Bukan dari Berlin dan Hamburg
Union Berlin adalah Köpenick, St. Pauli adalah St. Pauli.
Union Berlin tidak mewakili Berlin. Klub ini memang berasal dari Berlin, di timur jauh Ibu Kota Jerman itu. Namun, silakan tanya kepada para pendukungnya, mereka akan lebih nyaman bila Union disebut sebagai klub dari Köpenick, bukan Berlin.
Köpenick tidak seperti Mitte, Kreuzberg, Charlottenburg, Neukölln, Friedrichshain, atau distrik lain di Berlin yang terkemuka dan menjadi pusat kunjungan banyak orang. Köpenick jauh dari pusat kota, kira-kira 45 menit (jika kamu beruntung) dari stasiun utama Berlin. Tak banyak hal yang bisa dikunjungi di sana, tak banyak hal menarik bila dibanding sudut-sudut Berlin lainnya.
Namun, orang-orang dari Köpenick bisa membanggakan diri mereka lebih dari orang-orang yang berada di bagian lain Berlin karena memiliki Union Berlin. Saat ini, Union adalah klub sepak bola terbaik di Berlin. Mereka satu-satunya klub yang berlaga di Bundesliga karena tetangga kaya di sebelah barat, Hertha Berlin, musim ini masih berkubang di kompetisi level dua.
Yang lebih membuat orang-orang dari Köpenick bangga adalah karena di balik apa yang Union capai belakangan ini, ada campur tangan mereka. Union Berlin tak akan ada pada titik di mana mereka bisa langgeng berada di Bundesliga, menembus kompetisi Eropa dan bahkan Liga Champions, bila tidak dibantu oleh para suporternya.
Ini bukan bahasan klise–mengingat klub memang tidak bisa besar tanpa kehadiran suporter. Akan tetapi, Union memang berbeda. Mereka dibangun dan dibesarkan oleh para suporternya. Saat Stadion An der Alten Försterei dianggap tak layak untuk menggelar kompetisi 2. Bundesliga pada 2008 hingga 2009 silam, suporter urun tangan membantu pemugaran. Mereka bekerja selama sukarela, dengan estimasi waktu kerja hingga lebih dari seratus ribu jam. Semua demi Union.
Lima tahun sebelumnya, saat klub mengalami krisis finansial, suporter mengadakan donor darah untuk menggalang dana. Donor darah yang juga dilakukan untuk membantu salah satu anggota ultras Hertha yang saat itu mengalami sakit leukimia dan membutuhkan golongan darah yang cocok.
Union Berlin memang bukan sekadar klub sepak bola. Ia adalah komunitas. Ia adalah representasi bagi orang-orang Köpenick, bagi para suporternya. Tak heran bila orang-orang yang datang menonton ke Stadion An der Alten Försterei tak menyatakan bahwa mereka datang untuk menonton sepak bola. Mereka datang untuk Union. Mereka akan datang untuk Union apa pun agendanya.
Union Berlin memang berbeda. Jika di Jerman sangat umum bagi sebuah klub memiliki lagu yang diputar di stadion selepas tim mencetak gol, Union tak punya. Mereka menganggap bahwa salah satu momen terbaik di sepak bola bagi suporter–ketika timnya mencetak gol–tak perlu dirayakan dengan sebuah lagu. Suporter bebas merayakannya dengan cara apa pun, mengkhidmati sebagaimana yang mereka mau.
Union juga menjadi klub sepak bola pertama di Eropa yang berlaga di Liga Champions dengan perempuan dalam jajaran staf pelatih utamanya. Adalah Marie-Louise Eta, sosok yang dipercaya Union menjadi asisten pelatih mereka. Sosok yang berangkat dari tim U-19 ke tim utama, menunjukkan pula bagaimana Union tetap memberikan kesempatan bagi siapa pun dalam struktur tim untuk melangkah naik.
Sejak dulu Union Berlin juga dikenal sebagai klub kelas pekerja. Klub yang, pada awal-awal masa berdiri, menjadi pelipur lara bagi pekerja industri metal di Köpenick. Semangat kelas pekerja yang kemudian terus mereka bawa dan mereka jaga sampai sekarang. Union tak berubah, suporter tak berubah, Stadion An der Alten Försterei masih terlihat sederhana. Apa-apa yang mereka capai belakangan adalah bagian dari perjalanan (spiritual) yang mereka arungi–apa pun yang terjadi Union dan para suporternya akan tetap begitu.
Karenanya, jelas, Union Berlin adalah salah satu klub berbasis komunitas yang sangat layak ditiru kebersamaannya. Kebersamaan yang dibangun karena mereka sama-sama merasa terwakili dengan Union. Yang kemudian juga harus diketahui orang adalah: Union dan para suporternya tidak dipayungi satu pandangan politik yang sama. Ini yang kemudian membedakan mereka dengan klub berbasis komunitas lain di Jerman, St. Pauli.
Saya sudah banyak menulis soal siapa St. Pauli. Akan tetapi, dalam konteks ini, saya rasa saya harus menulis kembali. Pertama, St. Pauli memang dari Hamburg. Namun, bila Anda menyebut St. Pauli berasal dari St. Pauli, tak akan ada pula yang menyalahkan. Faktanya memang demikian. Seperti Union Berlin yang berasal dari Köpenick, St. Pauli berasal dari sebuah distrik dengan nama yang sama.
Namun tak seperti Köpenick yang berada di pinggir kota, St. Pauli sebagai distrik berada di jantung Kota Hamburg. Di distrik ini, pada saat Hamburger SV (HSV) dipenuhi suporter beraliran kanan, para pelajar, pemusik, artis, aktivis dan orang-orang yang beraliran kiri berkumpul dan beralih mendukung St. Pauli. Dari medio 1980-an itu, nama St. Pauli mulai terdengar, orang-orang mulai berbondong datang ke Stadion Millerntor.
St. Pauli tumbuh sebagai komunitas, meski tak memiliki prestasi besar sebagai klub. Akan tetapi, cerita di luar lapangan begitu masyhur berkat kuatnya komunitas ini. Pada era 2000-an awal, misalnya, saat klub mengalami krisis keuangan, suporter menggalang dana lewat penjualan kaos. Lebih dari 2 juta euro terkumpul yang kemudian menyelamatkan St. Pauli dari ancaman kebangkrutan.
Memang kemudian orang-orang yang datang mendukung St. Pauli juga tak cuma berasal dari wilayah St. Pauli saja, tapi setidaknya mereka membawa garis merah yang sama. Ada pandangan, meski terkadang tak semua, yang sama dengan apa yang dimiliki klub; soal sepak bola untuk semua, soal keterbukaan untuk siapa saja, soal bantuan kepada pengungsi atau tunawisma.
Bahwasanya St. Pauli kemudian menjadi klub terbaik di Hamburg saat ini–mengingat mereka satu-satunya yang berlaga di Bundesliga, prestasi ini juga hanyalah bagian dari perjalanan (spiritual) bersama. Bahwa St. Pauli juga lebih besar dari sekadar sepak bola. Bahwa di level manapun St. Pauli berlaga, Millerntor akan selalu penuh oleh orang-orang yang percaya bahwa mereka adalah bagian dari klub dan klub adalah bagian dari mereka.
***
Saya mengunjungi Stadion An der Alten Försterei lagi akhir pekan kemarin, untuk laga Union Berlin vs St. Pauli. Stasiun kereta Köpenick penuh, amat penuh. Warna merah di mana-mana. Orang-orang berjalan lebih dari satu kilometer menuju stadion. Di dalam stadion, mereka bernyanyi, berjingkrak. Stadion An der Alten Försterei adalah stadion paling berisik yang sejauh ini pernah saya datangi.
Stadion ini kecil, hanya menampung kurang dari 25 ribu penonton. Namun, ketika kau dengar hampir seluruh orang di seantero stadion bernyanyi atau berteriak bersama, kau tau ini berbeda. Union memang berbeda, suporter mereka berbeda. Berisik, penuh energi. Sulit mendengar nyanyian dari suporter tandang St. Pauli malam itu. Dominasi suporter di tribune sebenarnya tak terbawa ke lapangan. St. Pauli justru yang menguasai bola.
Namun, mungkin begitu cara kerja Stadion An der Alten Försterei dan Union Berlin. Yang dominan sepanjang laga adalah suara-suara dari seluruh tribune, pemain kemudian menyerapnya dan mengejawantahkannya lewat keberhasilan mencetak gol. Malam itu, di Köpenick yang riuh, Union Berlin mengalahkan St. Pauli 1-0.