Dari St. Petersburg, Rusia Terhubung dengan Dunia

Foto: Wikipedia.

Saint Petersburg adalah bukti bahwa manusia tak punya naluri untuk berdiam diri. Mereka ingin bergerak, menginjak tanah gembur, dan berjumpa dengan kawan baru walau sesekali mesti berdampingan dengan kekalahan dan wajah sayu.

Sepak bola Rusia berawal dari kekalahan di Saint Petersburg. Pada 1897 tim lokal bernama Ostrov yang diperkuat oleh orang-orang Inggris memenangi pertandingan melawan tim asal Rusia, Petrograd. Laga yang digelar di salah satu pulau yang masuk wilayah Saint Petersburg, Vassilevskiy, itu berakhir dengan kemenangan 6-0 untuk Ostrov.

Bagi orang-orang Rusia, pertandingan itu penanda awal sepak bola di tanah mereka. Barangkali olahraga si kulit bundar sudah ada sebelumnya. Namun, itu menjadi pertama kalinya tim Rusia berlaga melawan tim Eropa. Laga itu menjadi spesial karena menjadi penanda bahwa mimpi kaisar agung mereka bukan omong kosong.

Tsar Peter Agung adalah sebenar-benarnya manusia. Ia menginginkan keterhubungan, membuat Rusia--negeri yang dipimpinnya--terhubung dengan Eropa. Masalahnya, saat itu Rusia belum memiliki akses ke laut.

Sisi utara Swedia yang berbatasan dengan Laut Baltik menjadi target pertamanya untuk mewujudkan ambisi itu. Sebenarnya ujung selatan Swedia juga berbatasan laut, tepatnya Laut Hitam. Akan tetapi, kekuasaan Kekaisaran Turki jadi penghalang.

Pada Agustus 1700 Tsar Peter Agung menyatakan perang kepada Swedia. Butuh sekitar dua tahun untuk memaksa Swedia mundur dari Danau Ladoga. Bagi Rusia, danau ini begitu penting karena dihubungkan Sungai Neva ke Laut Baltik. Sekali lagi Rusia memukul Swedia mundur dari benteng kecil yang mereka bangun di Sungai Neva. Ketika jatuh ke tangan Rusia, benteng tersebut berubah nama menjadi Shilssel'sburg.

Rusia berhasil menguasai Swedia sepenuhnya pada 1703. Ambisi Tsar Peter Agung tidak bertepuk sebelah tangan. Ia membangun Benteng Peter-Paul di muara Sungai Neva, wilayah perairan yang menjadi hulu ambisinya. Sejak 27 Mei 1703 yang merupakan hari kelahiran St. Petersburg, Rusia menemukan jalan ke Eropa.

Para pemberani gemar bergaul dengan kecepatan. Orang-orang St. Petersburg tak mau tinggal dalam titik yang sama. Mereka bergerak cepat, mempersiapkan dan memantaskan diri untuk menjadi ibu kota Rusia. Pembangunan di sana-sini dijalankan. Mulai dari kanal air hingga fondasi-fondasi yang menjadi tonggak penopang gereja, rumah sakit, dan kantor pemerintahan ditegakkan sekokoh-kokohnya. Kota ini menjadi yang elok di seantero Rusia.

Awalnya Eropa yang begitu dikagumi sang tsar adalah kawan karib. Namun, satu-satunya hal yang pasti di muka Bumi adalah ketidakpastian. Mereka yang tadinya berkawan, malih rupa menjadi seteru. 

Kegigihan St Petersburg untuk menjadi yang terbesar membuat entah berapa banyak negara Eropa memperebutkannya. Charles XII, jenderal kancil Napoleon Bonaparte, hingga si gila Adofl Hitler, mereka adalah para penguasa dan panglima yang mengangkat senjata untuk menundukkan St. Petersburg. 

Namun, Rusia adalah Rusia. Mereka barangkali menjadi satu-satunya negara yang tersenyum bangga saat dicap sebagai tempat paling brutal dan sembrono. 

Rusia adalah negeri yang hidup karena kegigihan untuk menaklukkan ketakutan mereka sendiri. Sudah sejak lampau Rusia disebut sebagai surganya beruang. Konon, tempat ini memiliki populasi beruang terbesar di seluruh dunia. Siapa yang tak ngeri ketika berhadapan dengan hewan yang satu ini? 

Namun, Rusia malah merawat tradisi menaklukkan beruang sebagai jalan untuk jadi yang terhebat. Dengan bertelanjang dada, Vladimir Putin yang merupakan mantan agen KBI itu, menunggangi beruang di alam terbuka. Sepintas aksi itu terlihat konyol. Namun, itu adalah cara Putin menegaskan bahwa ia sah menjadi manusia paling berkuasa di Rusia karena sanggup menaklukkan ketakutan.

Pun demikian dengan apa yang terjadi ketika para panglima bergantian memperebutkan Rusia. Nyali yang entah datang dari mana membuat Rusia mampu merebut wilayah mereka sendiri bahkan ketika Nazi mengepung pada Perang Dunia II selama 900 hari.

Peperangan-peperangan yang melibatkan Rusia seperti menegaskan genesis tanah yang mengerikan. Namun, cerita Rusia tidak melulu tentang peperangan. Sejarah Rusia juga dihiasi dengan kisah-kisah yang mendobrak kewajaran. 

Dari salah satu kotanya, Samara, Rusia sampai ke luar angkasa. Di sana, program luar angkasa Uni Soviet dipusatkan dan dari situ pulalah Yuri Alekseyevich Gagarin menjadi manusia pertama yang sampai ke luar angkasa.

Orang-orang Rusia juga pernah memilih langkah yang tak wajar. Mereka sepakat untuk mencairkan Perang Dingin dengan Amerika Serikat. Kala itu, pemimpin Rusia, Nikita Kruschev, bertemu dengan JFK Kennedy di Wina, Austria. 

Hidup damai sebagai dua kawan baru. Itulah ikrar yang dipegang Rusia dan Amerika Serikat. Akan tetapi, Rusia tetap negeri para petarung. Siapa pun yang berulah akan disikat. Lantas, itu yang terjadi ketika Ronald Reagan kembali mengambil kebijakan ofensif pada 1980-an.

Hidup sebagai orang Rusia adalah perjalanan menuju kejayaan dan kemasyhuran. Di tempat itu juga menguar tragedi dan kesedihan. Namun, Rusia tidak pernah berlama-lama tinggal dalam kekalahan. 

Kekalahan telak di tangan orang-orang Inggris membidani kelahiran sepak bola Rusia, termasuk Zenit St. Petersburg. Sembilan puluh tiga tahun setelah kelahiran Zenit, Rusia menjadi tuan rumah pesta sepak bola sejagat.

Rusia tidak perlu melewati kualifikasi untuk bisa bermain di putaran final Piala Dunia 2018 karena berstatus sebagai tuan rumah. Apes, lima uji tanding sebagai bentuk persiapan malah berkisah tentang Timnas Rusia yang babak-belur. 

Hanya satu kemenangan yang direngkuh, itu pun kala bertanding melawan klub lokal, Dynamo Moskva. Selebihnya, mereka kalah dari Brasil, Prancis, dan Austria, serta ditahan imbang oleh Turki. Dengan catatan begini, siapa yang mau menjagokan Rusia?

Meski demikian, segalanya berubah di laga pembuka. Kemenangan 5-0 atas Arab Saudi membuat orang-orang menelan ludah melihat ketangguhan Rusia. Pada laga kedua menghadapi Mesir, Rusia menang dengan skor 3-1. 

Orang-orang St. Petersburg merawat kemenangan itu dengan cara yang asyik. Mereka memberi penghormatan kepada sang pelatih, Stanislav Cherchesov, dengan membuat mural di sudut kota St. Petersburg. Pada mural yang dibuat oleh seniman lokal, Arytom Burzh, itu terlihat Cherchesov sedang tersenyum sambil memberi gestur huruf L dengan tangan kanannya. 

Dua kemenangan bukan akhir perjalanan Rusia. Mereka bahkan berhasil menembus perempat final dengan mengalahkan Spanyol di babak 16 besar. Laga melawan Kroasia merupakan yang terakhir di Piala Dunia kali itu. Namun, keberhasilan Rusia menembus perempat final menegaskan bahwa bangsa ini memang bukan rumah bagi para pengecut.

Lantas ketika orang-orang terputus dengan segalanya karena pandemi COVID-19, St. Petersburg menjadi salah satu kota yang menawarkan diri untuk memulai keterhubungan itu lagi dengan menjadi salah satu tuan rumah Piala Eropa 2020.

Turnamen yang pelaksanannya tertunda setahun itu menggunakan gambar jembatan pada logonya. Keberadaan St. Petersburg semacam menjadi pengingat bahwa ratusan tahun sebelum para jagoan bertemu di Saint Petersburg Arena, kota itu adalah bukti bahwa manusia tak punya naluri untuk berdiam diri. Mereka ingin bergerak, menginjak tanah gembur, dan berjumpa dengan kawan baru walau sesekali mesti berdampingan dengan kekalahan dan wajah sayu.