Pada leg kedua, ketika Roberto Firmino dimainkan sejak menit awal untuk mengganggu kerja para gelandang Madrid lewat pressing-pressing-nya, Liverpool berhasil tak kebobolan. Sayangnya, ketika satu tugas sudah diselesaikan, mereka tak mampu mengerjakan tugas lain: mencetak gol. Kalahlah.

Pressing Liverpool di laga leg kedua vs Madrid.

Salah satu faktor di balik melempemnya pressing Liverpool musim ini adalah menurunnya intensitas pressing sukses dari para pemain depan mereka. Trio Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah sama-sama mengalami penurunan angka pressing musim ini.

Firmino, meski acap kita lihat masih bersemangat, nyatanya jadi pemain yang penurunannya paling parah. Musim ini, pria Brasil itu hanya mencatatkan 4,94 pressing sukses per 90 menit di seluruh kompetisi. Bandingkan dengan musim lalu saat dia mencatatkan angka 6,51 per 90 menit.

Salah pun mengalami penurunan yang cukup drastis, di mana angka pressing-nya musim ini hanya 4,18 per 90 menit, berbanding musim lalu 5,63 per 90 menit. Sementara Mane penurunannya tak terlalu jauh, musim ini dia mencatatkan angka pressing sukses 4,91 kali per 90 menit, berbanding 4,52 per 90 menit di musim lalu.

Foto: @LFC

Faktor lain di balik penurunan ini adalah ketiadaan Virgil van Dijk. Anda mungkin bosan mendengar hal ini dijadikan alasan, tapi sungguhlah, ini memang ada korelasinya. Sebabnya begini: salah satu penyebab berhasilnya pressing Liverpool musim lalu adalah garis pertahanan tinggi yang mereka terapkan.

Garis pertahanan tinggi bisa tercipta karena kehadiran Van Dijk. Dia mampu membuat pemain-pemain yang ada di depannya untuk yakin dan leluasa bergerak ke depan. Ketika dia tak ada, pergerakan pemain lain tak seleluasa itu. Keberanian mereka hanya tinggal setengah.

Di garis pertahanan yang tanggung (karena memang masih cukup tinggi) ini, jumlah pemain Liverpool di area pertahanan lawan semakin berkurang. Sudahlah angka pressing pemain depan menurun, bantuan dari lini kedua dan ketiga (dalam hal ini full-back), juga terbatas.

Pressing Liverpool secara keseluruhan pun berkurang. Itu salah satu alasan yang membuat mereka tak mengerikan lagi musim ini. Padahal, intensitas pressing plus kemampuan menguasai bola yang tinggi adalah kunci keberhasilan Liverpool dalam dua musim terakhir.

***

Lantas, ketika kemudian Anda bertanya siapa tim yang lebih baik dari Liverpool dalam soal pressing di Premier League musim ini, maka jawabannya adalah Leeds United. Kebetulan mereka adalah lawan Liverpool pada laga lanjutan Premier League dini hari (20/04) WIB nanti.

Musim ini, anak asuh Marcelo Bielsa punya angka PPDA 7,01. Angka itu lebih baik dari catatan Leicester serta Liverpool musim lalu dan sangat superior dibanding peserta Premier League lainnya di musim ini. Seperti yang pernah kami tuliskan, kecakapan Leeds ini adalah buah dari perintah Bielsa kepada anak asuhnya untuk melakukan pressing total di setiap jengkal lapangan.

Yang menarik, di pertemuan pertama Liverpool dan Leeds awal musim lalu, di mana pressing intens beradu dengan pressing intens lainnya, skor akhir menunjukkan angka 4-3. Liverpool menang kala itu. Kedua tim sama-sama dibuat kocar-kacir oleh pressing lawan, tapi Liverpool masih unggul kematangan.

Akan menarik melihat pertemuan kedua Liverpool dan Leeds nanti. Leeds-nya Bielsa pasti akan kembali tancap gas dengan pressing intens mereka. Sementara itu, mari nantikan bagaimana reaksi Klopp. Bermain dengan pressing tinggi juga, ataukah lebih menunggu sebagaimana pertandingan-pertandingan mereka di musim ini?