Cara Baru Chelsea Matikan Serangan Lawan

Foto: Instagram @chelseafc

Tuchel kembali membuktikan bahwa ia tidak saklek dengan pola tertentu.

Dari tujuh pertandingan yang sudah dijalaninya bersama Chelsea di Premier League, kita tahu bahwa Thomas Tuchel punya cara tersendiri dalam menyemai kemenangan.

Sebelum ini, kami pernah membahas mengenai gaya kepelatihan Tuchel lewat ‘Keras Hati Thomas Tuchel’. Dalam tulisan tersebut, kami menyatakan bahwa ia adalah pelatih yang adaptif dan fleksibel terhadap sebuah taktik maupun formasi.

Semula perubahan yang dilakukan oleh Tuchel hanya berlaku untuk lini depan dan bek sayap. Tiap menghadapi lawan yang berbeda, besar kemungkinan ia akan menggunakan pemain dengan peran yang berbeda pula.

Pada tiga pertandingan awal, Tuchel setia menurunkan penyerang sayap dengan nama-nama berbeda. Laga berikutnya, ia tampil dengan dua penyerang tengah dalam peran yang berbeda. Setelahnya, ia mengubah taktiknya lewat penggunaan dua gelandang serang tengah.

Tidak hanya lini depan, perubahan pemain dan peran di posisi bek sayap juga rutin dilakukan. Di kanan, ia kerap mengganti Callum Hudson-Odoi dengan Reece James dan gonta-ganti bek kiri dari Ben Chilwell ke Marcos Alonso.

Jorginho dan Mateo Kovacic termasuk dalam pemain yang memiliki porsi besar untuk selalu dimainkan. Dalam lima pertandingan pertama yang dilakoni Tuchel, hanya sekali mereka tak bermain bersama. Itu pun baru terjadi pada menit ke-74 saat Kovacic diganti ketika melawan Tottenham Hotspur.

Saat semua mengira kombinasi mereka akan jadi pilihan utama, Tuchel justru berbalik arah. Pada pertandingan melawan Southampton pada pekan ke-25, ia menurunkan duet baru di lini tengah: Kovacic dan N’Golo Kante.

Kombinasi Kovacic dan Kante tak hanya berlangsung dalam pertandingan tersebut. Pekan ke-26, saat Chelsea menghadapi Manchester United, keduanya kembali dimainkan bersama sejak menit pertama.

Pemilihan Kovacic dan Kante di lini tengah sebenarnya mengundang pertanyaan. Di luar itu, keputusan ini mengorbankan duet Jorginho dan Kovacic yang dalam lima pertandingan sebelumnya terlihat amat solid dan padu.

Sebelum masuk ke alasan, terakhir kali Kovacic dan Kante bermain bersama terjadi saat Chelsea menghadapi West Bromwich Albion, tepatnya pada September 2020. Dalam pertandingan yang digelar di The Hawthorns tersebut, Chelsea hanya mampu memetik hasil imbang 3-3.

Saat menghadapi West Brom, Kovacic dan Kante memiliki tugas berbeda. Kovacic lebih banyak ditugaskan untuk mengalirkan bola sekaligus membantu Kai Havertz dalam mengkreasikan serangan. Catatannya tak buruk. Ada sembilan umpan yang berhasil diarahkannya ke kotak penalti West Brom

Sementara itu, Kante lebih banyak diarahkan untuk menghentikan pemain dan serangan lawan. Menurut Whoscored, Kante membukukan lima intersep dan tiga tekel. Statistik yang dibukukan oleh Kante pun jadi yang paling tinggi dalam lima pertandingan tersebut.

Kombinasi Kovacic dan Kante tidak cukup untuk membuat pelatih Chelsea kala itu, Frank Lampard, puas. Hingga Lampard dipecat, mereka tidak lagi pernah bermain bersama.

Tuchel tidak meniru apa yang dilakukan oleh Lampard kepada mereka. Di tangan Tuchel, keduanya memainkan peran yang serupa: Pemutus serangan lawan sekaligus penghubung antara lini belakang dengan depan.

Tuchel tidak mengatakan alasan teknis di balik perubahan ini. Namun, melihat catatannya sejak memegang Chelsea, terlihat bagaimana setiap lawan yang ia hadapi selalu mendapatkan kebebasan untuk eksplorasi.

Dalam laga debutnya, Tuchel berhasil membuat lawan, Wolverhampton Wanderers, hanya menyentuh bola 50 kali di daerah permainan Chelsea. Catatan ini ternyata memburuk hingga di laga kelima, saat melawan Newcastle United, lawan membuat 122 sentuhan di area Chelsea.

Kovacic dan Jorginho pun jadi sasaran. Dalam lima laga tersebut, Kovacic memenangi 10,4 duel dan melepaskan 4,8 intersep per pertandingan. Angka ini di atas Jorginho yang hanya memenangi 10,1 duel dan melepaskan 4,4 intersep pertandingan.

Bagaimana angka Jorginho bisa seperti demikian sebenarnya cukup diwajarkan. Ia bukanlah seorang breaker dan tidak pernah dipasang di role tersebut. Pada akhirnya, Tuchel memilih untuk meminggirkan Jorginho untuk memberikan Kante ruang di atas lapangan.

Sejauh ini, pilihan Tuchel untuk menduetkan Kovacic dan Kante terbilang sukses. Laga melawan Southampton dan United bisa menjadi contoh bagaimana kombinasi mereka berhasil menghentikan lawan.

Di atas lapangan, keduanya nyaris selalu berada dalam posisi berdekatan. Hal ini dilakukan apabila ada salah satu dari mereka gagal memenangi perebutan bola, masih ada pemain lain yang mampu memberikan lapisan tambahan.

Hal paling membanggakan dari perubahan ini adalah minimnya dribel lawan di sepertiga akhir daerah permainan Chelsea. Dalam dua laga tersebut, lawan hanya mampu menciptakan rata-rata 5,5 dribel di daerah mereka berbanding 8,8 dribel dari lima laga sebelumnya.

Catatan Chelsea juga membaik dalam hal pemulihan penguasaan bola atau ball recovery. Dalam dua pertandingan tersebut, Kovacic dan Kante mencatat total 46 ball recovery atau 23 ball recovery per pertandingan.

Sebagai perbandingan, angka tersebut di atas rata-rata saat Kovacic dan Jorginho dimainkan bersama. Saat bermain bersama, keduanya tercatat hanya mampu melakukan 14,4 ball recovery per pertandingan.

Kombinasi Kovacic dan Kante di tengah membuat opsi serangan lawan semakin sedikit. Pada akhirnya, lawan semakin kesulitan masuk ke kotak penalti Chelsea

Jika catatan dua pertandingan terakhir di rata-rata, hanya ada 9,5 sentuhan dari lawan yang berhasil masuk ke kotak penalti mereka. Sebagai perbandingan, dalam lima pertandingan sebelumnya, rata-rata lawan berhasil menyentuh bola 11,4 kali di kotak penalti Chelsea.

Keberadaan Kante membuat Chelsea semakin berkembang. Namun demikian, perubahan ini tidak sesimpel yang dibayangkan. Liam Twomey memaparkan di The Athletic bahwa sistem ini hanya manjur untuk lawan yang mengandalkan satu individu tertentu sebagai kunci serangan.

Melihat praktik di atas lapangan, pola ini tidak bisa dilakukan ketika menghadapi lawan yang mengandalkan umpan panjang atau bermain dalam kolektivitas tinggi. Menghadapi lawan dengan gaya seperti itu, rasanya Tuchel perlu kembali melakukan improvisasi.