Dendam Manchester United di Turki
Mari melihat kembali dendam Manchester United saat bertandang ke Turki.
Ali Sami Yen, 3 November 1993.
Hari itu, Manchester United akan menantang wakil Turki, Galatasaray, pada leg kedua kualifikasi Liga Champions. Leg pertama laga ini berakhir dengan skor 3-3 dan oleh karena itu, United diharuskan menang atau setidaknya imbang dengan minimal skor 4-4.
Pada jalan menuju stadion, suporter tuan rumah sudah menyambut bus United dengan kerumunan dan teriakan, “No way out! No way out!”
Semua pemain United hanya melihat kenyataan itu dengan ketakutan, kecuali Eric Cantona tentunya.
Gary Pallister melihat bellboy hotel menunjuknya lalu menyilangkan jempol di leher seperti tanda ia akan dibunuh. Sementara, Paul Parker memasuki stadion sambil mendengar orang berteriak, “Kau akan mati!”
Di dalam stadion, spanduk bertuliskan, “Welcome to the Hell” [sic] menyambut pemain United yang keluar dari ruang ganti. Sambutan juga dilakukan oleh pihak kepolisian Turki dengan bersikap tak ramah saat melindungi staf kepelatihan dan pemain cadangan dari lemparan suporter.
Laga dimulai. Hanya butuh skor imbang dengan minimal satu gol membuat Galatasaray bermain pragmatis. Mereka bertahan sekuat tenaga dan berusaha membuang-buang waktu selama 90 menit pertandingan.
Kedisiplinan pemain-pemain Galatasaray dan suara bising suporter lawan membuat United frustrasi dan tak mampu mencetak gol. Detik-detik akhir babak kedua, Cantona menerima kartu merah dari wasit Kurt Rothlisberger.
Beberapa suporter tuan rumah turun ke lapangan. Mereka mengangkat Tugay Kerimoglu, kapten Galatasaray, bak pahlawan. Hakan Sukur, striker mereka, lari ke tribune sambil memimpin chants.
Sebaliknya, United yang kalah berusaha untuk tegar dan masuk ke ruang ganti secepatnya. Kapten United, Bryan Robson, dalam autobiografinya, langsung mendekati Cantona, yang masih berada di sisi lapangan, dan mendekapnya masuk ke ruang ganti.
Kericuhan justru pecah saat rombongan United memasuki lorong menuju ruang ganti. “Saya melihat seorang polisi meninju dan memukul Eric dengan pentungan. Eric kemudian jatuh dan saya coba membalasnya dengan balik melepaskan tinju ke mereka,” kata Robson.
“Di lorong menuju ruang ganti Eric berubah menjadi ganas,” ujar Roy Keane. “Bayangkan, kita semua ingin segera pergi, ia malah lari mengejar polisi yang memukulnya dengan pentungan. Untung, Brian Kidd [asisten manajer United] dan yang lain menahannya.”
Robson tak ingat berapa lama kejadian tersebut berlangsung. Namun, ia masih ingat bagaimana kejadian tersebut berakhir, “Perkelahian ini berakhir setelah pemain-pemain lain memisahkan. Bayangkan, kami bertarung menghadapi polisi!” imbuh Robson.
Di jalan menuju hotel, bus United pulang dengan pengawalan ala kadarnya. Polisi yang bertindak sebagai pemandu acuh melihat berbagai benda melayang ke kaca bus yang tembus pandang.
Steve Bruce, yang duduk di samping jendela, bersumpah melihat sebuah batu besar dilemparkan ke arahnya. “Saya bisa saja meninggal jika kaca bus lebih tipis,” akunya. Sementara dalam wawancara di dalam hotel, Cantona berkata bahwa ia ingin membunuh polisi Turki.
Kejadian tersebut tak hilang di ingatan penggawa United. Dalam sebuah wawancara, Alex Ferguson mengatakan bahwa, “Polisi di sana lebih menakutkan daripada suporter Galatasaray.” Sementara Parker berjanji ia tak akan pernah lagi bertandang ke Turki.
Itu baru kondisi yang terjadi pada penggawa tim. Di luar lapangan, ratusan pendukung United berkelahi dengan gabungan polisi dan pendukung Galatasaray. Beberapa di antaranya memang berhasil melarikan diri, tapi sebagian yang cedera justru masuk bui.
Di dalam penjara Bayrampasa, mereka tak diberi makan dan minum. Pendukung yang ketahuan melawan dipisahkan. Salah satu kelompok suporter bahkan tak dilepaskan hingga satu bulan lamanya.
Apa yang menimpa United saat itu ternyata tak menjadi pelajaran. Tujuh tahun setelahnya, giliran dua pendukung Leeds yang ditikam oleh suporter Galatasaray di tengah Taksim Square saat hendak menemani timnya berlaga di Piala UEFA (sekarang Liga Europa, red).
Pada 2012, United kembali bertemu Galatasaray. Bandara Istanbul Ataturk ditutup sejam sebelum pesawat United tiba karena disesaki pendukung Galatasaray. Di dalam stadion, banner bertuliskan “No Mercy Will Be Shown” dibentangkan di atas satu sisi tribune.
“No Mercy Will Be Shown” juga menjadi headline media-media Turki saat tahu United justru menurunkan beberapa pemain muda, seperti Nick Powell dan Tom Cleverley, sebagai starter. United kalah di laga tersebut dengan skor 0-1.
Delapan tahun dari kejadian tersebut, Manchester United akan kembali ke Turki. Bertamu ke kandang Istanbul Başakşehir pada laga ketiga fase grup Liga Champions 2020/21.
Sudah seharusnya kemenangan menjadi target wajib di setiap pertandingan sepak bola. Berkilah “puas dengan hasil imbang”, apalagi “memang mencari kekalahan” sepatutnya tak layak disematkan untuk sebuah klub yang berorientasi prestasi.
Bagi United, kemenangan bukan hanya mengantarkan mereka pada status yang terbaik di grupnya, tapi juga pada dendam yang perlu dibayar tuntas.