Bilbao dan Mitos Basque

Foto: Twitter @Athletic_en

Memangnya bergantung pada orang-orang Basque saja cukup untuk Athletic?

Hidup di Basque memberikan takdir khusus kepada Athletic Bilbao. Di atas tanah itu mereka menghidupi perasaan ganjil yang tidak dapat dicerna oleh siapa pun.

Athletic adalah anomali. Jika klub-klub lain bersedia membukakan pintu lebar-lebar untuk Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, Athletic tidak akan mengambil langkah serupa. Hanya mereka yang memiliki identitas Basque yang bisa berlaga sebagai pemain Athletic.

Kebijakan tersebut membuat seantero San Mames menaruh harap ketika klub mengontrak Gaizka Garitano sebagai pelatih pada 2018. Garitano orang Basque asli. Saat masih aktif sebagai pesepak bola, ia bertanding untuk sejumlah klub asal Basque.

Alih-alih merepresentasikan agresivitas dan ketangguhan Basque, Athletic malah amburadul dan melempem di bawah kepemimpinan Garitano. Kondisi ini adalah pukulan berat bagi Athletic karena permainan solid adalah satu-satunya jembatan yang bisa menghubungkan tim dan suporter saat itu.

Pandemi menghantam dunia pada 2020. Lapangan bola San Mames tak luput dari gempuran. Suporter dilarang menyaksikan laga secara langsung. Ditambah lagi, Athletic sedang dalam masa transisi dengan menurunkan pemain-pemain muda mereka. Pemain-pemain seperti Unai Vencedor, Oihan Sancet, dan Jon Morcillo memang memiliki identitas Basque. Namun, mereka adalah wajah baru yang belum mempunyai hubungan spesial dengan para suporter.

Kondisi tersebut membuat Athletic sangat berjarak dengan para suporter. Kekecewaan bertambah hebat karena orang Basque yang memimpin tim mereka justru membuat Athletic seperti klub amatir yang salah tempat.

Suasana ruang ganti juga tidak ideal. Bukan, di sana tidak pertengkaran atau ribut-ribut antara pemain. Tak ada pula perseteruan antara pelatih dan pemain. Yang ada di sana adalah jarak yang membentang antara Garitano dan pemain. Tidak ada ‘klik’ yang membuat pemain dan pelatih benar-benar berjalan selaras. Di dalam ruang ganti Athletic seperti ada sekat-sekat pembatas yang tak mampu dibongkar dan ditembus oleh siapa pun.

Sudah begitu, ruang direksi klub juga kacau. Pandemi menghantam segalanya. Finansial klub sebenarnya masih aman-aman saja. Namun, keuangan saat itu terlalu mepet sehingga tim tidak mampu mendatangkan talenta Basque yang baru. Rapat Umum Pemegang Saham yang digelar pada 27 Desember 2020 tidak berjalan baik untuk presiden klub, Aitor Elizegi.

Mengutip The Athletic, suporter menolak kenaikan biaya keanggotaan tahunan yang mencapai 30 persen. Penolakan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa mereka tidak dapat menonton laga secara langsung ke stadion karena pandemi. Buat apa bayar mahal-mahal kalau tidak dapat hadir di stadion?

Begitu pula dengan usulan untuk menginvestasikan 3 juta euro demi renovasi stadion. Pengembangan itu bertujuan untuk menarik suporter yang lebih muda datang ke stadion sehingga dapat memperkuat hubungan antara tim dan komunitas. 

Rencana anggaran 2021 pun ditolak dalam rapat tersebut. Atmosfer tambah terasa tak menyenangkan karena salah satu orang yang lantang menentang proposal itu adalah Josu Urrutia, mantan presiden klub yang digantikan oleh Elizegi.

Di tengah carut-marut itu Marcelino Garcia Toral datang. Di hadapan Athletic, dia adalah orang asing. Tak ada identitas Basque yang bersemayam dalam tubuhnya.

Kebijakan serba-Basque Athletic tidak berlaku bagi para pelatih dan stafnya. Bahkan Marcelo Bielsa yang merupakan orang Argentina mendapat tempat spesial di Athletic.

Barangkali pengecualian ini bermula dari sejarah. Athletic adalah klub yang dibangun oleh orang-orang Lancashire yang mayoritas merupakan suporter Blackburn Rovers. Itulah sebabnya jersi awal Athletic berwarna biru-putih.

Pada 1910, seorang utusan dikirim ke Southampton untuk membeli seragam baru Athletic. Karena kostum biru-putih khas Blackburn tidak tersedia, seragam merah-putih khas Southampton diangkut ke Bilbao. Kebetulan itu terasa pas karena bendera Basque memiliki unsur warna merah dan putih.

Atmosfer Inggris tersebut membuat Athletic awalnya diperkuat oleh para pemain Inggris. Kebijakan serba-Basque baru dimulai pada 1912, ketika dua pemain asing terakhir mereka, Veicht dan Smith, hengkang. 

Ketika Perang Sipil Spanyol meletus, Athletic semakin memperketat aturan ini. Penyebabnya, mereka tidak memiliki cukup uang untuk mendatangkan pemain dari luar Basque, apalagi asing.

Kebijakan eksklusif tersebut masih relevan jika dipakai pada masa itu, ketika sepak bola Spanyol baru memasuki fase profesional. Kalaupun ada beban untuk merengkuh gelar juara, tentu tidak seberat sekarang. Perubahan zaman menuntut segala sesuatunya berubah, termasuk sepak bola. Mau tak mau Athletic mesti menyesuaikan diri agar tetap relevan terhadap perubahan musim.

Contohnya adalah bursa transfer pada 1950-an. Saat itu Athletic membatalkan niat untuk merekrut Miguel Jones yang mengenyam pendidikan sepak bola di Provinsi Vizcaya tempat Bilbao terletak. 

Seharusnya riwayat itu sudah cukup untuk membuat Athletic merekrut Jones. Ternyata kesepakatan batal diambil karena Jones tidak lahir di wilayah Vizcaya. Meski demikian, pada 1996 Athletic justru mendatangkan Bixente Lizarazu yang lahir di Prancis dan membela Les Blues.

Awalnya pemain yang boleh membela Athletic hanya mereka yang lahir di Provinsi Vizcaya. Namun, kesulitan untuk mendefinisikan batas geografis membuat klub melonggarkan peraturan. Ada beberapa wilayah di Spanyol dan Prancis yang hingga kini masih diperdebatkan apakah termasuk Basque atau tidak.

Lagi pula, sepak bola bertumbuh. Athletic mesti bersaing di ranah profesional dengan klub-klub modern sehingga harus beradaptasi. 

Meski demikian, Athletic tak mau langsung menghancurkan apa-apa yang sudah mereka rawat sejak dulu. Selama berasal dari akademi Athletic, pemain asing boleh-boleh saja membela Los Leones. Identitas Basque kini tidak cuma bicara tentang darah dan persoalan biologis, tetapi riwayat sepak bola.

Kebutuhan akan pelatih mumpuni juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Mencari pelatih yang benar-benar berdarah Basque bukan persoalan mudah. Barangkali itulah yang membuat Athletic sejak dulu membukakan pintu bagi para pelatih non-Basque.

Kepemimpinan Toral ternyata membawa perubahan positif bagi perjalanan Athletic yang sempat terseok. Kemenangan atas Barcelona dan Madrid tersebut adalah buah dari racikan taktiknya. 

Marcelino dikenal sebagai pengguna setia formasi 4-4-2. Dengan begitu, ia membutuhkan masing-masing sepasang gelandang sentral kokoh dan pemain sayap cepat. Kedua fullback juga harus turut membantu ketika menyerang. Permainan akan bermuara pada dua penyerang yang buas di depan gawang lawan.

Sistem itu memberikan ruang kepada Inaki Williams yang ngepos di garis terdepan dan Iker Muniain yang berlaga sebagai pemain sayap. Jika Williams didapuk sebagai eksekutor utama, Muniain memegang peran vital sebagai penyuplai assist.

Sepak bola adalah sarang narasi heroik. Olahraga ini seolah-olah menjadi bentuk perjuangan yang mewakili semangat dan ideologi tertentu. Kemenangan di atas lapangan bukan hanya bicara tentang keunggulan taktik, tetapi juga nilai yang dipegang teguh.

Sepak bola Athletic juga demikian. Jika tim yang dipimpin oleh pelatih asal Basque menang, itu berarti nilai dan semangat orang Basque juga menang. Kemerdekaan dari Spanyol yang tidak dapat direngkuh untuk sementara tergantikan dengan kemenangan atas Madrid.

Catalunya dan Basque adalah dua wilayah otonomi yang sama-sama memperjuangkan kemerdekaan dari Spanyol. Akan tetapi, perlawanan Catalunya dan Basque berbeda. Jika Barcelona terbuka terhadap asimiliasi, Basque bertahan dengan primordialisme. Lantas kemenangan Athletic atas Barcelona untuk sehari saja membuktikan bahwa perlawanan Basque adalah yang terbaik. 

Apa pun simbol yang dipercayai, keberhasilan menggulingkan Madrid dan Barcelona seharusnya membuktikan bahwa Basque bukan kumpulan orang-orang kalah yang menunggu waktu mereka habis.

Sebagian besar gelar juara Athletic diraih saat mereka dipimpin oleh pelatih Basque. Catatan ini bisa saja mengukuhkan bahwa susah-payah Athletic merawat tradisi tidak sia-sia. 

Namun, situasi sekarang seperti mengisyarakatkan bahwa kepercayaan itu mulai usang. Toral yang tak punya hubungan apa-apa dengan Basque justru membawa klub Basque menumbangkan dua raksasa, Madrid dan Barcelona. 

Toral yang pernah mengusik suporter Athletic lewat kritik pedasnya pada 2008 justru menghidupkan asa orang-orang San Mames di tengah carut-marut yang terjadi. Terlalu dini untuk mengecap bahwa mantan pelatih Valencia itu bisa mengantar Athletic kembali menikmati masa-masa terbaik mereka. Namun, setidaknya kesempatan itu terbuka lagi.

Ketika perkara-perkara baik itu terjadi, sedikit demi sedikit, inci demi inci, jarak antara Athletic dan tradisi Basque melebar. Kepercayaan yang telanjur dirawat turun-menurun mungkin akan terkoyak. Lalu pada suatu titik Athletic akan dihadapkan dengan detail yang membuat mereka bertanya-tanya: Jangan-jangan orang-orang Basque saja tidak akan pernah cukup.