Bukan Neverland untuk Luke Shaw

Foto: Instagram @LukeShaw23.

Luke Shaw sadar bahwa untuk menyelamatkan kariernya di Manchester United, butuh lebih dari sekadar pengorbanan, melainkan juga kemauan dan kedewasaan.

Cerita hidup Luke Shaw sebetulnya mirip dengan orang kebanyakan. Ia bertutur soal bagaimana kamu tidak bisa menjadi bocah selamanya dan bahwa suatu waktu, hidup bisa menonjokmu keras-keras dengan tangan kosong tepat di wajahmu.

Shaw adalah anak penurut. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang amat dekat satu sama lain. Saking dekatnya, ayah dan ibu Shaw, Paul dan Joanna, acap menyempatkan diri untuk datang ke stadion.

Paul bahkan pernah terbang sejauh 5.600 kilometer hanya untuk melihat Shaw bertanding. Kalau ini ia lakukan untuk putranya yang masih bermain di tim junior—atau baru melakoni debut bersama tim senior—mungkin terdengar biasa. Masalahnya, Paul rela terbang ke Kazakhstan untuk mendukung Shaw bertanding melawan FC Astana.

Shaw sudah berusia 25 tahun, untuk disebut pemain muda pun sudah tidak cocok. Dalam siklus karier seorang pemain sepak bola, Shaw semestinya sudah masuk dalam usia emas. Dan baru-baru ini, ia menunjukkan bagaimana kedewasaan dan kemauan untuk berubah betul-betul mengubah jalan kariernya.

Lahir di London dan tumbuh sebagai penggemar Chelsea, Shaw justru mendapatkan nama ketika menjadi pemain Southampton. Pada usia 16 tahun, Shaw mulai menarik minat dari kesebelasan-kesebelasan besar Premier League, tiga di antaranya adalah Chelsea, Arsenal, dan Manchester City.

Alih-alih bergabung dengan The Blues yang merupakan klub impiannya, Shaw memilih datang ke Manchester United pada 2014. Waktu itu usianya baru 19 tahun. Narasi bahwa ia adalah salah satu bek berbakat yang pernah lahir di Inggris masih santer betul di media-media.

Sepak bola memang kerap gumun pada bocah-bocah ajaib yang mencuat sebelum waktunya. Di antara bocah-bocah itu, kita mengenal Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, yang pada akhirnya memang hidup sesuai ekspektasi yang dibebankan kepada mereka. Namun, sepak bola juga pernah melupakan bocah-bocah seperti Freddy Adu dan Bojan Krkic.

Shaw memang tidak perlu memiliki karier seluar biasa Messi ataupun Ronaldo. Menjadi pemain yang bisa tampil bagus secara konsisten dari waktu ke waktu saja rasanya sudah cukup. Namun, bermain bagus secara konsisten lebih mudah untuk dituliskan daripada dilakukan.

Ketika tekel Hector Moreno memotong kakinya pada sebuah pertandingan Liga Champions melawan PSV Eindhoven, September 2015, Shaw sempat mengira kariernya hampir berakhir. Tekel brutal Moreno itu membuat kakinya patah dan mengharuskannya untuk langsung naik meja operasi.

Malam setelah pertandingan itu, Shaw menginap di Eindhoven. Operasi berjalan sukses dan kubu United sempat meminta kepada pihak rumah sakit untuk langsung membawa Shaw pulang. Namun, tim dokter St Anna Ziekenhuis—rumah sakit tempat Shaw menjalani operasi—melarangnya.

Mereka menemukan pembekuan darah pada dua tempat di kaki Shaw. Tindakan harus segera mereka ambil. Jika tidak, Shaw bisa kehilangan kaki kanannya. Alhasil, Shaw pun kembali naik meja operasi.

“Kalau aku terbang kembali saat itu juga, mungkin aku akan kehilangan kakiku karena pembekuan darah. Aku punya dua bekas luka sayatan di samping kakiku karena mereka harus merobeknya untuk mengeluarkan darah itu,” kata Shaw kepada The Guardian.

Pihak dokter tidak pernah menceritakan kepada Shaw betapa krusialnya operasi darurat itu sampai enam bulan kemudian.

Cedera patah kaki itu datang pada saat yang tidak tepat. Waktu itu, Shaw tengah berusaha membangun momentum setelah musim perdananya di United dipenuhi oleh beragam inkonsistensi permainan.

Shaw datang ke Old Trafford pada musim panas 2014 dengan beban. Nilai transfer 31 juta poundsterling dianggap terlalu besar untuk pemuda 19 tahun yang baru mengenyam dua musim di Premier League. Sudah begitu, ia bermasalah dengan kebugarannya. Musim belum dimulai, ia sudah harus absen satu bulan gara-gara cedera hamstring.

Musim itu, Shaw cuma tampil 20 kali untuk United dengan 16 di antaranya merupakan penampilan di Premier League. Namun, jarang betul ia tampil benar-benar impresif. Oleh karena itu, musim keduanya bersama The Red Devils menjadi teramat penting.

Shaw pada akhirnya memang menunjukkan bahwa ia punya bakat dan layak untuk mengawal sisi kiri pertahanan United. Namun, justru ketika ia sedang tampil konsisten-konistennya, nasib datang menyampaikan kabar buruk. Tekel dari Moreno itu datang serupa tonjokan keras di wajah ketika cengiran di wajah Shaw sedang lebar-lebarnya.

Sejak saat itu, Shaw menapaki jalan yang amat penuh dengan batu sandungan dan kerikil. Butuh waktu sampai lima tahun sampai ia betul-betul sadar bahwa untuk mengubah kariernya, dibutuhkan lebih dari sekadar pengorbanan, melainkan juga kedewasaan dan kemauan.

***

Jose Mourinho heran bukan main. Sebagai pelatih, ia mewarisi Shaw sebagai salah satu pemainnya dari eks kolega dan mantan bosnya, Louis van Gaal. Mourinho tahu bahwa Shaw adalah pemain berbakat dan anak yang baik, tetapi apa yang baru ia dengar betul-betul membuatnya terkejut.

Shaw datang ke hadapan Mourinho dan staf kepelatihannya untuk meminta izin. Ia berniat untuk pulang bersama ibunya, yang datang menjemput ke stadion lawan, alih-alih pulang bersama rekan-rekan dan pelatihnya dengan bus tim.

Mourinho sudah mendengar bahwa Shaw memang dekat dengan keluarganya, tetapi tidak menyangka bahwa Shaw berani meminta izin seperti itu. Mourinho akhirnya menolak permohonan itu dan meminta Shaw pulang bersama tim.

Pada lain kesempatan, Mourinho menegur Shaw karena datang terlambat ke sesi latihan tim di Carrington. Selayaknya bos yang hampir naik pitam melihat kelakuan anak buahnya, Mourinho meminta penjelasan mengapa Shaw datang terlambat.

Shaw pun berkata jujur. Namun, yang keluar dari mulutnya bukanlah hal-hal klise seperti bangun kesiangan sehingga terjebak macet ataupun lupa menyetel alarm. Yang terjadi lebih parah dari itu: Ibu Shaw lupa menyetel alarm pribadinya sehingga bangun kesiangan. Karena ibunya bangun kesiangan, ia pun jadi lupa membangunkan Shaw untuk berangkat latihan.

Mourinho syok. Menurut Manchester Evening News, di situlah rapor Shaw memburuk di mata Mourinho.

Mourinho, meski dikenal sebagai pria yang gemar bermain perang urat saraf dengan lawan-lawannya, bukanlah orang yang senang berbasa-basi dengan pemainnya sendiri. Ia adalah tipe pelatih yang rela melempar pemainnya ke jurang cuma untuk mengasah mental si pemain. Oleh karena itulah, ia cukup sering berselisih dengan pemainnya sendiri.

Tough love ala Mourinho tidak selamanya berhasil. Ia bekerja dengan baik terhadap Tanguy Ndombele di Tottenham Hotspur, tetapi tidak terhadap Shaw di United. Kebiasaan Mourinho mengantagoniskan Shaw di hadapan media justru memperburuk semuanya.

Shaw yang sudah kepayahan setengah mati mempertahankan kariernya di United kini berhadapan dengan tembok tebal. Beruntung, Ole Gunnar Solskjaer datang. Meski tidak seketus Mourinho, Solskjaer tetaplah pelatih yang dingin. Ia boleh terlihat ramah di luar, tetapi kalau si pemain tidak bermain dan berlatih sesuai ekspektasinya, Solskjaer akan menyingkirkannya pelan-pelan.

Namun, sebelum menjatuhkan vonis, Solskjaer biasanya akan memberikan si pemain sejumlah kesempatan. Tidak terkecuali untuk Shaw. Pelatih asal Norwegia itu paham bahwa Shaw adalah pemain dengan teknik mumpuni. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dibutuhkan kesabaran.

“Yang terpenting melihat semua orang sebagai manusia seutuhnya dan memperlakukan mereka sebagai sebuah individu. Aku menghabiskan banyak waktu berbicara dengan berbagai macam individu, termasuk Luke. Aku menikmati percakapan-percakapan dengannya. Aku senang membantunya. Toh, dia sendiri memang bertekad untuk membuat dirinya menjadi lebih baik,” kata Solskjaer.

Solskjaer boleh saja memberikan uluran dan kesempatan, tetapi kalau Shaw sendiri yang tidak berbenah, semuanya bakal percuma.

Orang-orang mengira bahwa performa Shaw yang membaik belakangan ini karena persaingan internalnya dengan Alex Telles dan Brandon Williams. Pendapat itu tidak salah. Persaingan internal tersebut memang membuat Shaw dan Telles menjadi lebih kompetitif. Namun, ada faktor-faktor lain yang ikut memengaruhi Shaw.

Semenjak bermain untuk Southampton, Shaw dikenal sebagai pemain yang “hidup sekenanya”. Shaw hidup seperti seorang mahasiswa yang tinggal di asrama. Ia dikelilingi oleh teman-teman seumuran yang menumpang tinggal di rumahnya dan memasak serta memakan makanan apa pun yang mereka sukai.

Pada satu titik, salah seorang mantan teman setimnya memberi peringatan. Menurut sang teman, Shaw harus membenahi hidupnya kalau mau kariernya di United berumur panjang.

Shaw akhirnya menurut dan perlahan-lahan, ia menata ulang hidupnya. Kehadiran Anouska Santos sebagai pasangan ikut membantunya. Ketika satu per satu teman-temannya mulai meninggalkan kediamannya di Cheshire, Santos hadir menata kehidupan sehari-hari Shaw.

November 2019, putra pertama mereka, Reign London, lahir. Status baru sebagai seorang ayah membuat Shaw betul-betul berubah. Dari yang tadinya hidup sebagai bocah yang menolak menjadi tua menjadi seseorang yang betul-betul dewasa.

Perubahan-perubahan itu pun berimpak positif terhadap permainannya di lapangan. Shaw, menurut sejumlah media di Inggris sana, kini menjadi salah satu pemain United yang tampil paling konsisten.

***

Oleh banyak orang dan pundit, Harry Maguire dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas hasil 0-0 yang didapatkan United di kandang Liverpool. Kalau bukan Maguire, nama lain yang mendapatkan pujian dari laga tersebut adalah Victor Lindeloef.

Alasannya sederhana, Maguire dan Lindeloef memang tampil solid pada pertandingan tersebut. Tidak hanya disiplin dalam menjaga posisi, keduanya juga berulang kali sukses menghalau bola yang datang ke pertahanan United.

Namun, Maguire sendiri tak setuju dengan label Man of the Match yang banyak orang sematkan padanya. Ia justru menganggap Shaw lebih layak mendapatkan predikat tersebut.

Shaw belakangan memang tidak hanya berkontribusi positif terhadap aspek defensif United, tetapi juga aspek ofensif. Selain penampilan individu yang memang membaik, taktik yang Solskjaer terapkan juga ikut menjadi faktor.

Selama bermusim-musim, para pendukung United memerhatikan bahwa Shaw acap kali bermain lebih bagus sebagai bek tengah sebelah kiri dalam formasi tiga bek ketimbang sebagai full-back kiri dalam formasi empat bek. Kesimpulan ini tak lepas dari kemampuan bertahan Shaw yang lebih baik dalam menjaga inside ketimbang outside.

Ketika bermain sebagai full-back kiri, area yang Shaw kawal memang lebih luas. Oleh karena itu, tak jarang ia out of position dan ujung-ujungnya meninggalkan ruang yang lantas dieksploitasi lawan.

Seiring dengan performa individunya yang membaik, Shaw juga mendapatkan keuntungan dari pembenahan taktik yang Solskjaer lakukan. Jika pada pertandingan pertama Premier League musim ini, melawan Crystal Palace, kita melihat positioning pemain-pemain United amburadul—entah terlalu renggang atau malah tumpang tindih di satu area—kini mereka lebih disiplin.

Pada pertandingan pertama tersebut, Maguire dan Lindeloef berdiri berjauhan sehingga acap membuat Maguire menjadi satu-satunya bek yang mengawal pertahanan ketika United menguasai bola. Kini, jarak antara keduanya jauh lebih rapat ketika tim sedang menguasai bola.

Maguire dan Lindeloef—atau Maguire dan Eric Bailly—biasanya menjadi dasar pada formasi 2-3-5 ketika United berada dalam fase terakhir serangan. Pola ini juga mereka terapkan ketika menghadapi lawan-lawan yang bermain dengan low block seperti Fulham. Alasannya jelas, dengan menempatkan lima pemain di depan, area yang bisa mereka eksploitasi menjadi lebih banyak; selain area tengah dan kedua sisi sayap, ada juga kedua half space.

Dalam formasi tersebut, kedua full-back United biasanya bakal berdiri asimetris. Jika yang satu naik ke sisi sayap untuk membantu serangan (menjadi salah satu pemain terluar dalam angka 5 pada formasi itu), yang lainnya akan naik ke tengah menemani dua gelandang untuk membentuk angka 3 pada formasi tersebut.

Inilah mengapa belakangan kita sering melihat Shaw atau Aaron Wan-Bissaka bisa muncul dari second line dan menyerang via inside, tidak melulu dari pinggir lapangan. Buat Shaw, kemampuannya mengeksploitasi inside ketika menyerang atau menjaga lini tengah jadi terakomodasi dengan baik.

Ketika tidak sedang menguasai bola, United akan bertahan dengan formasi 4-4-2. Berbeda dengan sebelumnya, kini Shaw tak lagi melulu mesti bergerak di tepi lapangan. Dan ini mempermudah pekerjaannya. Kini, ia hanya naik membantu serangan dari tepi (outside), kalau full-back di sisi sebaliknya menempati posisi di tengah.

Sekarang Shaw paham kapan saatnya melakukan underlapping (berlari mendahului pemain yang menguasai bola dari sisi dalam) atau overlapping (berlari mendahului pemain yang menguasai bola dari sisi luar). Laga melawan Liverpool, membuktikan hal tersebut.

Shaw juga cukup terbantu dengan keputusan staf pelatih United untuk memanfaatkan set piece. Menurut The Athletic, Michael Carrick dan Martyn Pert—dua asisten Solskjaer—telah memikirkan bagaimana caranya memaksimalkan set piece sebaik mungkin di sesi latihan. Lagi pula, mereka memiliki Telles yang punya kemampuan mendistribuskan bola mati, entah itu sepak pojok atau tendangan bebas, dengan baik.

Drill pada sesi latihan tersebut, termasuk kehadiran Telles, membuat kemampuan Shaw dalam mendistribusikan bola mati ikut terasah. Statistik menunjukkan bahwa Shaw sukses melepaskan umpan sepak pojok yang mengarah ke rekan sendiri sebanyak 24 kali di Premier League musim ini. Sementara pada delapan musim sebelumnya—termasuk bersama Southampton—ia cuma 29 kali mengambil sepak pojok.

Catatan lain yang ikut berubah adalah jumlah crossing suksesnya. Dari yang sebelumnya cuma 1,71 crossing per 90 menit (dengan akurasi mencapai 23,7%) pada musim lalu, menanjak menjadi 2,17 per 90 menit (dengan akurasi 33,9%).

Dengan segala perbaikan yang Shaw lakukan, sulit rasanya untuk menggeser posisinya dari starting XI United. Namun, Solskjaer sudah mengatakan bahwa Shaw tidak akan bermain setiap saat. Demi menjaga kebugaran pemain—juga persaingan internal—rotasi tetap perlu ia lakukan.