Budak-Budak Piala Dunia

Foto: @FIFAWorldCup

Sejak Qatar mendapatkan jatah tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010, ribuan orang tewas. Publik sepak bola menggonggong dengan nyaring. Namun, Qatar tetap berlalu.

Zac Cox beserta beberapa kolega naik ke atap tribune Stadion Khalifa untuk bergegas memasang plafon scaffolding. Di tengah proses pemasangan, tiba-tiba rigging tempat mereka berpijak mendadak goyah dan runtuh dalam hitungan detik. Tubuh Cox dan timnya terjun bebas dari ketinggian 40 meter, terbentur keras, dan seketika tewas.

Pekerja Inggris berusia 40 tahun itu adalah satu dari ribuan pekerja migran yang terlibat proyek pembangunan fasilitas Piala Dunia 2022. Semua mata langsung memelototi persiapan Piala Dunia di Qatar usai insiden yang terjadi di Januari 2017. Digempur tudingan, panitia Qatar bergeming.

Investigasi independen dari Inggris mengungkapkan standar keamanan yang amat buruk di tempat Cox bekerja. Peralatan tidak standar jadi penyebab kematian Cox. Saat bekerja di tempat tinggi, Cox tidak dilindungi tali pengaman. Rigging yang seharusnya menjadi elemen pengaman tampak begitu renta. “Bautnya hilang. Banyak peralatan tidak berfungsi dengan baik, bahkan ada yang komponennya tidak lengkap,” tutur salah satu saksi, Jon Johnson.

Insiden kematian Cox membuka cela demi cela persiapan Piala Dunia 2022. Selain keselamatan kerja yang buruk, para pekerja yang kebanyakan imigran tak mendapat hak dasarnya. Amnesty International mendeskripsinya sebagai “perbudakan modern”. Laporan The Guardian pada awal 2021 menyebutkan, setidaknya 6.500 buruh migran tewas sejak Qatar resmi menjadi tuan rumah pada tahun 2010.

Pemerintah Qatar menganggap angka tersebut terlampau berlebihan. Kematian kerja dalam proyek Piala Dunia memang ada, tapi versi pemerintah Qatar mencatat 37 pekerja meninggal, dan “hanya” 3 pekerja yang tewas dalam proses konstruksi. Qatar menjawab kabar itu dengan ketus dan menyebut isu-isu semacam itu sebagai suara sumbang yang iri dengan status tuan rumah yang mereka sandang.

Foto: @TheEuropeanLad.

Sejak resmi mencalonkan diri akhir 2009, banyak pihak sudah menuding Qatar sampai babak belur dihajar kritik. Mulai dari suhu ekstrem gurun yang panas saat siang dan dingin di malam hari, sampai pemerintahan yang otoriter nan korup, dan catatan buruk perlakuan buruh migran.

Namun, Qatar percaya diri dengan citra yang mereka tulis dalam proposal. Mereka menjanjikan Piala Dunia yang benar-benar modern, sekaligus membawa harmonisasi di Jazirah Arab dan Dunia Islam. Yang paling penting, Qatar punya uang yang jauh lebih banyak dari negara lain untuk mewujudkan Piala Dunia yang mewah.

Gagasan itu ditelan dengan sukacita oleh pejabat FIFA. Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter, memuji setinggi langit prospek Piala Dunia pertama di Timur Tengah. Blatter memuji kemajuan pesat Qatar, dan berasumsi jika kehadiran Piala Dunia bakal menutup ketegangan situasi politik di kawasan tersebut. Qatar akhirnya menang tipis atas AS, dan berhak menjadi tuan rumah untuk pesta sepak bola pada tahun 2022.

Hak tuan rumah untuk Qatar malah membuat nada nyinyir kian kuat. Banyak pihak menuding FIFA terlalu gegabah. Publik banyak yang tidak terima karena Qatar yang tak punya kultur sepak bola seperti memanfaatkan aji mumpung penyelenggaraan Piala Dunia. Timnasnya tak pernah lolos Piala Dunia, terlebih mereka tak masuk 100 besar peringkat FIFA. Ditambah catatan politik yang buruk, mau jadi seperti apa Piala Dunia nanti?

Desas-desus kecurigaan kemudian mewujud jadi skandal sungguhan. Pada 2011, sebuah email mengungkap adanya pembagian uang sogokan ke beberapa pemilik suara kepada delegasi Asia untuk mendukung Qatar. Alat bukti bertambah dengan pengakuan baru dari delegasi Afrika. Nilai suapnya fantastis. Setiap delegasi setidaknya mengantongi 1,5 juta dolar.

Otoritas Qatar langsung menepis kabar korupsi. FIFA juga ikut pasang badan dan tak berhenti membela Qatar. Blatter menampik dengan tegas, “Tidak ada yang bisa membeli Piala Dunia.” Soal politisi Qatar yang otoriter dan korup, FIFA malah menyebutnya sebagai langkah yang perlu.

“Mungkin omongan saya terlalu gila. Namun, kami merasa negara yang tak demokratis malah mampu menyelenggarakan Piala Dunia lebih baik,” ujar Sekretaris Jenderal FIFA, Jerome Valcke, membela pemilihan Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia.

Watak pemerintahan Qatar yang otoriter dan korup akhirnya menjadi isu internasional. Laporan Amnesty International mengungkapkan bahwa Qatar akan membuat masalah terhadap para pekerja Piala Dunia karena regulasi ketenagakerjaan yang rawan.

Amnesty menyoroti peran perusahaan BUMN pemenang tender konstruksi yang terkesan kebal hukum. Sistem ketenagakerjaan bernama Kafala, memberikan kontrol penuh kepada sektor privat atau pemberi kerja atas status imigrasi dan sistem kerja para pekerja migran tanpa audit. Sistem ini umum diterapkan di negara-negara maju Timur Tengah, Qatar salah satunya.

Lewat sistem Kafala, pemerintah di Arab berusaha memenuhi dua kebutuhan sekaligus; kebutuhan pekerja murah yang tinggi dan keputusasaan kelas pekerja di negara-negara berkembang. Dengan memanfaatkan dua kondisi itu, para negara Timur Tengah memastikan jalan mulus profit ekonomi besar-besaran.

Sistem Kafala-lah yang membuat Qatar menjadi perantauan yang mematikan bagi buruh migran. Dengan hak dasar yang tak terpenuhi, keselamatan kerja ikut luput dari perhatian. Padahal, bekerja siang-siang di Qatar sama dengan bertungkus lumus di cuaca terik, seperti matahari cuma berjarak sejengkal dari kepala. Menurut laporan International Trades Union Confederation (ITUC), sebanyak 1.200 pekerja meninggal dunia di Qatar sejak tahun 2010 karena kondisi kerja ekstrem dan tak terlindungi.

Sebenarnya, perbudakan jadi isu sentral dalam proses pencalonan, dan Qatar berjanji menjadikan momen Piala Dunia untuk melakukan pembaruan. Usai mendapat sorotan, Qatar langsung luluh dan berkomitmen untuk memastikan sistem kerja bagi pekerja migran yang lebih sehat.

Pada tahun 2015, Qatar menandatangani perjanjian dengan International Labor Organization (ILO) untuk mereformasi sistem yang selama ini berjalan. Peraturan perihal sistem perlindungan upah resmi dikeluarkan. Janji reformasi ini meliputi beberapa poin, yakni kesehatan dan keamanan pekerja, transparansi rekrutmen dan upah, dan akses perlindungan hukum.

Dua tahun setelahnya, Qatar juga memperkenalkan beberapa kebijakan baru, yaitu perlindungan hukum pekerja domestik, dukungan dan dana asuransi bagi pekerja, izin keluar dari pekerjaan, dan ratifikasi perjanjian HAM internasional. Rangkaian paket kebijakan ini meminimalisir rasa curiga, setidaknya walau sesaat.

Foto: Amnesty.ie.

Untuk menampik keraguan, Qatar mencoba merayu seluruh dunia dengan menjanjikan Piala Dunia yang mewah. Jika semuanya berjalan lancar, Piala Dunia 2022 nanti mungkin bakal jadi hajat paling mahal dalam sejarah umat manusia. Qatar tak ragu menghabiskan lebih dari 200 miliar dolar AS hanya untuk menggelar event sepak bola yang bakal habis dalam sebulan. Uang sebanyak itu cukup untuk menghidupi Republik Indonesia selama 3 tahun tanpa utang.

Ada 8 stadion, infrastruktur transportasi anyar, dan sebuah kota baru yang mampu menampung 200 ribu populasi. Piala Dunia nanti dijanjikan paling ramah lingkungan karena dialiri listrik panel surya 800 megawatt. Fasilitasnya tak main-main. Misalnya, di Stadion Al Bayt, mereka memiliki pendingin canggih untuk seluruh stadion serta 89 ruangan khusus untuk penonton VVIP agar mereka bisa menikmati pertandingan sambil rebahan di ranjang hotel bintang 5.

Anggaran besar ternyata tak membuat para buruh mendapat fasilitas kerja yang layak. Alih-alih, di negeri yang kaya dan permai, para buruh migran masuk ke dalam situasi yang Amnesty kategorikan sebagai “perbudakan modern yang berlangsung begitu sistematis”.

Mereka yang bekerja di proyek Piala Dunia kebanyakan adalah migran dari negara Asia lainnya, diikat kontrak ketat dan tak boleh kembali ke negaranya tanpa izin pemegang kontrak. Tidak kurang dari 20 ribu buruh migran terlibat.

Setibanya di Qatar, harapan perbaikan nasib dari bekerja dalam proyek prestisius di negeri yang tajir langsung buyar. Fasilitas yang jadi hak dasar seperti tempat tinggal, makanan, upah, ditampar situasi kerja seperti budak.

Upah juga tak sesuai janji dan lebih sering nunggak. Pada beberapa kasus, buruh migran di Qatar bisa bekerja selama 6 bulan penuh, 10-12 jam sehari, tanpa upah dan tanpa asuransi. Misalnya pada Juni 2020, temuan Amnesty menunjukkan sebanyak 100 pekerja yang tengah menyelesaikan pembangunan Al Bayt Stadium belum dibayar. Mereka bekerja siang-malam membangun stadion berkapasitas 60.000 orang yang akan digunakan untuk babak semifinal Piala Dunia 2022.

Mereka yang belum menerima bayaran terpaksa hidup menggantungkan diri dengan utang. Pekerja asal Nepal, Rabindra Kewat, sudah tak gajian selama 5 bulan. Untuk menyambung hidup selama itu, Kewat menanggung utang 1.350 euro. "Saya kelaparan dan tak mampu membayar biaya medis saat sakit demam selama 5 hari," ujar Kewat kepada Telegraph.

Ilustrasi: Arif Utama.

Dengan kabar buruk yang datang dari proyek-proyek konstruksi di Qatar, kemarahan semakin membesar. FIFA belakangan menyesali keputusannya, bahkan disebut sempat berpikir mengalihkan jatah tuan rumah dari Qatar ke AS. Namun, FIFA tak pernah membuat keputusan yang bisa menekan Qatar, alih-alih tetap berkelit dari angka kematian yang tinggi dari proyek gagasannya.

Melihat ketidaktegasan FIFA, suara lantang datang dari lapangan. Pemain Jerman, Norwegia, dan Belanda, menyatakan sikap untuk mendesak Qatar memperbaiki perlakuan mereka terhadap para pekerja migran.

Erling Haaland dkk mengenakan kaus putih bertuliskan ‘Hak Asasi Manusia di Dalam dan Luar Lapangan’ saat menjalani pertandingan melawan Gibraltar pada 24 Maret 2021. Kemudian Timnas Jerman yang mengenakan kaus hitam dengan rangkaian tulisan Hak Asasi Manusia’ saat menjamu Islandia pada kualifikasi Piala Dunia.

Namun, senyaring apa pun publik sepak bola menggonggong, Qatar tetap berlalu.