Borussia Dortmund dan Masalah-masalahnya

Foto: Twitter @Mastermind_09

Apakah Lucien Favre tak cukup bagus buat Dortmund? Kenapa Dortmund bergantung pada Haaland? Tunggu, kami akan mencoba menjawab pertanyaan ini satu per satu.

Borussia Dortmund dibabat Stuttgart 1-5 akhir pekan lalu. Buat Stuttgart kemenangan ini begitu berharga. Butuh 13 tahun untuk menaklukkan Signal Iduna Park di pentas Bundesliga.

Untuk Dortmund ceritanya lain. Hasil buruk ini malu-maluin. Tiga kali beruntun mereka tersungkur di kandang. Dortmund lantas mengumumkan bahwa Lucien Favre resmi ditendang.

Favre bukanlah pelatih buruk. Persentase kemenangannya bersama Dortmund mencapai 61,8% dari total 110 pertandingan. Visinya jelas dan selaras dengan Dortmund: Mengembangkan para pemain muda. Tanpa Favre, Jadon Sancho, Erling Haaland, dan Giovanni Reyna mungkin tak se-gacor saat ini.

Sebenarnya kejelian Favre dalam meneropong bakat sudah terbukti jauh sebelum sekarang. Lihat bagaimana dia sukses membawa FC Zurich juara Liga Swiss edisi 2006/07. Rata-rata usia pemainnya kala itu menyentuh 21,5 tahun.

Blerim Dzemaili, Gokhan Inler, dan Almen Abdi adalah beberapa di antaranya. Nama mereka mencuat. Ketiganya melakoni debut cepat bersama Timnas Swiss sebelum hengkang ke klub top Eropa.

Sama halnya di Borussia Moenchengladbach. Betul bahwa Favre bukan pelatih yang memberikan debut buat Marco Reus. Namun, di bawah rezim Favre, pendarnya mulai terang.

Itu terpapar dari 18 gol yang dibuat Reus di musim 2011/12. Jumlah yang bahkan tak mampu disamainya lagi sampai saat ini.

Lalu ada Allan Saint-Maximin yang ditemukan Favre saat bertualang ke Nice. Winger gimbal itu sukses mengemas 3 gol dan 7 assist di Ligue 1 musim 2017/18.

Namun, Dortmund berbeda dengan Zurich, Gladbach, dan Nice. Die Borussen bukanlah tim medioker. Mereka memikul beban besar: Sebagai oposisi nomor wahid Bayern Muenchen di Bundesliga.

Mencetak pemain muda bukanlah tujuan tunggal. Favre dituntut memutus rantai hegemoni Bayern. Tak cukup dengan titel Piala Super Jerman saja, tapi juga Bundesliga.

Di satu sisi, Dortmund juga tak bisa melucuti kebiasannya dalam melego pemain bintangnya ke klub lain. Ini jadi oxymoron.

Toleh bagaimana mereka melepas Robert Lewandowski, Mario Goetze, Ivan Perisic, Ilkay Guendogan, dan Shinji Kagawa. Christian Pulisic jadi yang terakhir. Dortmund menjualnya ke Chelsea seharga 58 poundsterling.

Dortmund Terlalu Bergantung Haaland?

Favre memang mewariskan skuat yang kompeten buat Dortmund. Tapi, ada problem yang masih harus dibereskan: Produktivitas. Kekalahan telak dari Stuttgart menunjukkan rapuhnya barisan belakang sekaligus lini depan yang ketul.

Mengacu Understat, xG Dortmund di laga itu cuma menyentuh 0,78. Kalah jauh dari Stuttgart yang mencapai 3,08. Ini merepresentasikan betapa buruknya Dortmund dalam mengakhiri peluang.


Oke, absennya Erling Haaland bisa dijadikan dalih. Pasalnya, bomber asal Norwegia itu penyumbang 40% dari total gol Dortmund di Bundesliga musim ini.

Haaland cedera, Dortmund pun kepayahan. Cuma sekali Dortmund menang di tiga laga sebelumnya. Itu pun dengan rata-rata gol minim: 1 gol per pertandingan. Padahal, Dortmund setidaknya mengemas 2 gol di tiap laga Bundesliga dan Liga Champions pada musim ini.

Candu kepada Halaand makin masuk akal karena nihilnya alternatif. Tidak ada striker murni lain yang Dortmund punya. Paco Alcacer, Alexander Isak, dan Maximilian Philipp kepalang dilego. Kalaupun ada, stok penyerang Dortmund saat ini cuma Youssoufa Moukoko yang baru berumur 16 tahun.

Kemarin-kemarin Favre menyiasatinya dengan memasang Reus sebagai false nine. Ya, memang, karena Reus bukan penyerang tengah. Dia lebih nyaman bermain sebagai gelandang serang atau second striker.

Sialnya, Reus tak setajam Haaland. Bahkan konversi peluangnya menjadi yang terendah di antara seluruh pemain Dortmund. Reus cuma mampu mencetak 3 gol dari jumlah xG-nya yang menyentuh 4,97. Itu Jauh tertinggal dari Halaand. Total 10 gol dibuatnya dari 7 xG.

Di lain sisi, performa Jadon Sancho, Giovanni Reyna, dan Raphael Guerreiro sebagai penyaji peluang tidaklah buruk. Dua nama yang disebut pertama sukses bikn 3 umpan kunci lawan Stuttgart. Guerreiro lebih-lebih lagi; dia memperoduksi 4 key pass, tertinggi di antara seluruh pemain.

Dengan kata lain, problem Dortmund saat ini bukan terletak pada kreativitas, melainkan ketajaman lini depan. Minimnya kompetensi ini yang kemudian membuat Dortmund miskin gol. Kemenangan mereka atas Zenit St. Petersburg tengah pekan lalu saja lahir dari sumbangsih departemen defensif, Lukasz Piszczek dan Axel Witsel.


Sekarang posisi Favre telah digantikan asisten pelatihnya, Edin Terzic. Pria berusia 38 tahun itu bukan muka baru di Dortmund. Dia pernah membantu Juergen Klopp 2010 silam sebelum menjadi asisten Slaven Bilic di West Ham.

Di laga debutnya Terzic melakukan tugasnya dengan sempurna. Bertandang ke Werder Bremen, Mats Hummels dkk. menang 2-1. Tak banyak perubahan yang dilakukannya. Dia menganut formasi dasar 4-2-3-1 sebagaimana Favre.

Bedanya, Terzic memasang Moukoko sebagai starter di pos serang--langkah yang tak pernah dilakukan pendahulunya. Untuk sektor sayap diisi Sancho serta Reyna. Reus juga dikembalikan ke posisi naturalnya, gelandang serang. Skema ini tokcer karena Reus akhirnya sukses mengakhiri paceklik golnya di 6 pertandingan.

Terlalu dini untuk memuji Terzic. Ini baru satu pertandingan. Lagian Bremen yang mereka kalahkan itu memang sedang hancur-hancuran; sebelumnya mereka sudah menelan tiga kekalahan beruntun.

Haaland baru akan pulih dari cedera otot di pengujung Desember. Artinya, Dortmund masih bermain tanpanya saat meladeni Union Berlin dan laga DFB-Pokal versus Eintracht Braunschweig.

Dengan besarnya ketergantungan Dortmund ke Haaland dan kepemimpinan Terzic yang belum cukup teruji, harusnya Dortmund mulai memikirkan untuk belanja striker di musim dingin nanti. Harusnya, lho.