Casey Stoney dan Jalan Panjang Sepak Bola Perempuan Manchester United

Ilustrasi: Arif Utama

Dua musim setelah dibentuk kembali, Manchester United Women memimpin klasemen WSL 2020/21. Di bawah pimpinan Casey Stoney, tim perempuan United tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Empat pekan untuk mendatangkan 21 pemain. Itulah pekerjaan yang harus dituntaskan Casey Stoney di hari pertama masa jabatannya sebagai pelatih dan manajer Manchester United Women pada 8 Juni 2018.

Troli belanjanya kosong-melompong. Check out di bursa transfer tidak semudah check out saat belanja online. Salah mendatangkan orang, timmu yang baru seumur jagung bakal habis tak tersisa.

Kanvas kosong. Begitulah Stoney menyebut apa yang ada di hadapannya saat itu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Yang harus dilakukannya adalah memungut puing-puing reruntuhan, membangunnya kembali, dan memugar.

****

Perang Dunia I menghancurkan hampir segalanya, termasuk Manchester United. Old Trafford hancur berantakan, kehancurannya membuat orang-orang menerka tak akan ada lagi yang bakal hidup di balik puing-puing tersebut.

Ternyata Sir Matt Busby muncul dari balik reruntuhan itu. Entah dengan kekuatan apa ia berhasil memungut apa yang tersisa dan membangun kembali Old Trafford. Lalu yang kita kenal adalah Manchester United yang seperti sekarang.

Akan tetapi, bukan itu yang terjadi pada sepak bola perempuan di Inggris. Perang Dunia I membuka pintu bagi perempuan-perempuan Inggris untuk mulai berkenalan dengan sepak bola. Di zaman itu, sepak bola adalah olahraga yang dimainkan oleh pekerja-pekerja pabrik. Sebagian besar pabrik pasti memiliki tim sepak bolanya sendiri untuk berlaga di berbagai kompetisi.

Perang mengubah segalanya. Pria-pria yang merupakan pesepak bola dan pekerja pabrik itu harus mengangkat senjata ke medan perang. Liga Inggris dan Piala FA dihentikan sejak edisi 1915 hingga 1919 karena klub-klub didorong untuk mengirim para pemainnya mengikuti wajib militer pada 1916. Untuk sementara, sepak bola terhenti.

Suatu waktu pada 1916, pekerja perempuan pabrik peluru Ulverston di Cumbria terlihat bermain sepak bola. Apa yang mereka lakukan di lapangan persis seperti yang dilakukan para pesepak bola pria. Lawan tim Ulverston adalah satu tim yang diisi oleh berbagai pemain dari seantero Inggris. 

Sebelumnya, pabrik-pabrik di Inggris--terutama pabrik peluru dan senjata--didominasi oleh pekerja pria. Namun, ya, itu tadi. Perang meletus. Untuk mendukung negaranya di Perang Dunia I, para perempuan Inggris tersebut mulai bekerja di pabrik peluru. Percuma punya tentara kalau tidak ada yang memproduksi peluru, bukan?

Laga sepak bola pun dimainkan oleh para perempuan di era tersebut. Tujuannya adalah penggalangan dana untuk pengobatan dan perawatan para tentara yang terluka di medan perang. Tentu saja Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) dan pers mendukung kegiatan ini. Toh, perang membutuhkan gelontoran duit.

Pada September 1917, tim-tim perempuan yang mulai menjamur di Inggris menggagas liga nasional bertajuk Munitionettes Cup, finalnya dihelat pada Mei 1918. Salah besar jika laga itu sepi peminat. Partai puncak yang berlangsung di Ayresome Park, Middlesbrough, dihadiri oleh 22.000 orang penonton.

Pertandingan itu tak menjadi satu-satunya laga yang ramai penonton. Ambil contoh laga Boxing Day yang dihelat pada 1917. Setidaknya ada 10.000 orang penonton yang hadir ke stadion. Duel tersebut sukses besar. Uang senilai 600 poundsterling yang sekarang setara dengan 40.000 poundsterling dikumpulkan dan disumbangkan seluruhnya ke The Moor Park V.A.D. Hospital.

Lapangan bergemuruh lagi. Tim perempuan dari kota-kota industri seperti Glasgow, Newcastle, dan Coventry membangunkan sepak bola dari hiatus. Olahraga kelas pekerja itu tak mati, bahkan saat perang tengah berkecamuk.

Ketika semuanya sedang berjalan lancar, pukulan telak datang dari pemerintah. Ya, begitulah. Cari masalah saja. Pada 1919 pemerintah Inggris merestorasi Undang-undang Praktik Pra-perang. Akibatnya, para pekerja perempuan dipaksa untuk meninggalkan pabrik tempat mereka bekerja. 

Apa jadinya? Tentu saja tim-tim sepak bola perempuan hancur berantakan.

Salah satu tim perempuan saat itu, Dick Kerr’s Ladies, tak mau tinggal diam. Tim ini berasal dari pabrik lokomotif Dick, Kerr and Co yang terletak di Preston. Mereka adalah tim tangguh di era tersebut. Alfred Frankland yang merupakan manajer tim mendorong pemilik pabrik untuk menjamin para pemainnya tak kehilangan pekerjaan.

Dick Kerr’s Ladies menggeliat walau situasi sedang genting. Dukungan keuangan dari perusahaan membuat Frankland dan timnya memiliki ruang. Frankland bahkan berhasil merekrut para pemain terbaik dari seantero Inggris dengan imbalan pekerjaan tetap.

Dick Kerr’s Ladies muncul sebagai tim raksasa yang diperkuat oleh para pemain bintang seperti winger Lily Parr, kiper Annie Hastie, dan kapten Alice Woods. Win-win solution. Dick Kerr’s Ladies punya pemain kelas wahid, para pemain terlepas dari ancaman pengangguran.

Pada akhir April hingga awal Mei 1920, Dick Kerr’s turun arena empat kali melawan dari tim All Star Prancis. Hasilnya adalah dua kemenangan serta masing-masing satu imbang dan kekalahan. Kekalahan tersebut didapat pada laga terakhir di Stamford Bridge dengan skor 1-2.

Terlepas dari kekalahan tersebut, jika diakumulasikan setidaknya ada 50.000 penonton yang menyaksikan langsung keempat duel ini. Bahkan laga terakhir juga diliput oleh Pathe News sehingga dapat menjangkau penonton yang lebih luas.

Pada akhir 1920, Dick Kerr’s berhasil menggaet 53.000 penonton untuk menyaksikan laga mereka secara langsung di Goodison Park. Di tengah segala gejolak setelah perang yang mewujud dalam trauma psikologi, meroketnya tingkat pengangguran, dan kerusuhan rasial, perempuan-perempuan kelas pekerja ini memantik sukacita di atas lapangan bola Inggris.

Gerakan konservatif mulai memuncak pada 1921. Para perempuan didesak untuk kembali ke rumah dan menjalankan peran mereka di dapur, persis seperti sebelum perang. Dick Kerr’s Ladies lantas menjadi antitesis di tengah gelombang konservatif Inggris. Mereka peduli setan memakai celana pendek (coba tengok dokumentasi pakaian perempuan Inggris pada zaman itu), merokok, dan berambut pendek.

Militer gagal, pemerintah tak berkutik, golongan konservatif mencak-mencak, sementara para pesepak bola perempuan menuai popularitas dan berhasil mengumpulkan tumpukan poundsterling untuk amal. Itu belum ditambah dengan laga amal untuk mendukung aksi mogok para pekerja tambang batu bara pada 1921.

Kaum konservatif Inggris kalang-kabut, mereka geram bukan kepalang. Untuk menghentikan perlawanan yang didukung oleh sepak bola perempuan, mereka menggaet sejumlah media konservatif untuk merilis berita-berita tendensius. Inti tulisan-tulisan itu satu: Perempuan tak pantas bermain sepak bola.

Tak tanggung-tanggung, segala macam tulisan tersebut juga didukung oleh klaim para dokter yang menyebut bahwa sepak bola tidak baik untuk kesehatan wanita, terutama soal keharusan mereka di zaman itu untuk menjadi ibu. Tepat pada 5 Desember 1921, FA merilis larangan terhadap sepak bola perempuan Inggris.

Perlawanan tak berhenti. Tim-tim perempuan Inggris malah bersatu membentuk Asosiasi Sepak Bola Perempuan Inggris (ELFA). Tujuannya dua: Menjaga agar sepak bola perempuan Inggris tak punah dan meneruskan gerakan-gerakan amal dan kemanusiaan mereka.

Meski demikian, larangan FA semakin mempersempit ruang sepak bola perempuan di Inggris. Jika awalnya mereka bisa bertanding di stadion besar, kini mereka mesti menyingkir dan hidup di bawah tekanan.

Atas desakan UEFA, FA akhirnya mencabut larangan tersebut pada 1971. Para perempuan kini bebas bersepak bola di Tanah Inggris. Akan tetapi, hidup di balik bayang-bayang dan anonimitas selama 50 tahun membuat sepak bola perempuan Inggris berjalan begitu lambat.

****

Ketika sepak bola perempuan di Inggris merangkak mendapatkan tempat, sepak bola perempuan Manchester United tetap tertidur. Tentu saja kondisi ironis karena selama dua dekade lebih, setidaknya hingga Sir Alex Ferguson pensiun pada 2013, United berjaya.

Sebenarnya pada 2001 United sudah mencoba membentuk tim perempuan lewat kerja sama dengan Manchester United Supporters Club Ladies. Ini merupakan kelompok suporter yang pada 1970 dikenal sebagai tim sepak bola perempuan meski tidak resmi. Pada 1989, mereka juga menjadi anggota pendiri Liga Perempuan Regional Barat Laut.

Apes, pada 2005 tim perempuan mereka dibubarkan oleh bos besar alias Keluarga Glazer. Alasannya karena sepak bola perempuan tak masuk hitungan bisnis United.

Meski terlibat dalam pengembangan sepak bola perempuan lewat yayasan mereka, 'Iblis Merah' tak pernah memiliki tim perempuan sendiri sejak 2005 itu. Sampai akhirnya, Ed Woodward mengumumkan pada 2018 bahwa Manchester United Women bangun dari tidur panjangnya.

Tim perempuan United memulai langkah mereka di kompetisi level kedua, WSL2. Casey Stoney ditunjuk sebagai pelatih enam pekan sebelum kompetisi 2018/19 dimulai. Itu berarti, ia hanya punya waktu selambat-lambatnya empat pekan untuk mengisi kanvas kosong tadi.

Dua musim setelah bangkit dari tidur panjangnya, United bertahan. Mereka tak sekadar promosi ke WSL, tetapi menjadi pemuncak sementara setelah melakoni tujuh laga musim 2020/21. Lima kemenangan dan dua hasil imbang mengganjar pasukan Stoney dengan 17 poin, terpaut satu poin dari runner up sementara, Arsenal.

Pertanyaannya tentu satu. Mengapa United yang notabene merupakan anak bawang tersebut bisa bertahan? Terlepas dari pengalamannya sebagai player-manager di Chelsea, Stoney bukan pelatih dengan segudang pengalaman.

“Yang saya kerjakan di sini adalah membangun tim dari bawah dengan mendatangkan pemain-pemain yang saya inginkan. Saya diizinkan untuk membangun filosofi yang saya percayai, menciptakan ekosistem yang saya yakini dapat mendukung sepak bola perempuan Manchester United,” papar Stoney.

Dibandingkan dengan klub sepak bola Inggris lainnya, United memang berjalan lebih lambat. Kritik berdatangan dari sana-sini, termasuk dari bintang Timnas AS dan kampiun Piala Dunia, Megan Rapinoe.

Namun, Stoney tahu cara mendiamkan suara-suara bising itu. Ketimbang sibuk berfilosofi di luar sana, ia lebih suka meracik taktik dan strategi yang pada akhirnya membuat United tak bisa dipandang sebelah mata meski terlambat menjejak ke lapangan.

Rumus pertama yang digunakan oleh Stoney adalah menggabungkan para pemain berpengalaman dan pemain muda. Sejumlah penggawa yang sudah bergabung dengan United Women sebelum dibubarkan pada 2005 kembali dipanggil. Millie Turner, Ella Toone, dan Kirsty Hanson yang saat remaja menjadi penggawa United Women merumput kembali di Leigh Sports Village.

Katie Zelem, yang memenangi gelar beruntun bersama Liverpool sebelum bergabung menikmati gelar juara Serie A bersama Juventus, bersatu kembali dengan klub masa mudanya. Pengalaman, kematangan, dan kemampuan mumpuni membuat Zelem didapuk sebagai kapten United Women.

Para jebolan akademi United yang telah merantau ke berbagai klub tersebut lantas dipadukan dengan para pemain bintang. Tak tanggung-tanggung, United sudah menggelegar sejak bursa transfer teranyar dengan mendatangkan dua kampiun Piala Dunia, Tobin Heath dan Christen Press.

Siobhan Chamberlain yang memutuskan untuk pensiun pada September 2020 mengesampingkan proyek raksasa tim-tim WSL dan memilih bergabung dengan United yang pada 2018/19 masih berkompetisi di level kedua. Bagi penjaga gawang kawakan itu, keberadaan Stoney saja sudah cukup untuk meyakinkannya bahwa ia tidak sedang berada di klub yang berjalan setengah-setengah. 

Tak sampai di situ, pemain-pemain sekaliber Jackie Groenen dan Ona Battle pun didatangkan. Chamberlain menilai bahwa keberadaan para pemain bintang dari berbagai negara juga penting buat jebolan akademi yang sempat melihat klubnya itu menutup jalan buat mereka.

Pembicaraan tentang morel memang tak jarang menjemukan. Namun, dengan melindungi morel para perempuan yang sempat didepak dari rumah mereka sendiri inilah Stoney membangun United Women.

Dengan kedua rumus tersebut Stoney memimpin timnya dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi pada musim ini. Laga derbi di pentas liga melawan Manchester City pada Sabtu (14/11/2020) adalah buktinya. Pasukan Stoney sudah tertinggal 0-2 saat turun minum.

Namun, situasi berbalik di babak kedua. Heath mengubah keadaan lewat gol tricky pada menit 54. Dua puluh menit berselang, Hanson menyamakan kedudukan. United memang gagal menang, tetapi berhasil lepas dari jerat kekalahan yang sudah ada di depan mata.

Comeback itu muncul akibat keberanian Stoney mengutak-atik taktiknya pada saat genting. Keunggulan 2-0 pada 45 menit pertama membuat orang-orang memaklumi mengapa Gareth Taylor--pelatih City Women--tidak melakukan perubahan. Masalahnya, ketika United mulai menemukan celah, Taylor malah bertindak kepalang reaktif.

Ketika duet Hanson dan Hayley Ladd mulai berhasil meredam Sam Mewis--nyawa permainan City di babak pertama--dan Lucy Staniforth yang masuk sebagai pemain pengganti yang membuat United jadi lebih mematikan saat transisi bertahan menyerang, Taylor tidak berbuat banyak.

Bahkan keputusan Taylor untuk memasukkan Caroline Weir baru pada menit ke 85 dinilai cukup terlambat. Seharusnya saat United sudah memperkecil kedudukan 1-2, Taylor merespons dengan memasukkan Weir karena dalam lima menit waktu bermainnya penggawa yang satu ini acap berhasil menembus lini tengah United.

Dalam tulisannya untuk The Athletic, Katie Whyatt menyebut bahwa rotasi dan keputusan tepat Stoney untuk memasukkan pemain yang nyatanya menjadi gamechanger adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai pelatih atas ketertinggalan tim di babak pertama.

Menurut Whyatt dan siapa pun yang berjibaku dengan sepak bola perempuan Inggris, Stoney seperti itulah yang mereka kenal sejak dulu. Casey Stoney seperti itu pulalah yang kini memimpin Manchester United Women bangkit dari reruntuhan.