Berdiri dengan Aman di Tribune Stadion Inggris

Foto: Wikipedia

Tragedi Hillsborough pada 1989 merevolusi stadion-stadion sepak bola Inggris. Namun, kini keberadaan tribune berdiri di stadion kembali didengungkan.

1 Agustus 1989, Departemen Kehakiman Inggris merilis dokumen penyelidikan Tragedi Hillsborough yang disusun oleh Peter Murray Taylor. Laporan interim yang juga dikenal sebagai Taylor Report itu menyimpulkan berbagai penyimpangan, mulai dari koordinasi pihak kepolisian dan ruang kontrol, antisipasi dan penanggulangan bencana, hingga desain stadion. Berangkat dari dokumen itu pula, Taylor dikenal sebagai pria yang merevolusi sepak bola Inggris.

Yang terdengar di seantero Hillsborough pada 15 April 1989 adalah pekik kehilangan dan erangan kesakitan. Semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest melimpahkan duka yang mengakar dan beranak cucu.

Bermula dari tragedi

Sebelum Stadion Wembley direnovasi, laga semifinal Piala FA digelar di tempat netral. Adalah Federasi Sepak Bola Inggris (FA) yang menentukan tempat pertandingan. Hillsborough sering dipilih menggelar partai semifinal. Pertimbangan utama yang membuat Hillsborough menjadi langganan lokasi semifinal Piala FA adalah kapasitasnya yang saat itu mampu menampung 54.000 penonton.

Pertimbangan lainnya adalah keberadaan tribune berdiri. Bagi penggila sepak bola Inggris, tribune berdiri adalah elemen penting karena selain dapat menampung lebih banyak penonton, bisa membuat atmosfer pertandingan terasa lebih kental. Itu belum ditambah dengan harga yang relatif murah dibandingkan tribune duduk. 

Sederhananya, tribune penonton dapat merangkul lebih banyak penonton. Toh, sepak bola adalah olahraga dan permainan inklusif. Tak peduli kantongmu kempis atau tebal, kamu dipersilakan untuk menikmati pesta dan sirkus terbaik yang pernah ada di muka Bumi ini.

Tidak ada satu tempat pun di dunia ini yang mampu menawarkan kesempurnaan, termasuk Hillsborough. Stadion ini hanya memiliki dua arah akses pintu masuk: Barat dan timur. 

Ketika itu, akses menuju tribune utara tertutup karena ada permukiman warga di belakang stadion dan akses selatan sulit dijangkau karena bentangan Sungai Don. Selain itu, akses masuk dari barat yang berpangkal dari Leppings Lane memiliki ujung yang menyempit sehingga berpotensi menimbulkan jejalan massa.

Pada hari semifinal, banyak suporter Liverpool yang dilaporkan terlambat masuk ke stadion. Bukannya langsung masuk agar menghindari jejalan, mereka yang terlambat memilih untuk bersantai di sekitar Leppings Lane meski pintu stadion sudah dibuka sejak pukul 11.30. 

Sekitar pukul 14.00 kamera pengawas menunjukkan bahwa tribune penonton Nottingham Forrest sudah terisi penuh, sedangkan tribune Liverpool masih lengang. Laporan Taylor menjelaskan bahwa kerumunan suporter Liverpool baru bergerak memasuki stadion pada pukul 14.20.

Sebenarnya petugas di ruang kontrol meminta laga yang dijadwalkan dimulai pada pukul 15.00 untuk ditunda karena banyak suporter yang masih berada di luar stadion. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolak karena menurut prosedur, penundaan laga hanya dapat dilakukan jika ada kabut tebal dan lalu lintas menuju stadion tak kondusif akibat kemacetan parah.

Penumpukan suporter di tribune barat dipandang sebagai penyebab tragedi yang menewaskan 97 orang ini. Begitulah, awalnya korban tewas diklaim mencapai 96 orang. Namun, pada 27 Juli 2021 Liverpool merilis pernyataan resmi bahwa korban tewas Tragedi Hillsborough mencapai 97 orang.

Pertanyaan mengapa kondisi tersebut bisa terjadi terjawab jika melihat lagi desain stadion. Tribune barat Hillsborough terdiri dari dua tingkat yang dibagi menjadi tujuh sektor. Serupa stadion lainnya, spot favorit adalah area belakang gawang. Di tribune barat Hillborough, lokasi ini ada di sektor 3 dan 4.

Masalahnya, untuk masuk menuju sektor 1,2,6, dan 7, suporter harus melewati lorong sektor 3 dan 4. Inilah yang menyebabkan penumpukan di kedua sektor tersebut. Singkatnya, dua sektor ini menjadi titik temu antara penonton  di sektor 3-4 dan yang menuju sektor lain.

Situasi mulai tidak terkendali karena para penonton saling dorong untuk masuk ke stadion menjelang pertandingan dimulai. Tidak hanya berdesakan, bahkan banyak penonton yang pingsan karena terjatuh dan kesulitan bernapas.

Ketika kondisi tambah tak karuan, polisi membuka pintu keluar untuk memecah konsentrasi massa. Langkah ini justru menjadi blunder karena memberikan akses kepada penonton tanpa tiket untuk masuk. Bukannya mampu mengurai tumpukan suporter, kondisi malah kian tidak terkendali.

Kekacauan di tribune barat kian menjadi enam menit jelang laga dimulai. Saking ricuhnya, pintu 3 sampai jebol. Polisi merespons kejadian tersebut dengan segera menutup kembali pintu 3. Tak berselang lama, pintu 3 kembali jebol, dan petugas kepolisian berusaha mendorong masuk suporter yang terjebak di dalam.

Yang disesalkan, pihak kepolisian bukannya meredam kekacauan di pintu 3, tetapi malah bersiaga untuk mengantisipasi pitch invasion. Menurut Taylor Report, ini juga ada kaitannya dengan koordinasi dari ruang kontrol.

Karena situasi makin tak terkendali, Komandan Lapangan, Roger Greenwood, akhirnya meminta wasit untuk menghentikan pertandingan. Satu-satunya prioritas dalam titik ini adalah menekan jumlah korban.

Meski kekacauan sudah terjadi jelang awal laga, mengacu Taylor Report, evakuasi baru dimulai pada pukul 15.12. Kepala Divisi Lalu Lintas meminta bantuan polisi yang lain dan sejumlah suporter untuk merobohkan pagar suporter agar siapa pun yang terjebak dalam kekacauan bisa keluar. 

Ketika pertandingan dihentikan, para suporter memiliki kesempatan untuk keluar dari stadion sambil menolong suporter lain yang terluka dan tidak sadarkan diri.

Hillsborough seketika berubah menjadi neraka. Tidak hanya korban luka-luka, tetapi juga korban tewas mengenaskan terbujur di sana. Belum lagi guncangan mental yang dialami oleh para suporter yang selamat. Laga berubah menjadi tragedi.

Nelangsa suporter bertambah besar karena sehari setelahnya media memberitakan bahwa kejadian ini murni disebabkan oleh suporter. Padahal, suporter hanya satu dari sekian banyak penyebab, seperti keputusan pihak keamanan yang keliru dan desain stadion.

Perjuangan keluarga dan kerabat suporter Tragedi Hillsborough berjalan bersamaan dengan penyelidikan yang dilakukan oleh Taylor. Berangkat dari laporan tersebutlah, sejumlah klub meniadakan tribune berdiri. 

Klub pertama yang melakukannya adalah Chester City yang bermarkas di Stadion Deva. Sementara, Milwall menjadi klub pertama yang membangun stadion dari awal--Stadion The Den--dengan panduan keamanan Taylor Report. Langkah Milwall diikuti oleh Middlesbrough, Derby County, Bolton Wanderers, dan Sunderland.

Taylor Report lantas disempurnakan dengan penerapan Safety of Sport Ground Act 1975 yang hanya mengizinkan stadion dengan tempat duduk atau all-seater. Pada 1994, klub-klub dua divisi teratas liga Inggris diwajibkan untuk menggunakan stadion all-seater.

Rail seats, win-win solution bagi stadion Inggris?

Juergen Klopp tersenyum lebar ketika berbicara tentang posibilitas penggunaan safe standing pada stadion-stadion di Inggris mulai 1 Januari 2022.

Sebenarnya aturan yang mewajibkan seluruh stadion Inggris berbentuk all-seater dan hanya penonton bertiket yang masuk ke stadion membuat laga-laga di Inggris menjadi lebih nyaman untuk ditonton.  Akan tetapi, kritik mulai berdatangan karena menguapnya atmosfer pertandingan. Aturan stadion all-seater dituding sebagai penyebab situasi tersebut. Duduk di tribune membuat atmosfer stadion justru memberikan kesan ningrat, padahal menurut mereka bukan suasana seperti itu yang seharusnya terasa di stadion-stadion Inggris.

Berangkat dari situ, muncullah kampanye agar pemerintah memodifikasi aturan all-seater stadium menjadi safe standing stadium yang disuarakan oleh Federasi Suporter Sepak Bola Inggris dan Wales (FSF).

Kampanye safe standing menawarkan opsi rail seats, clip on seats, dan foldaway seats. Dari ketiga pilihan yang ditawarkan, rail seats dinilai paling sesuai dengan regulasi sepak bola Inggris. 

Pada dasarnya, rail seats berbentuk seperti kursi lipat yang diberi pembatas pada setiap barisnya. Desain rail seats yang ditawarkan mengacu pada yang digunakan tim-tim papan atas di Bundesliga yang mana pemerintahnya memang tidak mewajibkan seluruh stadion memiliki tempat duduk. 

Ketika melakoni kompetisi Eropa, klub-klub Jerman dapat menyesuaikan tribune dengan regulasi UEFA dengan membuka kunci pada rel. Teknologi yang diterapkan pada rail seats diyakini dapat menjawab dua kebutuhan berbeda sekaligus--keamanan dan atmosfer pertandingan--karena pembatas di setiap baris membuat para penonton memiliki ruang sendiri seperti tempat duduk biasa.

Sejumlah survey pun menunjukkan bahwa sebagian besar suporter menginginkan keberadaan tribune berdiri. Pada 2009, misalnya, Organisasi Riset Pasar Suporter Sepak Bola (FFC) merilis survey yang menunjukkan bahwa 92% dari 2.046 responden menginginkan tribune berdiri kembali dibangun. Sementara, pada 2012 BBC merilis laporan yang menunjukkan bahwa berdasarkan survey FSF, 91,1% menginginkan hal serupa.

Pada 2019, pemerintah Inggris berjanji untuk menjalankan proyek tersebut. Namun, rencana tersebut baru terlihat juntrungannya pada 2021. FSF mengumumkan bahwa mereka membuka kesempatan bagi tim-tim Premier League dan Championship yang ingin menjalankan uji coba safe standing. Aplikasi tersebut dibuka hingga 6 Oktober 2021. 

Selain itu, klub-klub seperti  Manchester United, Wolverhampton Wanderers, Chelsea, Liverpool, Manchester City, dan Tottenham Hotspur dilaporkan mulai merancang dan menguji coba sendiri penggunaan rail seat. Meski demikian, SGSA berkeras menuntut klub-klub yang hendak menguji coba safe standing untuk menerapkan hal-hal berikut:

  • Tribune berdiri suporter tuan rumah dan tamu harus terpisah serta dilengkapi dengan rail seats
  • Penonton harus bisa duduk atau berdiri dengan aman di area tribune berdiri
  • Satu kursi--termasuk di area berdiri--hanya bisa diduduki oleh satu orang
  • Kursi tidak dalam keadaan terkunci dalam posisi ke atas atau bawah saat pertandingan
  • Tribune berdiri tidak boleh mengganggu pandangan suporter lain, termasuk para penyandang disabilitas

Selain syarat-syarat di atas, hal yang tak kalah penting dan mutlak dilakukan adalah evaluasi yang jujur dan objektif. Sebenarnya, Tragedi Hillsborough pada 1989 bisa saja dihindarkan jika federasi dan pemerintah melakukan evaluasi dan pembenahan secara cepat jika berkaca pada apa yang terjadi pada semifinal Piala FA 1981 antara Tottenham dan Wolves. Kala itu, kekacauan muncul karena jumlah suporter yang hadir melebihi kapasitas Stadion Hillsborough. Ya, begitulah, stadion yang digunakan pun Hillsborough.

Mengutip BBC, kekacauan tersebut terjadi karena ada banyak suporter yang tertahan di Leppings Lane saat pertandingan sudah dimulai. Konon suporter Tottenham meminta agar pagar pintu menuju lapangan dibuka. Meski cukup terlambat, polisi akhirnya membuka pintu tersebut sehingga korban tidak bertambah banyak.


Kapasitas tribune berdiri Hillsborough saat itu adalah 10.100 penonton, sementara yang hadir di sana adalah 10.500 penonton. Bahkan penyelidikan juga menyimpulkan bahwa kapasitas 10.100 untuk tribune berdiri saja sudah terlalu banyak. Terlebih pada laga 1981 tersebut, polisi tidak mengarahkan penonton untuk masuk dan menempati area sesuai sektornya, yang seharusnya tertera pada tiket masing-masing. Akibatnya, para penonton bebas memilih tribune berdiri di area mana pun.

Kejadian pada 1981 sempat membuat FA menolak untuk menggunakan Hillsborough sebagai venue semifinal sampai 1987. Akan tetapi, stadion tersebut justru kembali digunakan pada 1988 dan 1989. Jika pemilihan didahului dengan peningkatan kapasitas stadion tentu tidak akan menjadi masalah. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Hillsborough digunakan tanpa penambahan kapasitas penonton di tribune berdiri.

Uji coba penerapan safe standing stadium dimulai pada 1 Januari 2022. Tentu saja keputusan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah keluarga korban Tragedi Hillsborough masih menyangsikan bahkan menentang perubahan tersebut.

Tentangan itu dapat dipahami karena merekalah yang mengalami kehilangan terbesar. Bagaimanapun, kehilangan atmosfer pertandingan tidak sebanding dengan kehilangan orang-orang yang dicintai. Terlebih, kehilangan tersebut justru terjadi di stadion sepak bola, tempat yang seharusnya membuat mereka mendapatkan kegembiraan yang tidak bisa direngkuh di luar sana.