Bukan "Piala Chiki" buat Liverpool

Foto: @LFC

Sejak 2017/18, Piala Liga terlihat "diremehkan" oleh Liverpool dan Juergen Klopp. Namun, musim ini situasinya berbeda. Mereka butuh trofi ini karena hal-hal penting di baliknya.

Sepuluh tahun lalu. Saya masih ingat betul momennya.

Di Wembley petang itu, Liverpool tertinggal lebih dulu dari Cardiff City. Saat itu yang mencetak gol untuk Cardiff adalah Joseph Mason. Di menit 19, ia mampu meloloskan diri dari kawalan pemain belakang Liverpool sebelum melepaskan sontekan yang melewati sela kaki Pepe Reina.

The Reds kemudian berhasil menyamakan kedudukan via Martin Skrtel di menit 60. Bahkan, pada menit 108 di babak perpanjangan waktu, Liverpool berbalik unggul 2-1 setelah Dirk Kuyt, yang tampil sebagai pemain pengganti, mencetak gol via sepakan keras dari dalam kotak penalti.

Saat itu, saya yakin Liverpool akan menang. Babak perpanjangan waktu tinggal 12 menit lagi dan pasukan Kenny Dalglish terlihat masih punya tenaga untuk membuat skor tetap bertahan hingga akhir. Namun, firasat saya ternyata salah. Kemelut di depan gawang Liverpool pada menit 118 membuat Ben Howard Turner mampu mendapatkan bola liar dan dengan mudah membobol gawang Reina.

Seketika, keyakinan saya berubah. Saya justru merasa Liverpool akan kalah. Pertama karena Dewi Fortuna seperti berada di pihak Cardiff seiring gol penyamakedudukan itu. Kedua kiper Cardiff, Tom Heaton, tampil luar biasa selama 120 menit. Ia terlihat lebih meyakinkan untuk bisa memblok tendangan-tendangan pemain Liverpool.

Keyakinan saya makin bertambah kuat usai Steven Gerrard dan Charlie Adam, dua algojo penalti pertama Liverpool, gagal menunaikan tugasnya dengan baik. Tendangan Gerrard ditepis Heaton dan sepakan Adam terbang ke angkasa. Sementara, di kubu Cardiff, satu dari dua penendang pertama sukses menambah angka.

Namun, keyakinan saya lagi-lagi salah. Dua dari tiga penendang Cardiff berikutnya, Ruddy Gestede dan Anthony Gerrard (yang kebetulan sepupunya Steven), gagal mengeksekusi penalti dengan baik. Sebaliknya, tiga penendang terakhir Liverpool justru berhasil.

Liverpool pun mampu menjadi kampiun Piala Liga musim 2011/12 itu. Mereka menang 3-2 di babak penalti atas Cardiff setelah imbang 2-2 selama 120 menit. Dan buat saya, kemenangan dan gelar juara ini begitu spesial. Sebab, ini adalah trofi mayor pertama yang Liverpool dapatkan setelah mengalami periode buruk di akhir era Rafa Benitez dan di era Roy Hodgson.

Terlebih skuad Liverpool saat itu juga bisa dikatakan pas-pasan--meski uang transfer yang dikeluarkan sebenarnya tak sedikit. Mereka juga, tanpa mengurangi hormat kepada Dalglish, tengah dipimpin oleh pelatih yang terlihat minim ide-ide segar. Melihat tim bisa juara di tengah situasi itu jelas sebuah kemewahan untuk fan.

***

Nanti malam (27/2/2022), 10 tahun setelah laga vs Cardiff itu, Liverpool akan kembali ke partai final Piala Liga. Situasi tim memang sudah berubah. Liverpool sudah tidak lagi berada di masa peralihan. Mereka justru tengah berada di periode terbaik.

Jika sebelum 2012 itu Liverpool seret trofi, situasi jelang final nanti malam tak demikian. Tim asuhan Juergen Klopp sudah punya mental juara. Ini karena dalam tiga tahun terakhir, mereka berhasil mencicipi trofi Liga Champions dan Premier League, dua gelar yang di atas kertas lebih bergengsi dari Piala Liga.

Secara skuad, Liverpool juga punya apa pun yang dibutuhkan sebuah tim untuk jadi juara: Kiper yang bagus, pertahanan yang kukuh, gelandang yang bisa mengontrol lini tengah, dan pemain depan yang luar biasa tajam. Materi pemain, meski ada beberapa pilar yang cedera, bisa dikatakan mewah.

Namun, bukan berarti final Piala Liga kali ini tak jadi penting buat mereka. Pun dengan gelar juaranya (jika nanti mereka menang atas Chelsea). Piala Liga bukan sekadar "Piala Chiki" (merujuk ejekan warganet di media sosial soal Piala Liga) buat mereka.

Oke, sejak 2017/18, Liverpool memang terlihat tak "serius" di kompetisi ini. Langkah Jordan Henderson cs. tak pernah lebih jauh dari perempat final. Akan tetapi, ada beberapa hal yang membuat Piala Liga musim ini jadi begitu penting buat dimenangkan.

Pertama karena Juergen Klopp belum pernah memberikan satu pun piala domestik buat Liverpool. Prestasi terbaiknya hanya mengantarkan The Reds ke final Piala Liga pada musim 2015/16. Kala itu, mereka keok di babak adu penalti dari Manchester City.

Mengingat di atas kontrak rezim Klopp akan usai pada 2024 nanti, ia bisa saja tak punya kesempatan lain untuk merengkuh piala domestik selain di Piala Liga musim ini. Karenanya, final malam ini harus bisa dimaksimalkan dengan baik. Klopp tak boleh punya utang ketika ia pergi nanti.

Kedua, tentu saja karena Liverpool butuh trofi musim ini. Dengan skuad mentereng dan badai cedera yang sudah jauh berkurang, sudah selayaknya Liverpool bisa memperkuat keabsahan mereka sebagai klub elite dengan merengkuh sebuah trofi.

Sejauh ini, mereka memang masih berlaga di Piala FA dan Liga Champions, juga tengah berada dalam perburuan untuk meraih gelar juara Premier League. Namun, situasi akan lebih baik untuk tim jika Liverpool bisa mengunci satu trofi di akhir Februari ini.

Juara kemudian juga bisa membuat para pemain makin yakin terhadap klub (ingat kasus Luis Suarez?). Liverpool kebetulan punya banyak pilar yang akan segera menemui akhir masa kontrak, seperti Sadio Mane, Mohamed Salah, sampai Roberto Firmino, dan trofi bisa menguatkan pemain-pemain tersebut untuk bertahan. 

Memang sebelum final pun Salah sudah menyatakan keinginan untuk bertahan dan Mane serta Firmino juga diyakini demikian, tetapi gelar bisa membuat mereka makin yakin. Sebab, jika mereka terus bisa mendapatkan trofi bersama Liverpool, untuk apa pindah ke tim lain yang secara probabilitas mungkin tak lebih besar?

Selain itu, uang juga berbicara di sini. Memang hadiah Piala Liga yang cuma 100.000 pounds itu tak ada artinya buat tim sekelas Liverpool. Namun, kemenangan di partai final, dan itu artinya konsistensi meraih juara dalam beberapa musim terakhir, bisa meningkatkan nilai jual Liverpool.

Tim ini memang sudah punya nilai jual tinggi dan berstatus salah satu klub terbesar (serta pemilik fans terbanyak) dunia. Akan tetapi, melirik daftar laporan keuangannya, Liverpool perlu menambah banyak pemasukan untuk terus surplus. Dan salah satunya, ya, dengan meningkatkan nilai jual klub.

Pasalnya, dalam laporan keuangan musim 2020/21, Liverpool diketahui mengalami kerugian (sebelum pajak) sebesar 4,8 juta poundsterling. Total revenue juga turun 3 juta pounds. Dua hal itu memang, salah satunya, disebabkan oleh pandemi. Akan tetapi, konsistensi dalam mendapat trofi, yang diharapkan mendatangkan kesepakatan-kesepakatan baru, juga bisa meningkatkan keuangan klub.

Lagi pula, ini seperti momen "kalau bukan sekarang, kapan lagi?" buat Liverpool. Mumpung masih dilatih Juergen Klopp dan kondisi pemain terbaik sedang berada di puncak performa, ini adalah waktu yang tepat untuk meraih trofi, mengukir sejarah lainnya. Juga untuk menjangkapkan keabsahan sebagai tim elite, sekaligus menambah pundi-pundi--baik nilai (value) maupun uang.

***

Soal aspek emosional sebagai fan, gelar juara yang bisa Liverpool rengkuh nanti malam mungkin tak akan semewah apa yang didapatkan pada 2012. Namun, gelar juara tetaplah gelar juara. Itu tetaplah defenisi dari sukacita, kegembiraan.

Terlebih, lawan yang akan Liverpool hadapi di partai final adalah Chelsea. Jelas lebih berat dari Cardiff City. The Blues adalah tim besar yang dua kali gagal Liverpool kalahkan di liga musim ini. Sudah jelas bahwa duel nanti akan jadi duel sepadan dengan gengsi begitu besar. Duel yang, sebenarnya, juga bisa menghadirkan ketidakyakinan lebih besar lagi.

Sebab, secara permainan pun, Liverpool kesulitan betul menghadapi Chelsea. Entah itu kesulitan dalam hal membongkar pertahanan rapatnya, atau kesulitan mengontrol lini tengah Chelsea yang punya Kovacic, Jorginho, dan Kante. Serangan cepat via transisi menyerang dari pasukan Thomas Tuchel pun acap jadi momok buat Virgil van Dijk cs.

Karena itu, saya sendiri memutuskan untuk tidak berkeyakinan dan menahan asa punya sebuah firasat jelas final ini. Yang saya tahu, Liverpool harus berusaha untuk mengangkat piala di akhir pertandingan.