Bisa Apa Tanpa Chiesa?

Federico Chiesa merayakan gol ke gawang Napoli. (Twitter/@juventusfcen)

Cedera Federico Chiesa tak bisa datang di waktu yang lebih buruk bagi Juventus dan Timnas Italia. Bisa apa mereka tanpa Chiesa?

Cedera itu tak bisa datang di waktu yang lebih buruk. Bagi Juventus, bagi Timnas Italia, dan bagi si pemain sendiri, Federico Chiesa. Apa yang dialami Chiesa dalam pertandingan Serie A melawan Roma, Senin (10/1/2022) dini hari WIB, punya potensi mengubah sejarah.

Pertandingan baru memasuki menit ke-32 ketika Chiesa, yang dibayang-bayangi pemain anyar Roma, Ainsley Maitland-Niles, melolong kesakitan lalu terjatuh. Tidak ada benturan, tidak ada kontak yang mendahului. Namun, semua orang langsung memahami bahwa situasi yang dialami Chiesa bukan perkara remeh.

Tim medis Juventus bergegas masuk lapangan usai melihat Chiesa tergeletak. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Riuh para suporter di Olimpico menurun beberapa desibel. Mungkin Chiesa cuma keram, mungkin Chiesa cuma terkilir. Namun, Chiesa tak kunjung bangkit. Dan ini sinyal yang sangat mengkhawatirkan.

Tak lama kemudian, Chiesa bisa bangkit. Akan tetapi, dia tak bisa berjalan dengan dua kakinya. Dia mesti dipapah untuk bisa keluar dari lapangan. Air mukanya tak sedap dipandang. Dia tampak marah, sedih, khawatir, dan kecewa. Sudah jelas, Chiesa tak lagi bisa melanjutkan laga. Tempatnya pun lantas digantikan oleh Dejan Kulusevski.

Sebelum peristiwa itu, Chiesa sudah menunjukkan betapa berharganya dia buat Juventus. Roma unggul lebih dulu di pertandingan tersebut melalui tandukan Tammy Abraham. Tujuh menit usai gol Abraham, pada menit ke-18, Chiesa melakukan akselerasi di sisi kanan pertahanan Roma. Akselerasi itu dia lanjutkan dengan sodoran umpan pada kapten Paulo Dybala yang berada sedikit di luar kotak penalti. Lewat sepakan terukur, Dybala mampu menyamakan kedudukan.

Di akhir laga, Juventus keluar sebagai pemenang meski sempat tertinggal 1-3. Kulusevski yang menjadi pengganti Chiesa jadi salah satu pahlawan kemenangan Juventus. Si Nyonya Tua 4, Sang Serigala 3. Juventus menjaga asa masuk zona Liga Champions, sementara Roma mesti berurusan dengan omelan Jose Mourinho usai laga.

Tentu, tambahan tiga angka dari Olimpico itu amat berarti bagi Juventus. Pasalnya, stadion yang dibangun pada 1927 itu acap jadi kuburan buat mereka. Roma, secara general, memang tak pernah betul-betul jadi adangan serius buat Juventus, tetapi Roma di Olimpico adalah cerita berbeda.

Akan tetapi, apa yang dialami Chiesa membuat perayaan Juventus di Olimpico jadi terasa janggal. Ya, mereka memang bahagia. Namun, kekhawatiran bergelayut. Separah apa cedera Chiesa? Seberapa lama dia bakal absen merumput?

Jawaban dari dua pertanyaan itu keluar pada hari berikutnya. Usai menjalani tes di J-Medical, Chiesa yang tampak harus dibantu krek untuk berjalan ternyata mengalami cedera anterior cruciate ligament (ACL). Tak jelas disebutkan tingkat keparahan cedera Chiesa (ada tiga tingkatan cedera ACL: sobek kecil, sobek besar, dan putus), tetapi bisa dipastikan bahwa putra Enrico Chiesa itu harus absen sampai akhir musim.

Seketika, benak para pendukung Juventus (terutama yang sudah cukup berumur) melayang ke tahun 1998. 8 November 1998 tepatnya. Hari itu, Alessandro Del Piero terjatuh dan berteriak kesakitan di atas rumput Stadio Friuli (sekarang Dacia Arena) usai berbenturan dengan pemain Udinese, Valerio Bertotto. Del Piero waktu itu butuh waktu setahun untuk bisa kembali bermain.

Tentunya, teknologi sudah mengalami perkembangan pesat sejak itu. Chiesa mungkin saja takkan butuh setahun untuk memulihkan kondisi. Namun, bagaimana nasibnya nanti? Akankah dia masih bisa menunjukkan eksplosivitas yang selama ini jadi senjata andalannya?

Del Piero pada 1995 sampai 1998 adalah salah satu pesepak bola terhebat dunia. Levelnya kurang lebih sama dengan Ronaldo Luiz Nazario de Lima. Itulah mengapa, ketika Ronaldo dijuluki Il Fenomeno, pendukung Juventus menamai Del Piero sebagai Il Fenomeno Vero (Sang Fenomena yang Sesungguhnya). Gaya mainnya tidak persis sama dengan Chiesa tetapi eksplosivitas adalah bagian krusial dari arsenal Il Pinturicchio.

Sejak cedera itu Del Piero bukan lagi pemain yang dikenal dunia pada 1995 sampai 1998. Jangan salah. Del Piero masih sangat hebat. Kualitas tekniknya sama sekali tak tergerus. Akan tetapi, Del Piero mesti kehilangan eksplosivitas dan menggantikannya dengan pengambilan keputusan yang lebih baik. Dengan senjata ini, Del Piero turut membantu Italia jadi juara dunia dan menjadi topskorer Serie A.

Chiesa bisa menjadi seperti itu. Namun, jika itu terjadi, kemungkinan besar area operasi Chiesa pun akan berubah. Dia selama ini begitu ditakuti di sayap karena memiliki daya ledak luar biasa. Ciri khas Chiesa adalah betapa cepat dia mengubah arah gerak dari satu tempat ke tempat lain. Ini yang kemungkinan akan hilang atau berkurang. Karena itu, bisa jadi nantinya Chiesa akan banyak beroperasi di tengah.

Lalu, bagaimana dengan Juventus dan Timnas Italia?

Well, musim ini, Chiesa belum menunjukkan kemampuan terbaiknya seperti pada musim lalu dan di Euro 2020. The Flanker pernah membahas soal penurunan tersebut sebelumnya dalam artikel ini. Walau demikian, memiliki seorang Chiesa tetap merupakan sebuah keuntungan besar. Apa yang ditunjukkannya pada laga melawan Roma adalah bukti kecil dari kehebatan sang pemain.

Bagi Juventus dan Italia, kehilangan Chiesa berarti kehilangan pemain yang mampu mengubah hasil pertandingan. Ini sudah dilakukan Chiesa berkali-kali. Tak cuma itu, Chiesa juga merupakan pemain yang rela berkorban untuk kepentingan tim. Dia tidak malas bertahan dan selalu mau mengejar bola. Pendek kata, Chiesa adalah pemain sayap yang (nyaris) sempurna.

Tanpa Chiesa, Juventus di atas kertas sebetulnya masih punya pemain-pemain berkualitas. Di sayap, mereka masih punya Kulusevski dan Federico Bernardeschi. Juan Cuadrado juga posisi aslinya adalah gelandang sayap. Namun, Kulusevski dan Bernardeschi masih angin-anginan. Sedangkan, Cuadrado lebih kerap dipasang sebagai bek kanan.

Selain itu, lini depan Juventus secara umum musim ini juga jauh dari kata meyakinkan. Empat gol ke gawang Roma adalah anomali karena sebelum itu mereka cuma mampu mengemas 28 gol dari 20 pertandingan. Dybala kerap mengalami cedera, sementara Alvaro Morata dan Moise Kean tak benar-benar bisa diharapkan.

Artinya, Juventus butuh penyegaran. Mendatangkan pemain baru, terutama pemain depan yang serbabisa seperti Chiesa, bakal jadi keharusan. Sejauh ini Juventus telah dikaitkan dengan dua nama, Anthony Martial dan Sardar Azmoun si Messi dari Iran. Namun, apakah mereka mampu menjadi solusi, itu semua masih harus dipertanyakan.

Pendek kata, para petinggi Juventus mesti benar-benar memutar otak. Mereka harus bisa melepas pemain yang selama ini menjadi beban lalu menggantikan mereka dengan sosok yang bisa diandalkan. Siapa sosoknya, entahlah. Yang jelas, pembaruan itu harus segera dilakukan karena kegagalan lolos ke Liga Champions musim depan bakal menimbulkan efek jangka menengah yang tak menyenangkan.

Lain Juventus, lain pula Italia. Ya, kehilangan Chiesa adalah pukulan telak. Namun, setidaknya, Italia masih punya sejumlah alternatif. Trio Sassuolo saat ini tengah berkibar. Domenico Berardi, Gianluca Scamacca, dan Giacomo Raspadori. Berardi selama ini sudah jadi salah satu penghuni tetap skuad Roberto Mancini, tetapi Raspadori yang turut dibawa ke Euro 2020 berpotensi jadi pemain mengejutkan dalam playoff Piala Dunia 2022 kontra Makedonia Utara (dan kemungkinan besar Portugal).

Alternatif lain adalah Riccardo Orsolini dari Bologna. Pemain 24 tahun itu telah menyumbangkan 4 gol dan 2 assist untuk Rossoblu di Serie A serta Coppa Italia. Di tiap laganya, Orsolini juga terbilang cukup aktif mengancam gawang lawan dengan rata-rata 1,6 tembakan.


Mattia Zacagni milik Lazio juga cukup bisa dipertimbangkan. Meski statusnya merupakan pelapis Pedro Rodriguez dan Felipe Anderson, pemain pinjaman dari Hellas Verona itu memiliki kualitas yang lumayan bisa diperhitungkan. Dia punya daya ledak bagus, teknik olah bola yang oke, dan cukup produktif dengan torehan 4 gol dari 7 kali menjadi starter.

Selain itu, Mancini juga masih bisa memanggil Nicolo Zaniolo dan Joao Pedro. Zaniolo memang tidak terlampau meyakinkan dari segi statistik, tetapi pemain 22 tahun itu memiliki teknik dan daya ledak yang boleh dibilang mendekati Chiesa. Sementara, Joao Pedro bisa menawarkan opsi berbeda lewat perannya di belakang striker utama.

Meski demikian, pertandingan melawan Portugal (di final play-off nanti) tetap saja merupakan pertandingan berat. Sebab, selain karena Portugal yang diperkuat pemain-pemain kelas dunia, Italia sendiri masih belum menemukan cara menyerang yang efektif. Mereka kerap mendominasi penguasaan bola tetapi tak mampu mengonversinya jadi gol.

Sebelumnya, Chiesa adalah bagian krusial dari sistem yang ada. Dia juga menjadi salah satu pencetak gol Italia di paruh kedua Kualifikasi Piala Dunia. Boleh jadi, ketiadaan Chiesa bakal membuat Mancini melakukan perubahan fundamental dan ini bisa berujung pada meningkatnya performa Italia secara keseluruhan.

Mancini punya cukup banyak opsi. Ibarat koki, dia sudah diberkati dengan bahan dan bumbu berkualitas. Problemnya sekarang tinggal di caranya meramu skuad. Jika itu bisa dilakukan, akhir tahun ini Azzurri akan bisa berlaga di Qatar.