Bocah Banlieue

Foto: Instagram @k.mbappe.

Sepak bola Mbappe adalah sepak bola murni. Ia tidak berasal dari perlawanan akan nasib buruk, tidak berakar pada masa kecil yang suram.

Kylian Mbappe ingat betul cerita ini. Ayahnya membelikan mainan truk sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketiga. Truk itu adalah mainan remote control. Ukurannya cukup besar sehingga ia bisa duduk seperti sedang mengendarai mobil. Mainan itulah yang mengantarnya ke lapangan sepak bola. Lagaknya sudah seperti bintang kenamaan yang mengendarai mobil mewah saat berangkat ke tempat latihan.

Mbappe lahir dan tumbuh di Bondy. Orang-orang Prancis menyebutnya banlieue yang jika diterjemahkan menjadi daerah pinggiran sebuah kota besar. Mereka yang tidak tinggal di banlieue sering berbicara yang buruk-buruk tentang wilayah ini. Miskin, gersang, sarang preman, dan hal-hal negatif lainnya. Namun, bagi Mbappe yang menghabiskan masa kecilnya di sana, ia tahu persis apa yang ada di Bondy.

Orang-orang Bondy punya satu aturan tak tertulis. Jika kamu berjalan dan melihat 10 atau 15 orang berkumpul di salah satu sudut dan hanya ada 1 orang yang kamu kenal, kamu punya dua pilihan. Melambaikan tangan dan berlalu begitu saja atau menjabat tangan semua orang yang ada di situ. Jika kamu menjabat tangan mereka saat itu, mereka akan mengenalmu seumur hidup.

Aturan tak tertulis itu berbicara tentang kehangatan orang-orang Bondy. Benar bahwa wilayah mereka terpinggirkan di Paris. Namun, bukan berarti yang ada di sana yang jelek-jelek melulu. Mbappe bahkan pernah melihat seorang preman paling tangguh di Bondy berjalan membawakan belanjaan neneknya. Sejak saat itu, ia percaya bahwa preman pun adalah orang-orang yang sedang bertahan hidup.

Sepak bola Mbappe pun bermula dari Bondy. Di masa kecilnya, ia bergabung dengan tim lokal AS Bondy. Jangan bayangkan klub itu seperti akademi Barcelona atau Ajax. Ketimbang akademi, klub itu lebih mirip klub keluarga. Begitu kecil, begitu sederhana. Namun, di klub itu pula Mbappe merasakan atmosfer kompetisi untuk pertama kalinya.

Katanya, setiap tahun klub itu menggelar satu kompetisi secara rutin. Kompetisi itu hanya memperebutkan trofi plastik berukuran mungil. Namun, setiap pemain memperlakukan trofi itu layaknya trofi Piala Dunia. Setiap tim yang berlaga mengerahkan apa pun yang mereka miliki untuk menjadi kampiun.

Meski malang-melintang di kompetisi lokal, Coupe 93 yang diikutinya saat berusia 11 tahun adalah turnamen yang mengubah hidup Mbappe. Berbeda dengan kompetisi biasa yang ia lakoni, Coupe 93 digelar di stadion besar. Mbappe menyebutnya sebagai stadion sungguhan. Semasa di klub, Mbappe adalah pemain yang bagus. Bakatnya menonjol, ia rajin mencetak gol untuk timnya.

Namun, gelaran yang satu ini membuatnya mati kutu. Kakinya seperti membeku, ia tidak bisa bergerak hanya karena melihat sekeliling stadion yang begitu besar. Jangankan mencetak gol, menyentuh bola saja ia jarang betul di pertandingan itu. Mbappe gugup setengah mati. Setelah peluit panjang dibunyikan, alih-alih diberi pelukan menenangkan oleh orang tuanya, telinga Mbappe justru dijewer oleh ibunya.

“Seumur hidup kamu harus mengingat omongan Ibu tentang ini. Kamu harus percaya pada diri sendiri sekalipun kamu gagal. Kamu boleh-boleh saja gagal mencetak gol dari 60 percobaan. Tidak ada yang peduli. Namun, kalau kamu menolak bertanding hanya karena takut, kenyataan itu akan menghantuimu seumur hidup,” seperti itu omongan sang ibu kepada Mbappe. Lengkap dengan jeweran khas ibu-ibu.

Barangkali nasihat ibunya itu yang membuat permainan Mbappe di atas lapangan jadi begitu berani. Kiprahnya di Piala Dunia 2018 bisa menjadi contoh. Pada babak 16 besar melawan Timnas Argentina ia menjadi remaja pertama setelah Pele yang mencetak dua gol dalam satu partai Piala Dunia. Performanya yang brilian di sepanjang kompetisi pula yang mengganjarnya dengan gelar Pemain Muda Terbaik Dunia.

***
Pada dasarnya sepak bola adalah pertarungan. Dan setiap pertarungan memiliki ceritanya masing-masing. Dunia sering mendengar kisah-kisah pesepak bola yang memutarbalikkan nasib di atas lapangan. Ranah ini karib dengan cerita-cerita macam Diego Maradona, Zlatan Ibrahimovic, Junior Messias, Andrew Robertson, atau bahkan Memphis Depay yang berkawan dengan kisah buruk sebelum mengenal sepak bola.

Sepak bola Mbappe tidak demikian. Keluarganya memang tidak kaya-raya, tetapi tidak juga berkekurangan. Mbappe tidak seperti para pesepak bola itu yang bermain atas dasar perlawanan, yang bersepak bola sebagai ‘ balas dendam’ atas masa kecil yang tidak bahagia. Orang-orang terdekat Mbappe menjelaskan bahwa ia adalah pria yang dekat dengan keluarga. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda yang mencintai ibunya.

Mbappe yang sekarang tidak dikenal sebagai pesepak bola yang disukai setiap orang. Kariernya melejit, permainannya memukau, tetapi tingkahnya tak jarang membikin pening. Itu bukan karena pemberontakan atas masa lalu yang buruk. Barangkali itu hanya manifestasi melenceng dari kepercayaan dirinya yang selalu meletup-letup. Mbappe tahu siapa dirinya. Ia tahu persis sebagus apa kualitasnya.

Keputusannya pindah ke Paris Saint-Germain menuai banyak kecaman. Katanya, itu hanya bukti bahwa anak muda yang satu ini mata duitan. Namun, bagaimana kalau bukan demikian yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kalau Mbappe hanya memercayai instingnya sebagai pesepak bola? Bagaimana kalau Mbappe hanya betul-betul meyakini bahwa PSG adalah tempat yang tepat untuknya?

Toh, semusim sebelum kepindahan tersebut Mbappe menjadi salah satu tokoh sentral yang membawa Monaco ke podium juara. Dia mencetak 26 gol dan 11 assist dalam 44 penampilan di seluruh kompetisi. Wajar jika PSG yang bergelimang duit itu menggaetnya dengan harga yang tak murah.

Di PSG pula Mbappe membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar bocah yang dimanjakan oleh tumpukan uang. Mbappe tak cuma punya kemampuan olah bola mumpuni, tetapi juga ketenangan. Faktor itulah yang memampukannya menerobos pertahanan lawan sendirian dengan dribelnya. Pada lain kesempatan, ketenangan pula yang membuat penyelesaian akhirnya sangat efektif.

Mbappe bukan pemain yang mengandalkan insting melulu. Sepak bolanya bicara tentang kecerdasan. Ia memperlihatkannya dalam pengambilan keputusan saat berusaha menaklukkan lawan satu lawan satu atau menunjukkan kejeliannya ketika mendapatkan peluang.

Selain cepat, Mbappe kerap melakukan placing yang bagus untuk menaklukkan penjaga gawang lawan. Permainan Mbappe pun cukup tricky. Kecepatan gerakan kakinya adalah mimpi buruk yang jadi kenyataan buat para bek. Adegan Mbappe melewati lawan atau mengajak para bek beradu sprint ibarat opium yang gemar menyulut kesenangan para suporter PSG.

***
Desas-desus keinginan Mbappe untuk berlabuh ke Real Madrid berembus kencang. Bahkan untuk menggagalkan niat itu PSG dikabarkan menyodorkan perpanjangan kontrak bernilai selangit. Sekali lagi Mbappe dikecap sebagai anak muda bermata hijau, bermata duitan.

Namun, uang barangkali bukan satu-satunya alasan yang membuat Mbappe begitu tergoda untuk menjejakkan kaki di Santiago Bernabeu. Madrid punya tempat spesial di hidup Mbappe.

Beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang ke-14, Mbappe mendapat kejutan yang dikenangnya seumur hidup. Ayahnya menerima telepon dari seorang perwakilan Real Madrid. Ia mengundang Mbappe untuk mengikuti sesi latihan selama liburan. “Zidane ingin melihat putra Anda,” begitu omongan sang perwakilan Madrid.

Kejutan itu terasa menyenangkan untuk Mbappe. Ia seperti ada di langit ketujuh. Namun, tidak demikian bagi kedua orang tuanya. Sejak sesi latihannya sering didatangi oleh para pencari bakat, Mbappe menjadi buruan media lokal. Calon bintang besar, calon pemain kelas dunia, calon juara, dan calon-calon lainnya. 

Seluruh predikat itu membuat orang tua Mbappe cemas. Bagi mereka, Mbappe masih terlalu muda untuk menerima ketenaran dan sibuk mengurusi nama besar. Mereka hanya ingin Mbappe menikmati sepak bolanya dan menjadi anak muda normal.

Itulah sebabnya, tawaran dari Madrid itu membikin cemas. Bagaimana kalau setelah ini media tambah heboh mengejarnya? Bagaimana kalau elu-elu itu justru membuat Mbappe muda terbebani?

Meski demikian, kedua orang Mbappe tahu persis keinginan putra mereka. Mbappe ingin ke Madrid, ia ingin bermain di hadapan Zinedine Zidane. Dari situ, mereka mengatur segala cara agar Mbappe bisa berangkat diam-diam tanpa gembar-gembor dan tanpa pertanyaan orang-orang sekitar. Strategi itu berhasil, Mbappe tiba di Spanyol.

Zidane sendiri yang menyambut Mbappe di tempat parkir pusat pelatihan Madrid. Ia menunggu Mbappe di sana dengan mobilnya yang menurut si bocah sangat mewah. Zidane lantas menawarkan untuk mengantar Mbappe ke lapangan latihan dengan mobilnya. Dengan kode singkat, Zidane meminta Mbappe untuk duduk di sebelahnya di kursi depan.

Namun, Mbappe membeku. Alih-alih duduk, ia malah bertanya, “Saya harus melepas sepatukah?”

Melepas sepatu untuk naik mobil. Tentu saja Zidane tertawa mendengar pertanyaan itu. Lalu dengan keramahan yang menurut Mbappe tidak dibuat-buat ia berkata, “Tentu saja tidak. Ayo masuk!”

Kepada The Players' Tribune. Mbappe mengaku tak tahu kenapa ia bertanya seperti itu. Yang jelas, pengalaman lucu itu membekas dalam benaknya. Katanya, Zidane benar-benar mengantarnya ke lapangan latihan dengan mobil tersebut. Pengalaman konyol di Madrid itu pula yang pertama kali menyadarkannya bahwa bocah banlieue sepertinya juga bisa (duduk) sejajar dengan seorang legenda. Barangkali pengalaman itu pula yang membuatnya ingin kembali ke Real Madrid.