Berpasrah ala Sepak Bola Belanda

Ilustrasi: Arif Utama.

Gara-gara urusan duit, klub-klub sepak bola Belanda kesulitan bersaing dengan klub-klub Eropa lainnya. Dari musim ke musim, mereka terbiasa memproduksi dan memupuk pemain bagus hanya untuk dilepas ke klub lain di kemudian hari.

Erik ten Hag cuma bisa pasrah. Ia tahu umur skuad emasnya pendek. Begitu sukses membawa Ajax menembus semifinal Liga Champions pada 2018/19, ia sudah bisa menduga bahwa satu atau dua pemain tidak akan bersamanya lagi pada musim berikutnya.

Ajax adalah penguasa Belanda. Sepanjang 121 tahun sejarah klub mereka, 34 gelar juara Liga Belanda telah memenuhi lemari trofi mereka. Ajax jugalah yang menjadi klub tersukses Belanda di kancah Liga Champions (dulu European Cup); ada empat trofi yang mereka kumpulkan sejauh ini.

Sederet pencapaian itu masih ditambah sederet sumbangsih lainnya. Totaal voetbal yang masyhur itu juga acap diidentikkan dengan Ajax. Akademi mereka, yang jebolannya diasah dengan telaten di lapangan De Toekomst (The Future), entah sudah menghasilkan berapa banyak pemain.

Namun, Ajax sebagai sebuah klub di lapangan dan Ajax sebagai sebuah klub di pasar pemain adalah dua entitas berbeda. Di bursa transfer, Ajax adalah produsen dan pabrik, bukan konsumen. Ajax tunduk pada pembeli yang datang dengan duit segunung dan mereka mengakui ini.

Ajax, kata Edwin van der Sar, yang bermain dengan dominasi penguasaan bola di lapangan, justru submisif di bursa transfer. “Kalau kalian melihat budget yang kami miliki, segala sesuatu yang Ajax wakili di atas lapangan—sepak bola kreatif, dominan, dan ofensif—tidak berlaku pada kebijakan kami di sisi finansial,” kata Van der Sar.

Van der Sar adalah General Manager Ajax. Dialah yang bertanggung jawab menjalankan klub bersama Marc Overmars, yang menjabat sebagai director of football. Van der Sar menyebut bahwa cara Ajax menjalankan klub adalah “konservatif, defensif, dan bebas dari risiko”, berkebalikan dengan cara mereka memainkan sepak bola di atas lapangan.

Bahkan eks penjaga gawang Timnas Belanda tersebut juga menyebut bahwa Ajax berjalan dengan budget Liga Europa. Oleh karena itu, sampai kapan pun, mereka bakal kesulitan dengan raksasa-raksasa Eropa lainnya di Liga Champions.

Keberhasilan mereka melaju sampai babak semifinal Liga Champions pada 2018/19 adalah berkah sekaligus petaka. Untuk sebuah klub yang kesulitan bersaing dengan Goliat-goliat dari Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman, lolos sampai babak semifinal jelas mendatangkan banyak pemasukan. Namun, pemain-pemain terbaik mereka jelas jadi incaran klub yang lebih besar (baca: Lebih kaya).

Ketika Ten Hag berpasrah itu, dia tahu bahwa bursa transfer sebentar lagi dibuka. Ia tak tahu berapa banyak pemain yang bisa klubnya pertahankan. Oleh karena itu, di hadapan para wartawan, dia cuma bisa berucap: “Ya, memang begitu adanya.”

Frenkie de Jong dan Matthijs de Ligt, dalam kalkulasinya, sudah hampir pasti tidak bisa dipertahankan. Namun, ketika Lasse Schoene ikut-ikutan pindah, Ten Hag—juga Van der Sar dan Overmars—menyadari bahwa mereka harus sedikit berbenah.

De Ligt pindah ke Juventus, sementara De Jong bergabung dengan Barcelona. Tidak sulit untuk menyetujui bahwa dari sisi finansial, termasuk tawaran gaji, raksasa Italia dan Spanyol itu jelas punya posisi tawar lebih kuat daripada Ajax. Namun, Schoene pindah ke Genoa, yang dari musim ke musim paling banter berkutat di papan tengah dan papan bawah Serie A.

Ajax, menurut laporan The Athletic, punya kebijakan khusus: Mereka tidak akan menggaji pemain-pemainnya lebih dari 2 juta euro per musim. Ketika kasus Schoene terjadi—ya, dia pindah ke Genoa karena tawaran gaji yang lebih baik—, ketakutan lain muncul; bagaimana mereka bisa mempertahankan pemain-pemain penting macam Daley Blind atau Dusan Tadic ketika tawaran gaji yang lebih baik datang? Mau tidak mau, Ajax harus membuat pengecualian.

Per musim 2020/21, Ajax “hanya” mengeluarkan uang sebesar 33 juta euro untuk gaji pemain per tahun. Sementara itu, Genoa mengeluarkan 39,4 juta euro per tahun. Bahkan di hadapan tim yang nyaris tiap musim ngos-ngosan mempertahankan diri di papan klasemen, budget Ajax terlihat seperti liliput.

Situasi ini mau tidak mau mengingatkan Ajax pada kisah Frank dan Ronald de Boer. Ketika ngotot untuk pindah ke Barcelona pada 1999/2000, saudara kembar itu sampai mengambil langkah hukum untuk membatalkan kontrak enam musim mereka yang baru ditandatangani pada 1998/99.

Konon, baik Frank dan Ronald sama-sama mencari bayaran dan ketenaran yang lebih baik dibandingkan dengan yang mereka terima di Ajax. Padahal, di Ajax mereka tidak kekurangan gelar. Baik Frank maupun Ronald sama-sama mengoleksi lima gelar juara Eredivisie plus satu gelar juara Liga Champions.

Jika Ajax, yang merupakan klub terkaya di Eredivisie—dengan valuasi pasar mencapai 291,45 juta euro—saja sebegitu iritnya dalam mengelola duit, bayangkan bagaimana dengan tim-tim lainnya. PSV, yang memiliki valuasi 163,6 juta euro sebagai sebuah klub, juga tidak berbeda.

Pada 2015, ketika menjual Memphis Depay ke Manchester United dengan banderol 27,5 juta euro dan melego Georginio Wijnaldum ke Newcastle United dengan harga 20 juta euro, PSV memilih membelanjakan uangnya dengan bijak. Dua pemain penting, Davy Proepper dan Hector Moreno, masing-masing mereka gaet dengan harga 4,5 juta euro dan 5 juta euro saja.

Persoalan fulus inilah yang membuat klub-klub Eredivisie sulit bersaing dengan klub-klub dari liga-liga Eropa lainnya. Pemasukan mereka, entah dari sponsor atau uang hak siar dari televisi, tidak sebanyak—katakanlah—Serie A.

Di Serie A, tiap-tiap klub mendapatkan equal share. Pada 2019/20, ke-20 klub Serie A masing-masing mendapatkan 30 juta euro sebagai awalan. Jumlah tersebut bisa bertambah lagi sesuai dengan jumlah pertandingan masing-masing klub yang disiarkan oleh televisi. Klub seperti Juventus, menurut Sportekz, bisa mengantongi uang sampai 100 juta euro per musim dari hak siar televisi. Sementara, klub seperti Brescia bisa mengantongi uang hingga 40,5 juta euro per musim.

Di Eredivisie, Ajax, yang finis di posisi pertama pada 2019/20 (meskipun liganya dihentikan karena pandemi), “hanya” mendapatkan 10,29 juta euro. Sementara, yang paling kecil, Fortuna Sittard, mendapatkan 1,94 juta euro.

Dengan begitu, Eredivisie hanya menjadi paria. Mereka harus memerah diri sendiri tiap musim untuk menghasilkan pemain-pemain dengan kualitas terbaik (atau membeli pemain dengan kualitas lumayan, tapi harganya tidak mahal) supaya bisa bersaing di kompetisi Eropa. Melaju jauh di kompetisi Eropa berarti mendapatkan pemasukan yang lumayan, plus menaikkan koefisien liga di daftar UEFA.

Tentu saja untuk menaikkan nilai jual di mata pemegang hak siar televisi bukan perkara seperti menjentikkan jari. Eredivisie mau tak mau harus menaikkan gengsi liga mereka supaya mendapatkan penonton yang lebih banyak. Caranya? Ya, dengan meraih pencapaian yang lebih baik di kompetisi Eropa.

Dengan pencapaian yang lebih baik di kompetisi Eropa, harapannya, pemasukan klub ikut membaik. Mendatangkan pemain-pemain terbaik (atau dengan kualitas yang lebih baik) pun menjadi lebih mudah. Dengan begitu, gengsi liga bakal ikut terangkat.

Sayangnya, untuk mengatrol posisi klub dan liga itu tidak mudah. Semuanya, ya, balik lagi ke urusan duit. Seperti yang dituturkan Van der Sar, bersaing di Liga Champions dengan budget Liga Europa bukan perkara gampang. Ini ibarat mencekik diri sendiri.

Karena posisi tawar dan situasi finansial tak kunjung menguat, sepak bola Belanda (dalam hal ini liganya) seperti berkutat di lingkaran setan. Mereka lantas hanya bisa bersikap seperti Ten Hag: Berpasrah.