Chances

Foto: @ManUtd.

Manchester United mengalami sedikit perbaikan aspek permainan ketika sedang tidak menguasai bola. Namun, bagaimana dengan situasi ketika mereka menguasai bola?

“As time goes on, you'll understand. What lasts, lasts; what doesn't, doesn't. Time solves most things. And what time can't solve, you have to solve yourself.”

Kebanyakan dari kita selalu berhitung dengan waktu tanpa pernah memikirkan ironi yang mengiringinya: Waktu tidak akan pernah memperhitungkan kita. Ia akan berlalu, tak peduli urusanmu dengan segala tetek-bengek dalam hidup sudah selesai atau belum.

Tak peduli seberapa muda kamu, atau seberapa banyak hal yang kamu dapatkan pada masa-masamu bisa melangkah, takkan ada yang bisa mengubah kapan kamu akan mati. Sedemikian menyebalkannya waktu sampai-sampai kamu merasa bahwa kamu cuma meminjam hidup darinya.

Persoalan tentang waktu ini yang kemudian membuat Johan Cruyff, filsuf berkedok pemain/pelatih sepak bola itu, menginterpretasikannya sedemikian rupa untuk menjelaskan falsafah permainannya. Seperti halnya kita, Cruyff merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan waktu, bukannya sebaliknya.

Permainan Cruyff, yang tidak hanya menekankan pada kolektivitas dan penguasaan bola, tetapi juga pemahaman akan ruang, amat menggantungkan diri pada waktu. Menurutnya, seorang pemain harus datang pada momen yang tepat, tidak terlambat, tidak terlalu cepat.

Namun, bukankah itu yang paling rumit daripada waktu? Kadang, kita tidak mengetahui kapan momen yang tepat. Seringnya, kita bertemu sesuatu yang tepat pada saat yang salah atau sebaliknya. Di lain kesempatan, kita menyadari bahwa momennya ternyata sudah lewat.

Di dalam permainan sepak bola, menyesuaikan diri dengan timing yang tepat adalah perkara yang tidak kalah rumit.

***

Manchester United datang ke Carrow Road, markas Norwich City, Sabtu (11/12/2021), dengan modal yang lumayan bagus. Semenjak suksesi kursi kepelatihan, mereka meraih empat kemenangan dan dua hasil imbang dalam enam pertandingan. Ralf Rangnick, sang pelatih interim, masih melanjutkan pekerjaannya membenahi pola pikir (dan gaya main) tim secara perlahan.

Dalam sejumlah wawancaranya, baik sebelum atau sesudah pertandingan, pria 63 tahun itu berulang kali menekankan pentingnya memegang kontrol sebuah pertandingan. Ketika ia berbicara soal kontrol, ia sedang berbicara lebih dari sekadar memenangi penguasaan bola.

Terlebih, gaya sepak bola Rangnick adalah gaya sepak bola direct. Berulang kali ia mengeluhkan kebiasaan para pemain United melakukan satu atau dua operan lebih banyak sebelum mengirimnya ke depan. Artinya, ketimbang menekankan sirkulasi bola, Rangnick lebih suka melihat timnya melakukan progresi bola.

Dengan menekankan pada aspek progresif, kontrol yang dimaksud oleh Rangnick boleh jadi tidak melulu bicara memenangi penguasaan bola. Namun, yang lebih penting daripada itu, para pemain United memenangi beragam aspek dan fase permainan di setiap jengkal lapangan; membuat laga berjalan ke arah yang mereka inginkan, bukan lawan.

Lewat pemahaman itu, Rangnick percaya bahwa permainan timnya mesti berjalan seimbang, baik ketika menguasai bola maupun ketika tidak menguasai bola. Inilah mengapa, pressing menjadi aspek penting dalam sepak bolanya. Ia ingin timnya bermain dengan intensitas tinggi sehingga lawan tidak nyaman menguasai bola.

Bagi Rangnick, itu adalah perkara mendasar. Maka, yang pertama-tama ia benahi dari United—setelah melihat banyaknya gol yang bersarang ke gawang mereka sebelum laga melawan Crystal Palace di Premier League—adalah aspek permainan tim ketika tidak sedang menguasai bola. Ini, tentu saja, termasuk menginstruksikan (dan melatih) timnya cara melakukan pressing kolektif dan menjaga kerapatan.

Hasilnya sejauh ini sudah terlihat: Dari tiga pertandingan di bawah arahan Rangnick, United hanya kebobolan 1 gol. Yang paling kentara, terutama pada dua pertandingan di Premier League, para pemain United sudah bisa mempersempit ruang gerak lawan ketika mereka tidak sedang menguasai bola.

Namun, Rangnick masih belum puas. Raut wajahnya, yang datar dan menyisakan sedikit rasa khawatir pada konferensi pers setelah pertandingan melawan Norwich itu, lebih mirip seorang dokter yang baru saja melakukan sebuah proses bedah pasien dan menghadapi banyak pertanyaan—mengingat pasien yang ia bedah adalah orang penting.

Rangnick lantas membeberkan beberapa hal. Ketika ia berbicara, ia lebih mirip seperti seorang analis yang menelanjangi kekuatan dan kelemahan sebuah tim dari sisi luar. Ini membuat perkataannya terasa lebih jujur dan tidak dibubuhi berbagai macam pemanis. Satu hal yang menjadi kesimpulannya dari laga melawan Norwich itu adalah: “Kami mendapatkan clean sheet lagi, tapi masih perlu berbagai perbaikan.”

Pria asal Jerman itu paham bahwa membenahi permainan United (terlebih apabila ia ingin ‘Iblis Merah’ bermain seperti keinginannya) tidak bisa berjalan dalam satu atau dua pekan. Ketika aspek permainan dari sisi ‘tidak menguasai bola’ sudah lebih baik, PR-nya sekarang adalah membenahi permainan dari sisi ‘ketika menguasai bola’.

Di sinilah pembicaraan mengenai timing yang tepat, seperti yang kita bahas di awal tulisan ini, bisa masuk. Di dalam sepak bola, sebuah momen bisa diciptakan dan bisa muncul begitu saja.

Ketika Cruyff berbicara soal ruang dan waktu, serta kolektivitas sebuah tim, dia menekankan pentingnya kerja sama pemain (baik yang sedang menguasai maupun sedang menguasai bola) untuk menciptakan ruang. Ketika ruang itu muncul, penting bagi pemain yang tidak menguasai bola untuk masuk ke ruang tersebut pada saat yang tepat—tidak terlalu cepat, tidak pula terlambat.

Hal yang sama juga ia tekankan kepada pemain yang menguasai bola, yakni bagaimana caranya mengoper bola kepada pemain yang masuk ke ruang itu pada saat yang tepat—tidak terlalu cepat, tidak pula terlambat.

Dari situlah kita mendapatkan sebuah momen, sebuah chances, kesempatan yang datang pada saat yang tepat. Sama seperti halnya berbagai kejadian dalam hidup, chances acap kali muncul karena kita sendiri yang menciptakannya atau muncul tanpa disengaja—tetapi hadir akibat beragam rangkaian kejadian. Yang sering terjadi juga, ia juga bisa lenyap dalam sekejap ketika kita tidak mampu memanfaatkannya.

Buat Rangnick dan United, persoalan timing itulah yang jadi PR. Tanpa timing yang tepat, sebuah chances sulit untuk tercipta. Tanpa timing yang tepat pula, sebuah chances yang sudah muncul tersia-siakan begitu saja.

Pada pertandingan melawan Norwich, ada sejumlah kejadian di mana tempo antara satu pemain United dengan pemain United lainnya tak sama. Boleh jadi, mereka masih bingung untuk menyesuaikan diri mengingat intensitas permainan begitu tinggi, sehingga tempo satu sama lain belum sinkron.

Ambil contoh bagaimana Marcus Rashford dan Mason Greenwood ketika melakukan counter. Akun analisis Utdarena, misalnya, menyoroti bagaimana operan Greenwood pada suatu ketika terlalu pelan sehingga Rashford, yang sudah berlari kencang, mesti memperlambat larinya untuk turun dan mendapatkan bola itu. Alhasil, momentum pun hilang.

Pada kesempatan lain, giliran Rashford yang memberikan operan terlalu kencang sehingga Greenwood harus menambah kecepatan larinya untuk mengejar bola. Apa pun alasannya, kejadian tak sinkron seperti ini menunjukkan timing yang buruk antara satu pemain dengan pemain lainnya.

Contoh lain adalah ketika Cristiano Ronaldo, pada sebuah serangan balik di babak pertama, menemukan ruang di sisi kiri pertahanan Norwich. Ia kemudian berlari untuk menerima umpan terobosan dari Scott McTominay. Namun, karena sentuhan pertamanya terhadap bola terlalu berat, bola pun melebar, membuat lawan keburu menutup ruang.

Ronaldo memang masih bisa memperbaikinya dengan mengecoh sang lawan dan melepaskan tembakan dengan kaki sebelah dalam. Namun, ia jelas mendapatkan peluang yang lebih baik ketika ruang terbuka pada kesempatan pertamanya ketika menerima bola.

Ini baru persoalan timing. Masih ada persoalan lain dalam hal struktur ketika para pemain menguasai bola dan tidak sedang berada dalam fase serangan balik. Rangnick menyebut, pada beberapa laga terakhir, masih ada beberapa kejadian di mana para pemainnya melepas satu atau dua operan lebih banyak atau terlalu banyak mengoper ke belakang dan ke samping. Ini, tentunya, bukan sesuatu yang tak mungkin diasah di sesi latihan.

Dengan pelajaran bagaimana menempatkan posisi ketika berada dalam fase build-up cepat, semestinya Rangnick bisa membenahi problem ini. Toh, ia sendiri mengatakan bahwa dari sisi teknik, para pemain United tidaklah buruk. Terlebih, Rangnick tahu bahwa para pemain bersedia bermain dengan cara yang ia mau.

Bonus

Pada sebuah wawancara, Julian Casablancas mengatakan bahwa membentuk band dengan teman-teman karib yang sudah ia kenal lama adalah ide baik sekaligus ide buruk. Karena kebersamaaan yang sudah terlampau lama itu, bisa jadi ada rasa bosan dan muak—The Beatles saja begitu.

Yang lebih menyebalkan lagi, di tengah rasa bosan dan muak itu, band-nya, The Strokes, masih harus menyelesaikan kewajiban kontrak dengan label. Mereka masih berutang album. Lantas, pada 2012, The Strokes merilis ‘Comedown Machine’ yang serupa dua sisi mata uang: Ada yang memuji, ada yang menyebutnya album yang diproduksi dengan asal-asalan dan malas-malasan.

Namun, dengan manis, Casablancas menyelipkan sebuah tembang retrospektif yang berbicara tentang kesempatan yang sudah lewat tanpa kita mengetahuinya: ‘Chances’. Ketika kesempatan itu berlalu, yang bisa kita lakukan barangkali hanya tertawa getir sembari merasa bodoh bahwa kita, sekali lagi, sudah dipermainkan waktu.