Bersama Adi Huetter, Eintracht Frankfurt Kembali Super

Foto: Adi Hutter oleh Vitalii Vitleo - Shutterstock

Huetter mungkin tidak akan bisa mengubah Frankfurt menjadi seperti Bayern. Namun, bersama Huetter, Frankfurt bisa menjadi tim yang spesial.

Setelah kembali menginjakkan kaki di Eintracht Frankfurt, Luka Jovic hampir tak punya waktu buat membicarakan dirinya sendiri. Dia lebih banyak berkomentar soal pelatih Adi Huetter, performa Andre Silva, suasana kota. Hampir semuanya menyangkut Frankfurt.

Ini periode kedua Jovic berseragam Die Adler. Yang pertama musim 2017/18. Dua musim berselang, dia berganti kandang. Dari Frankfurt menuju Madrid. Kiprahnya di Spanyol sayangnya tak berjalan mulus. Cuma dua gol yang dibuatnya. Frankfurt lantas memanggil kembali dan Jovic menyambut baik.

Pada periode keduanya ini, Jovic merasa banyak hal berubah dan semuanya positif, terutama dari segi performa tim. Itulah kenapa, dia takjub sekaligus terkejut.

“Saat kembali saya sangat terkejut. Performa tim secara keseluruhan meningkat. Mereka kini bermain di level yang lebih tinggi. Saya tidak ingin menyebut nama tertentu, tetapi secara keseluruhan semuanya berada pada level yang luar biasa,” Jovic bercerita.

Jovic tak asal kata sebab memang demikian yang terjadi. Dari tabel klasemen, Frankfurt hari ini duduk di urutan keempat dengan torehan 33 poin. Apa lagi yang spesial? Mereka baru kalah dua kali, sama dengan angka milik penguasa Bundesliga saat ini.

Bandingkan dengan 2018/19 atau musim terakhir pada periode pertama Jovic bersama Frankfurt. Waktu itu, Die Adler ada di urutan ketujuh dengan 54 poin. Karena Bundesliga masih tersisa 15 laga, tiada kata mustahil bagi Frankfurt buat melampauinya.

Namun, kita tak hanya akan bicara soal klasemen. Seperti kata Jovic, penampilanlah yang membuat Frankfurt musim ini spesial. Bahwa mereka ada di empat besar, itu adalah ganjaran atas performa ciamik yang mereka sajikan di atas rumput lapangan.

***

Kecuali Bayern Muenchen, tim-tim Bundesliga punya kebiasaan seragam. Pada musim sekian mereka tampil gemilang. Musim depan atau musim depannya lagi atau musim depannya lagi, performa jeblok seketika. Penyebabnya, mereka kerap melepas para pemain kunci.

Frankfurt juga seperti itu. Pada 2017/18 Die Adler mampu mengakhiri musim dengan raihan gelar DFB Pokal. Musim berikutnya, mereka sudah kehilangan sosok-sosok kunci. Ada Lukas Hradecky hingga Marius Wolf, tetapi hengkangnya Niko Kovac ke Bayern jadi pukulan paling telak.

Frankfurt mendatangkan pelatih asal Austria bernama Adi Huetter sebagai pengganti. Buat Huetter, meneruskan kiprah tim yang baru saja merengkuh trofi pertama dalam 12 tahun jelas bukan pekerjaan gampang. Direktur Olahraga Frankfurt Fredi Bobic juga berucap serupa.

“Menjadi suksesor tak pernah sederhana. Namun, itu menunjukkan bahwa dia (Huetter) punya keberanian dan bahwa dia benar-benar ingin mengambil kesempatan tersebut.”

Huetter bukan sosok familier di Bundesliga. Karier kepelatihannya cuma berkutat di Austria dan Swiss. Bahkan saat masih jadi pemain, daerah jangkauannya hanya di dua negara itu. Walau begitu, nada-nada positif selalu keluar dari mulut siapa pun yang bicara soal dirinya.

Eks pemain Timnas Swiss bernama Christoph Spycher, misalnya, menyebut Frankfurt baru saja mendapatkan pelatih super dalam wujud Huetter. Sayangnya, butuh waktu yang tak sebentar sampai omongan itu terbukti benar-benar.

Frankfurt mengakhiri enam pertandingan perdana Bundesliga 2018/19 dengan tiga kali kalah, dua imbang, dan cuma sekali menang. Mereka bahkan sudah tersingkir di babak pertama DFB Pokal: Dari tim divisi keempat Liga Jerman pula!

Para petinggi Frankfurt memanggil Huetter. Alih-alih tertekan, momen itu justru melecut dirinya untuk melakukan berbagai perubahan.

Pertama-tama, Huetter mengubah pola bermain. Skema 4–2–3–1 dan 4–4–2 yang ia bawa diganti menjadi skema tiga bek yang jadi andalan pada masa Kovac. Untuk memaksimalkannya, dia memberi kepercayaan pada dua nama yang sebelumnya lebih sering jadi pengganti: Luka Jovic dan Ante Rebic.

Laga melawan Hannover jadi pembuka. Turun dengan 3–4–1–2, Frankfurt menang 4–1. Momen itu mengawali rentetan tak terkalahkan selama 10 laga di semua kompetisi. Itu juga menjadi ajang perkenalan trio paling mematikan di Bundesliga musim 2018/19: Jovic, Rebic, Sebastien Haller.

Namun karena Frankfurt bukan Bayern, mereka tak kuasa mempertahankan nama-nama tersebut. Dalam satu waktu ketiganya hengkang. Jovic menuju Madrid, Rebic ke Milan, Haller ke West Ham (Anda tak salah baca). Pada titik ini bukti bahwa kualitas Huetter akan kembali terlihat.

***

Ralf Rangnick adalah peletak dasar filosofi sepak bola di RB Salzburg dan RB Leipzig. Saat dia berkata A, murid-muridnya bakal mengikuti.

Di New York Times Rangnick pernah berkata bahwa sepak bolanya mesti agresif, cepat, vertikal, dan bukan tiki-taka. Dia juga piawai memaksimalkan talenta pemain. Jika dia masih muda, Rangnick bakal memolesnya. Seandainya dia redup, Rangnick membuatnya terang kembali.

Huetter pernah menimba ilmu dari Rangnick saat bekerja di Salzburg pada 2014. Maka jangan heran bila semua aspek dasar sang guru tergambar dalam dirinya. Di Frankfurt, kepergian tiga bintang bisa dia gantikan lewat tiga sosok yang hingga musim ini jadi andalan tim: Daichi Kamada, Bas Dost, dan si anak terbuang, Andre Silva.

Semua itu memungkinkan sebab selain mampu memaksimalkan kemampuan mereka, Huetter sudah punya gaya main yang jelas. Gaya main seperti apa? Ya, itu tadi, sepak bolanya Rangnick, sepak bola yang agresif, cepat, vertikal, dan bukan tiki-taka. Ini memberi identitas pada permainan Huetter sekaligus yang membedakannya dengan Frankfurt-nya Kovac.

Jika Kovac fokus pada sisi pertahanan, Huetter lebih ofensif. Catatan gol jadi bukti. Pada musim terakhir bersama Kovac, Frankfurt cuma membikin 45 gol. Angka itu meningkat menjadi 60 semusim berselang. Bahkan musim ini Frankfurt cuma butuh tujuh gol lagi untuk menyamai jumlah gol pada masa Kovac.

Huetter kerap menerapkan pendekatan bermainnya lewat skema dasar 3–4–1–2 dan 3–1–4–2. Ada beberapa hal yang jadi kunci berhasilnya pendekatan itu. Pertama, saat lawan menguasai bola. Pada titik ini Frankfurt bakal menekan sedini mungkin dan memadatkan lini tengah.

Tujuannya? Memaksa lawan melepaskan umpan panjang atau setidaknya bergerak ke tepi.

Dari situ, para pemain Die Adler langsung menerapkan pressing ketat. Tak jarang, Silva dan Dost yang berduet di lini depan ikut menekan guna menutup ruang operan lawan. Frankfurt bahkan cukup sering menciptakan situasi overload di sisi sayap dengan tujuan merebut bola secepat mungkin.

Familier dengan pendekatan seperti itu? Benar sekali, hal serupa sering kamu temui saat menyaksikan Leipzig asuhan Julian Nagelsmann berlaga.

Yang jadi pembeda adalah ketika menyerang. Meski sama-sama bermain vertikal, akhir-akhir ini Leipzig cenderung berlama-lama dengan bola, terutama di lini belakang. Mereka diperkuat oleh Dayot Upamecano yang punya kemampuan mengoper dan menguasai bola yang baik. Kiper Peter Gulasci saja punya akurasi operan lebih dari 80 persen.

Frankfurt tidak memiliki manuver itu. Masuk akal bila skuat asuhan Huetter tak suka berlama-lama menguasai bola. Dari lini belakang atau di titik mana saja ketika merebut possession, bola akan langsung digulirkan menuju Sebastian Rode atau siapa saja untuk melancarkan serangan secara direct.

Pendekatan tersebut kian berbahaya karena karakteristik pemain depan yang Frankfurt miliki. Silva dan Dost, yang meski bertubuh jumbo, punya pergerakan cukup mobile. Alhasil, ruang selalu muncul tiap kali Frankfurt melancarkan tekanan.

Ambil contoh gol pertama Frankfurt melawan Werder Bremen. Tepat ketika Aymen Barkok merebut bola di sisi kiri lawan, Silva sudah bergerak mencari ruang kosong. Barkok memberikan bola kepada Kamada yang akhirnya diteruskan ke kotak penalti tempat Silva tak terkawal. Gol pun tercipta.

Secara keseluruhan, Silva sudah mencetak 16 gol dari 18 laga. Ini jadi bukti peran vitalnya buat Die Adler musim ini.

Tentu tak selamanya pendekatan demikian sukses. Pada hari-hari menyebalkan, Frankfurt bisa mengalami kebuntuan. Namun, Huetter adalah sosok yang adaptif. Suatu hari dia mengaku punya gaya main yang jelas, tetapi Huetter menegaskan bahwa itu bukan harga mati.

“Saya tidak mau seperti itu. Saya di sini juga berusaha menekankan gaya yang berbeda. Dari awal saya sudah bilang. Betul bahwa saya ingin sepak bola yang menarik dan menginspirasi, tetapi saya juga menuntut tim yang serba bisa,” kata Huetter kapada Frankfurt Neue Presse.

Saat Frankfurt buntu, kemampuan individu Kamada, Barkok, dan Amin Younes bakal jadi tumpuan. Ketiganya memang punya kemampuan olah bola yang baik. Mereka juga sosok kreatif, terutama Kamada. Aspek itu kerap memberi daya kejut buat tim. Kamada bahkan sudah bikin 6 assist dan 2 gol, dengan rata-rata umpan kunci mencapai 2 per laga.

Hal lain yang biasanya jadi andalan Frankfurt saat mengalami paceklik adalah crossing dan bola mati. Untuk yang satu ini, wing-back Filip Kostic jagonya. Selain piawai mengeksekusi free kick, dia kerap menyisir sisi kiri yang seringnya diakhiri dengan crossing menuju kotak penalti.

Musim lalu, Frankfurt jadi tim dengan rerata crossing tertinggi kedua setelah Bayern. Musim ini tak berbeda. Soal efektivitas, pendekatan ini juga terbilang menjanjikan sebab tak sekali-dua kali ia berbuah hasil. Penyebabnya tak lain berkat sosok-sosok menjulang macam Martin Hinteregger sebagai penyambut bola.

Bek tengah berusia 28 tahun itu kerap naik ke depan, terutama dalam situasi set piece. Meski baru bikin sebiji gol (musim lalu 8 gol), pergerakan Hinteregger beberapa kali jadi keuntungan buat Frankfurt, termasuk menjadi pemicu terjadinya penalti seperti saat melawan Wolfsburg.

Bicara bola atas dan bola mati, kita juga mesti melihat Bas Dost. Ini tak cuma tentang gol karena catatannya memang tak sebanyak itu. Ini soal bagaimana Dost memanfaatkan tubuh tingginya. Dengan tinggi 196 cm, dia sering jadi pemantul yang membuat pemain lain mampu mencetak gol. Keberadaannya di lini depan juga penting untuk membuka ruang bagi Silva.

Maka ketika ia hengkang pada musim dingin ini, kekhawatiran sempat muncul. Namun, lagi-lagi, kita tak boleh lupa bahwa Huetter adalah sosok yang adaptif.

Dalam kondisi apapun dia selalu mampu menemukan solusi. Hilangnya Dost dia akali dengan mengubah skema bermain: Dari 3–4–1–2 menjadi 3–4–2–1 dengan Silva sebagai ujung tombak, diapit Kamada serta Younes dan terkadang Barkok di belakangnya.

Hingga pekan ke-19 Bundesliga, Huetter terus mengandalkan skema tersebut dan sejauh ini efektif. Kalaupun kebuntuan kembali datang, Huetter selalu punya ide cemerlang. Apalagi dia kini punya senjata baru muka lama dalam wujud Jovic yang sudah beberapa kali unjuk aksi.

Salah satunya melawan Schalke pada spieltag ke-16. Masuk sebagai pengganti tatkala kedudukan 1–1, Jovic mampu menjadi penyelamat tiga poin Frankfurt berkat dwigol yang dia cetak pada menit ke-72 dan ke-91. Total sudah empat kali Jovic turun. Dari situ, tiga gol mampu dia cetak.

Orang-orang merespons catatan itu dengan riang mengingat apa yang dialami Jovic di Madrid. Namun, yang sebetulnya paling bahagia adalah Jovic itu sendiri. Maka alih-alih bicara soal dirinya, Jovic akan fokus memberi pujian pada Huetter, pada Frankfurt.

Di Commerzbank-Arena, Jovic tak hanya mendapat kesempatan bermain. Dia juga dikelilingi oleh sistem yang baik, oleh pelatih yang super. Boleh jadi, hal seperti itu yang tak dia punya di Madrid, yang membuat performanya berantakan.