Chelsea vs Manchester United pada Dua Sisi Koin

Foto: Premier League

Ini pertandingan antara si konsisten dan kebalikannya. Apa bisa Manchester United meredam laju kencang Chelsea?

Coba kamu ambil koin logam kemudian lemparkan ke tanah. Bila kamu melihat sisi atas yang mengarah ke langit, itulah Chelsea saat ini. Sementara sisi yang tengkurap menyentuh tanah ialah Manchester United. Ya, begitulah perbandingan keduanya sekarang.

Chelsea tampil superior di lintas kompetisi musim ini. Posisi pertama Premier League mereka duduki, slot ke babak 16 besar Liga Champions juga sudah dikunci. Kemenangan empat gol tanpa balas atas Juventus menjadi bukti superioritas mereka.

Sebaliknya, United terbengkil-bengkil mewujudkan misi yang sama. Di klasemen liga, mereka nyasar di peringkat delapan dan terpisah 12 poin dari Chelsea. Beberapa hasil buruk menjadi dasarnya. Keok 0-5 dari Liverpool, lalu takluk 0-2 di Derbi Manchester, dan terakhir, dibabat Watford 1-4. Rentetan kekalahan yang kemudian membuat United berpisah dengan Ole Gunnar Solskjaer.

Lantas, apa yang bisa United lakukan saat menghadapi Chelsea malam nanti?

Well, United bukannya tanpa peluang sama sekali. Angin segar berembus seiring kehadiran Michael Carrick sebagai caretaker. Apa yang ditunjukkannya saat memimpin Cristiano Ronaldo dkk. Tengah pekan lalu menjadi buktinya. United dibawanya menang 2-0 atas Villarreal sekaligus meraih tiket ke babak 16 besar Liga Champions sejak empat musim terakhir.

Carrick tidak mengubah formasi dasar United. Ia melanjutkan warisan 4-2-3-1 yang intens diusung Solskjaer. Yang membuatnya berbeda adalah pendekatannya. Carrick membenahi build-up serangan yang menjadi salah satu problem laten United.

Sebagai holding midfielder, Carrick memahami vitalnya proses pembangunan serangan sebuah tim. Penataan posisi dan pemanfaatan ruang adalah tumpuan sebelum sampai tahap penyelesaian peluang. Ini jauh dari skema sporadis yang sekadar memanfaatkan teknik individu pemain.

Gol kedua bikinan Jadon Sancho menjadi salah satu bukti build-up sukses United. Diawali dari ball recovery oleh Fred, kemudian ke Scott McTominay, Marcus Rashford, Bruno Fernandes, dan Sancho. Ronaldo juga memainkan peranan penting saat melakukan umpan segitiga dengan Fred dan McTominay. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Ronaldo tidak hanya sekadar target-man yang nangkring di depan doang, tetapi juga masih mampu terlibat dalam proses serangan.

Mekanisme bertahan Carrick juga menarik. Ia mematok format 4-4-2 flat dalam mode defensif. Empat gelandang berdiri sejajar, sedangkan Ronaldo dan Donny van de Beek ditinggalkan di area terdepan. 

Pada beberapa situasi Van de Beek bergantian dengan Fred untuk menyokong lini depan. Ini masuk akal karena eks Ajax Amsterdam itu juga mafhum untuk bermain lebih dalam. Pun dengan Fred yang membuktikan kualitasnya sebagai gelandang box-to-box seperti saat di Shakhtar Donestk. Selain gol kedua, Fred memprakarsai gol pembuka United yang dicetak Ronaldo.

"Fred memainkan peran besar dalam gol pertama. Cristiano menyelesaikannya. Namun, Fred telah melakukan tugasnya dengan luar biasa,” ucap Carrick selepas pertandingan.

Mode bertahan 4-4-2 ini nyatanya sukses membuat jalur serangan Villarreal menjadi pampat. Moi Gomez, Yeremi Pino, dan Arnaut Danjuma misalnya, masing-masing kehilangan penguasaan bola sebanyak tiga kali. Mereka kesulitan menembus sisi tepi karena para full-back United mendapatkan bantuan ekstra dari Sancho dan Anthony Martial. Nama yang disebut pertama layak mendapatkan kredit. Ia mencatatkan 4 tekel sukses, tertinggi di antara seluruh pemain United.

Eh, tetapi itu kan Villarreal, bagaimana kalau musuh yang dihadapi itu Chelsea? Ini yang perlu digarisbawahi. Betul bahwa kehadiran Carrick mampu menambal beberapa kelemahan United di era Solskjaer. Namun, resistensinya masih harus diuji dan Chelsea adalah lawan ideal untuk membuktikan itu.

Yang membuat Chelsea begitu impresif adalah kesinambungan Thomas Tuchel dengan para pemainnya. Personel-personel The Blues sudah paham betul dengan sistem Tuchel meski itu cenderung lebih rumit. Kerapatan antarpemain serta pemosisian dijaga secara kontinu. Dari sana mereka bisa memanfaatkan ruang kosong dengan maksimal.

Nah, format 3-4-3 menjadi wadah Tuchel demi mewujudkan keunggulan jumlah pemain per lini. Yang paling kentara adalah pemfungsian peran wide centre-back yang kerap diemban Cesar Azpilicueta. Meski berposisi sebagai bek tengah-kanan, ia diberi kebebasan untuk naik ke depan sehingga membuat sisi kanan Chelsea overload. Dalam bebeapa kesempatan Antonio Ruediger juga memainkan peran yang sama di tepi kiri. 

Pemosisian ini pula yang membuat para wing-back begitu produktif. Reece James misalnya, sukses menjadi topskorer sementara Chelsea dengan 4 golnya. Dalam mode menyerang, ia dan Ben Chilwell akan maju ke garis depan sehingga membentuk formasi 3-2-5. Para bek sayap ini berfungsi sebagai penyerang tambahan sekaligus memaksimalkan fluiditas trio lini depan.

Pergerakan wing-back yang melebar ini dikompensasi dengan holding midfielder yang mumpuni. Tuchel memiliki, N’Golo Kante dan Jorginho, sang maestro di posisinya. Duet penjagal dan pengalir bola adalah kombinasi sempurna untuk skema positional play yang Tuchel anut.

United sedikit memiliki harapan karena Kante bakal absen usai mengalami cedera di tengah laga versus Juventus, pun dengan Mateo Kovacic yang dibekap hamstring. Besar kemungkinan Tuchel akan menduetkan Jorginho dengan Ruben Loftus-Cheek di area sentral. Ini sebenarnya cukup riskan karena pemain 25 tahun itu relatif lemah dalam aksi bertahan. Ia bahkan belum pernah mencatatkan sebiji intersep dari 269 menit pementasannya di Premier League musim ini.

Tumbangnya Chilwell tidak akan berpengaruh signifikan. Chelsea masih memiliki Marcos Alonso untuk mengisi pos wing-back kiri. Ketimbang Chilwell, eks Fiorentina itu bahkan lebih rajin untuk melakoni aksi defensif. Rata-rata tekel dan intersepnya menyentuh 1,8 per laga. Bandingkan dengan Chilwell yang mengemas rerata satu di tiap pertandingan.

United sebaliknya, mereka cukup ketar-ketir karena kehilangan Harry Maguire lantaran suspensi. Tak ada pilihan lagi selain memasang Eric Bailly dan Victor Lindeloef di pos bek sentral. Bila menilik satu sektor United yang paling rawan, di sanalah jawabannya. Tanpa Maguire, “Iblis Merah” bakal kesulitan melakukan build-up serangan dari lini belakang. Itu belum ditambah dengan buruknya Lindeloef dan juga Bailly dalam mengambil keputusan. Bukan sekali-dua kali mereka kerap bingung kapan menjaga kedalaman dan kapan mesti melakukan pressing agresif. 

Besar kemungkinan United akan memakai tepi kiri sebagai jalur serangan, sebagaimana saat mengalahkan Villarreal. Alex Telles tentu lebih piawai untuk aksi ofensif ketimbang Aaron Wan-Bissaka. Area operasinya di sisi kiri bisa membantu Marcus Rashford merangsek half-space, pun demikian dengan Sancho dari tepi sebaliknya. Keduanya bisa menggunakan kecepatan untuk melewati kawalan Ruediger dan Thiago Silva. 


Secara permainan, United bisa jadi bermain lebih direct. Ketiadaan Maguire menjadi salah satu alasannya. Lagi pula, cukup riskan pula andai mereka meladeni gaya main Chelsea yang konstan merotasi pergerakan pemainnya. Ketimbang demikian, langkah paling efektif adalah bermain lebih dalam untuk mengantisipasi ancaman dari dari sayap-sayap Chelsea sambil menunggu serangan balik cepat.

Chelsea, seperti biasa, akan menguasai bola selama mungkin dan menggunakan keserbabisaan para pemainnya dalam memanfaatkan peluang di ruang kosong. Di rongga-rongga antarlini inilah kemungkinan petaka United akan muncul. Ya, mungkin saja satu gol The Blues lainnya muncul lewat set-piece.