Bundesliga Adalah Tanah Subur dan Pemain Asia Adalah Bunga yang Bermekaran

Ilustrasi: Arif Utama

Jerman adalah tanah yang dijanjikan bagi pesepak bola Asia meraih pengakuan di Benua Biru.

Jerman adalah tanah madu dan susu bagi pesepak bola Asia. Dari Yasuhiko Okudera, Cha Bum-kun, sampai Son Heung-min, ratusan pesepak bola Asia mengadu nasib, berkembang, dan mendapat pengakuan di kompetisi teratas sepak bola Jerman, Bundesliga.

Mereka tak cuma berhenti pada status pionir, memulai sebentar, dan jadi ornamen marketing. Jauh melebihi segala ekspektasi yang meremehkan, pemain-pemain Asia kerap jadi tulang punggung kesuksesan klub Jerman yang dibelanya.

Paling legendaris tentu saja Cha Bum-kun yang mencetak 98 gol (tanpa penalti) dalam 308 pertandingannya di Bundesliga dari 1979-1989. Striker asal Korea Selatan tersebut berperan besar saat menjuarai UEFA Cup (kini Liga Europa) bersama Eintracht Frankfurt (1979/80) dan Bayer Leverkusen (1987/88).

Bahkan pada musim pertamanya di Jerman, Cha masuk majalah kicker dalam fitur Team of the Season Bundesliga 1979, bersanding dengan Kevin Keegan dan Karl-Heinz Rummenigge di lini depan. Tak heran, pemain macam Oliver Kahn, Michael Ballack, dan Michael Owen menjadikan Cha idola mereka.

Ada pula kisah sukses pemain Asia lain: Mehdi Mahdavikia yang masuk all-time-XI Hamburger SV; Makoto Hasebe yang menjuarai Bundesliga pada 2008/09 bersama VfL Wolfsburg; Shinji Kagawa yang dua kali juara Bundesliga bersama Borussia Dortmund; sampai Son Heung-min yang mulai bersinar di Jerman dan kini membuat bek klub-klub Premier League lintang pukang.

Tak pelak, Jerman jadi tujuan pesepak bola asal Asia. Berdasar data Opta Sports yang dikumpulkan sejak Juli 1998 sampai laporan tersebut terbit pada 2019, terdapat 64 pesepak bola Asia yang bermain di 3.926 pertandingan. Angka ini melebihi catatan keterlibatan pemain Asia di Premier League, Serie A, La Liga, dan Ligue 1 bahkan ketika empat liga tersebut digabungkan.

***

Musim ini pun Bundesliga tak kekurangan bintang dari Asia. Apabila dilihat melalui kacamata statistik, setidaknya tiga pemain Asia memberikan penampilan menonjol di paruh pertama musim 2020/21.

Yang pertama adalah Daichi Kamada dari Eintracht Frankfurt. Kamada terlibat langsung dalam tujuh gol dalam 12 pertandingan bersama Die Adler musim ini.

Lima assist-nya hanya kalah dari Thomas Mueller dan Kingsley Coman (Bayern Muenchen) yang mencatat tujuh assist, serta Christopher Trimmel (Union Berlin) dan Nadiem Amiri (TSG 1899 Hoffenheim) yang punya enam assist.

Ini adalah musim ketiga Kamada di Bundesliga. Sementara ini, prospeknya menjanjikan: hanya dalam 12 pertandingan saja, Kamada sudah berhasil melewati catatan dua gol dan empat assist yang ia raih dalam 28 pertandingan musim lalu.


Selain Kamada, ada Wataru Endo dari VfB Stuttgart yang musim ini jadi pemeran utama. Endo, yang bermain sebagai gelandang bertahan, berada pada posisi pertama Bundesliga dalam urusan perebutan bola. Ia memenangi 211 duel, 32 kali lebih banyak dibanding Daniel Caligiuri (Augsburg) yang berada di posisi dua.

Peran Endo integral dalam membawa Stuttgart ke posisi tujuh sementara Bundesliga. Dalam 13 pertandingan Bundesliga yang dijalani Stuttgart musim ini, Endo adalah satu-satunya outfield player yang tak pernah tergantikan.

Ia bermain selama 1.170 menit, sama dengan kiper Gregor Kobel dari Swiss. Bahkan Endo diberi nilai 7,11 oleh Whoscored, tertinggi di antara pemain Stuttgart lain. Catatan tersebut impresif mengingat ini adalah musim penuh pertama Endo di Stuttgart dan Bundesliga.

Nama Asia ketiga yang tampil cukup baik adalah Ritsu Doan dari DSC Arminia Bielefeld. Memang, Arminia kini berada di zona degradasi dengan 10 poin dalam 13 pertandingan. Meski demikian, penampilan pemain berusia 22 tahun itu adalah pengecualian.

Doan, dipinjam dari PSV Eindhoven, tampil konsisten buat Arminia. Ia bermain di setiap laga Bundesliga (13 kali) dan bahkan mencatat dua gol dan dua assist. Angka ini mungkin terlihat biasa saja untuk seorang gelandang serang. Meski demikian, untuk Arminia yang ngos-ngosan di Bundesliga, terlibat langsung dalam empat gol sudah paling banyak di klub tersebut.


Ada beberapa alasan mengapa mengapa talenta terbaik Asia, terutama dari Jepang dan Korea, memulai perjalanannya di Eropa melalui jalur Bundesliga. 

Faktor pertama adalah kedekatan sejarah keduanya. Pada 1960, Dettmar Cramer, pelatih legendaris yang membawa Bayern menjuarai European Cup (kini Liga Champions) pada 1975 dan 1976, melancong jauh ke Timur untuk mempersiapkan Timnas Jepang jelang Olimpiade Tokyo 1964. Dari perannya di sinilah Cramer mendapati julukan “Bapak Sepak Bola Jepang”.

Lalu ada peran Hennes Weisweiler, pelatih Cologne yang membawa Okudera ke Jerman pada 1977. Ada pula asisten manajer Eintracht, Dieter Schulte, yang sampai bersikeras kepada asosiasi sepak bola Korea Selatan agar mengizinkan Cha Bum-kun dibebaskan dari wajib militer untuk meneruskan karier sepak bolanya di Jerman.

Peran tokoh-tokoh tersebut kemudian melahirkan karier legenda-legenda macam Okudera dan Cha Bum-kun. Mereka menjadi contoh, menjadi pionir yang memasukakalkan pilihan Jerman sebagai pijakan pertama karier pesepak bola Asia di Eropa.

Datangnya Okudera dan Cha Bum-kun ke Jerman juga membukakan jalan bagi pesepak bola Asia puluhan tahun setelahnya. Kali ini via Thomas Kroth, mantan gelandang Eintracht dan Koln yang pernah satu tim dengan Okudera dan Cha. Usai kariernya sebagai pesepak bola berhenti di 1990, Kroth ganti bekerja sebagai agen pemain dengan perhatian khusus ke talenta dari Asia.

Kroth, dengan perusahaan PRO Profil GmbH, menjadi perwakilan dari pemain-pemain seperti Genki Haraguchi (Hannover), Hiroshi Kiyotake (Cerezo Osaka), Shinji Okazaki (SD Huesca), Hasebe, juga—sampai beberapa waktu lalu—Shinji Kagawa.

“Mungkin karena aku bermain bersama Okudera sewaktu di Koln, juga bersama Pierre Littbarski yang kemudian melatih di Jepang,” kata Kroth kepada FourFourTwo.


Faktor kedua adalah relatif lebih mudahnya ekosistem sepak bola Jerman bagi pesepak bola Asia, termasuk visa dan izin bermain, apabila dibandingkan dengan empat liga top Eropa lain.

Tidak ada batas pemain asing non-UEFA bagi klub Jerman. Beda dengan Serie A, yang punya kuota pemain non-Uni Eropa (tidak berkewarganegaraan ganda) maksimal dua pemain. Spanyol punya tiga (dan sebab alasan bahasa serta kultur, lebih memilih pemain dari Amerika Latin ketimbang Timur Jauh).

Di Inggris sendiri memang tak ada batasan spesifik bagi pemain non-Uni Eropa. Meski begitu, mereka butuh izin kerja dan kriterianya cukup rumit untuk pemain sepak bola. Syarat seperti persentase pertandingan tim nasional seringkali jadi hambatan buat talenta muda Asia menerobos klub bola Inggris. Belum lagi kini Brexit yang kemungkinan besar membuatnya lebih rumit.

***

Namun demikian, bukan berarti simbiosis pemain Asia dan sepak bola Jerman hingga taraf saat ini berjalan mulus-mulus saja. Awalnya, klub Jerman tak tertarik dengan pemain Asia, begitu pula pemain Asia yang tak tertarik bermain di Jerman.

“Tim-tim Eropa tidak begitu suka dengan pemain Asia. Mereka bilang, ‘Memangnya pemain Jepang bisa membantu kami?’ Saat itu posisi timnas Jepang cukup rendah di ranking FIFA. Pun begitu dengan pemainnya. Mereka kebanyakan lebih memilih Liga Inggris ketimbang Bundesliga,” ujar Kroth.

Jumlah Pemain Asia di Bundesliga


Sentimen ini juga disadari oleh Cha. Ia dan Okudera memang menjadi awal mula. Akan tetapi, tidak serta merta pemain Asia membanjiri Jerman setelah kehadiran mereka berdua.

“Sampai beberapa waktu terakhir, Premier League adalah yang paling menarik buat pemain Korea. Namun, Bundesliga kini mulai mengambil perhatian lebih banyak pemain. Gaya permainannya cocok dengan pemain Asia,” kata Tscha Bum, panggilan Bum-kun, pada laman resmi Bundesliga 2014.

“Akan ada lebih banyak pemain Asia yang datang ke Bundesliga, sebab mereka bisa lihat sendiri bagaimana pemain Jepang dan Korea bisa sukses di tim-tim besar Jerman,” katanya.

Yang disebut Tscha Bum jadi faktor ketiga. Gaya permainan sepak bola Jerman dinilai lebih akomodatif bagi pemain Asia. Apabila dibandingkan dengan Premier League, Bundesliga relatif tidak terlalu fisikal dan lebih mengakomodasi teknik tinggi pemain-pemainnya.


Karakteristik kolektif pemain profesional Asia, khususnya Jepang dan Korea, yang pekerja keras, disiplin, tidak neko-neko, dan lebih team-player juga disukai di Jerman.

Amat jarang pemain Asia Timur terekspos sebab ribut masalah perpanjangan kontrak, ingin pindah klub, atau masalah indisipliner lain. Malahan, cerita pemain macam Tscha Bum dan Son Heung-min yang bangun-pagi-tidur-cepat dan hidupnya cuma latihan-latihan-latihan sering sekali kita dengarkan.

Tak heran jika kini Jepang jadi negara luar Eropa ketiga dengan pemain di Bundesliga (enam pemain), hanya kalah dari Brazil (12) dan Amerika Serikat (8). Korea Selatan juga tak kalah jauh, menyumbang lima pemain di Bundesliga musim 2020/21.

Catatan tersebut, menilik kebintangan baru pemain macam Kamada, Endo, dan Doan, dirasa-rasa hanya akan meningkat di masa depan.