Berbenah ala Milan

Foto: Instagram @acmilan.

Kandidat scudetto adalah satu hal, kebutuhan untuk berbenah adalah hal lain. Terlepas juara atau tidak juara di akhir musim nanti, Milan tetap butuh berbenah.

AC Milan pada era sekarang punya satu adagium: Ketika kemewahan tidak dimiliki, kecerdikan dan kegigihan menjadi kombinasi yang harus dipunyai.

Musim 2021/22 hampir berlalu. Dengan segala keterbatasan, Milan tampil mengesankan. Paolo Maldini dan jajaran manajemen mendapat aplaus meriah karena berhasil membuat tampil hebat walau harus mengencangkan ikat pinggang seketat-ketatnya. Tanggal tua tanpa akhir ibarat menjadi kawan karib Milan. Namun, Maldini dan Frederic Massara membuktikan bahwa membentuk skuad tepat guna tidak sama dengan menghambur-hamburkan uang. Ini terlihat dari biaya tahunan teranyar untuk skuad Milan.

Rossoneri menghabiskan 175 juta euro untuk skuad. Bila dibedah, itu akan menjadi 110 juta euro untuk gaji dan 65 juta euro untuk biaya amortisasi. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang Juventus dan Inter Milan yang masing-masing angkanya mencapai 370 juta euro dan 260 juta euro. Begitu pula jika dibandingkan dengan Napoli yang jumlah biaya tahunan skuadnya mencapai 215 juta euro. Dengan segala keterbatasan itu, Milan pada kenyataannya menjadi salah satu kandidat terkuat scudetto 2021/22.

Kandidat scudetto adalah satu hal, kebutuhan untuk berbenah adalah hal lain. Terlepas juara atau tidak juara di akhir musim nanti, Milan tetap butuh berbenah. Terlebih, isu kepemilikan baru klub tengah berembus. Kabar terkini, Investcorp disebut-sebut akan menjadi pemilik baru Milan terhitung sejak awal musim 2022/23.

Kedatangan pemilik baru seharusnya memberikan keleluasaan bagi Milan untuk berbenah dan bertumbuh. Toh, jika melihat perjalanan mereka musim ini, ada sejumlah aspek yang harus dibenahi.

Perkuat Sektor Serangan

Dalam sejumlah pertandingan, Milan membikin geram pendukungnya sendiri. Penyebabnya adalah ketidakmampuan untuk mencetak gol yang mengantarkan mereka pada kemenangan.

Di bawah asuhan Stefano Pioli, Milan sering bermain dalam formasi 4-2-3-1. Milan memanfaatkan bola-bola pendek cepat untuk membentuk serangan direct yang mengancam gawang lawan. Dengan cara ini, serangan Milan jadi lebih cair.

Ketika fluiditas terpenuhi, muncul masalah lain. Serangan Milan acap tertebak lawan. Itulah sebabnya, dalam sejumlah pertandingan, terutama melawan tim-tim dengan blok pertahanan rendah, Milan kesulitan untuk mengonversi peluang menjadi gol. Sebenarnya kesulitan menghancurkan garis pertahanan rendah adalah perkara wajar. Namun, hal ini menjadi persoalan serius jika pada dasarnya Milan tampil sebagai tim yang tampil dominan dalam menyerang. Ambil contoh dalam laga melawan Bologna dan Torino yang keduanya berakhir dengan skor 0-0. 

Dalam laga melawan Bologna, Milan membuat 33 upaya tembakan, sementara Bologna hanya 8. Akan tetapi, 12 dari 33 upaya tersebut berhasil dipatahkan oleh blok lawan. Empat belas lagi tidak tepat sasaran, sedangkan sisanya–hanya 7–mampu dimentahkan oleh sang penjaga gawang. Dari sini terlihat bahwa pola serangan Milan dapat dengan mudah dibaca lawan. 

Begitu pula saat berhadapan dengan Torino. Mereka menciptakan 14 percobaan sepanjang laga, tetapi 10 di antaranya berhasil dimentahkan oleh blok lawan. Kurang kejutan, barangkali itu adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi sektor penyerangan Milan.

Kecenderungan seperti ini membuat Milan kesulitan menciptakan gol-gol cepat. Bahkan dalam dua laga teranyar yang berakhir dengan kemenangan 2-1 atas Lazio dan 1-0 atas Fiorentina pun, Milan baru bisa membobol gawang lawan pada babak kedua.

Milan membutuhkan pemain-pemain di sektor serangan yang tahan akan pressing lawan. Secara teori, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh Milan untuk membongkar pertahanan rapat lawan.

Yang pertama adalah dengan menempatkan banyak penggawa di sisi dominan serangan Milan. Kecenderungan jalur serangan Milan ada di sisi kiri. Kalaupun Milan tidak bisa mendapatkan situasi overload, setidaknya mereka tidak kalah jumlah dengan pemain lawan. Hal ini krusial untuk menjaga aliran bola tidak terputus dan memiliki banyak opsi umpan.

Hal kedua yang dapat dilakukan Milan untuk memecah kebuntuan yang sering merongrong adalah dengan rajin melakukan switch play atau perpindahan bola antar-sisi. Manuver seperti ini dapat membuat Milan dapat menyerang di ruang kosong karena toh, lawan sudah fokus untuk bertahan di area serangan lawan. 

Agar pola seperti ini dapat berhasil, Milan butuh pemain yang dapat menjadi pembeda sejak dari lini tengah mengingat, serangan Milan biasanya dimulai dari lini kedua. Sandro Tonali biasanya menjadi jantung permainan Milan. Akan tetapi, untuk memastikan ia tak menanggung beban sendiri, Tonali membutuhkan tandem yang dengan kemampuan yang sama primanya. 

Berangkat dari situ, Milan gencar memburu gelandang Lille, Renato Sanches. Pemain satu ini serba-bisa. Mulai dari gelandang bertahan hingga gelandang box-to-box semua bisa ia lakukan. Dengan pemain yang fasih dalam bertahan dan menyerang sekaligus, Milan bakal memiliki keleluasaan untuk melakukan switch play. Jika buntu, Milan dapat memindahkan jalur serangan secara cepat dari kanan ke kiri.

Hal ketiga yang dilakukan Milan adalah dengan menginstruksikan Olivier Giroud untuk sering masuk ke area tengah. Giroud dibutuhkan karena pergerakan cepatnya dapat mengganggu bek lawan. Manuver ini pun diperlukan saat Milan sedang dalam transisi dari bertahan ke menyerang. Giroud yang berada di tengah dan biasanya tidak turun terlalu jauh akan siap menjadi penerima umpan. Pergerakannya berpotensi membingungkan pemain belakang lawan.

Cara keempat, yang tampaknya juga menjadi pertimbangan belakangan ini, adalah dengan mendatangkan sosok pembeda di lini serang. Adalah Divock Origi yang tambah ke sini tambah sering dikait-kaitkan dengan Milan.

Jaga Lini Pertahanan

Pada dasarnya, Milan sedang mengalami krisis bek tengah. Kondisi ini dimulai ketika Simon Kjaer cedera pada awal Desember 2021. Kjaer mengalami cedera lutut parah yang memaksanya absen panjang. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, ia baru dapat kembali pada musim depan. 

Tanpa Kjaer, saat ini Milan hanya memiliki tiga bek tengah murni: Matteo Gabbia, Fikayo Tomori, dan Alessio Romagnoli. Sayangnya, Romagnoli dan Gabbia acap tampil di bawah rata-rata. Alhasil, Pioli memutar otak dengan mengalihfungsikan Pierre Kalulu sebagai bek tengah.

Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, Milan seharusnya mempersiapkan diri dengan mendatangkan bek tengah baru. Toh, riwayat cedera dua bek tengah utama mereka, Kjaer dan Tomori, juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Adalah Sven Botman yang santer dikabarkan mendekat ke Milan. Ya, begitulah. Belakangan Lille memang cukup menjadi tujuan favorit jika bicara tentang bursa transfer. Bek tengah asal Belanda ini merupakan salah satu tokoh kunci ketika Lille menjadi kampiun Ligue 1 2020/21. Akan tetapi, kepergian Mike Maignan dan sang pelatih membuat Lille kehilangan taring pada musim ini. Meski demikian, Botman tetap dipandang sebagai pahlawan. Bagi orang-orang Lille, ia adalah last man standing.

Kjaer dan Botman adalah dua bek tengah yang berbeda. Jika Kjaer layak disebut sebagai bek tengah modern, Botman lebih cocok dicap sebagai bek tengah konvensional. Ia kuat dalam duel udara. Mengutip statistik FBref, kemenangan duel udara Botman mencapai 73,2% di kompetisi liga, sedangkan Kjaer tak lebih dari 45%. Ia membuat rerata 8 recovery per laga liga (total 193 dalam 24 laga). Jumlah rerata itu lebih tinggi daripada Kjaer yang mencatatkan 5 recovery per pertandingan liga.

Gaya bermain Botman mungkin terkesan kuno di era sepak bola modern. Namun, sebagai bek tradisional, ia dapat bertukar peran dengan Tomori. Dengan begitu sang bek Inggris dapat menekan dengan intensitas yang lebih besar, sementara Botman bertindak sebagai pemain lapis terakhir. Postur tubuhnya yang tinggi adalah keuntungan jika ia harus menangkal bola-bola udara, sedangkan Tomori dapat diandalkan untuk menekan lawan sehingga membuat mereka melakukan kesalahan di area krusial. Dengan begini, keseimbangan lini pertahanan Milan dapat terjaga.