Derap Senyap Sergio Busquets

Foto: Instagram @5SergioB.

Spanyol memang sudah tersingkir, tapi tidak ada salahnya melihat bagaimana permainan mereka menjadi lebih baik ketika Sergio Busquets ikut tampil.

Dalam ‘You and Whose Army’, lagu milik Radiohead, Thom Yorke menulis alegori bahwa untuk merobohkan sesuatu yang kuat biasanya kamu membutuhkan sekumpulan kuda yang berderap-derap, dukungan kroni-kroni, dan berpeleton-peleton tentara Romawi. Namun, tak selamanya yang riuh dan ramai itu menunjukkan kekuatan. Yang sunyi dan senyap seperti Sergio Busquets juga bisa mematikan.

Hari itu, 13 September 2008, seorang bocah jangkung yang lebih mirip seorang atlet trek lari ketimbang pemain sepak bola—dan mungkin terlihat lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku diktat di meja belajar—dilempar oleh sang pelatih untuk masuk ke dalam starting XI.

Sang pelatih, Pep Guardiola, juga masih sama hijaunya dengan si pemain. Namun, ia tahu apa yang ia lakukan. Guardiola sudah mengenal si pemain semenjak menangani Barcelona B. Baginya, pemain bertinggi 189 cm dan baru berusia 20 tahun tersebut adalah sosok yang pas untuk menjadi jangkar lini tengah timnya.

Guardiola adalah pelatih yang saklek. Supaya timnya betul-betul menjalankan filosofi permainan yang ia mau, ia butuh pemain-pemain dengan spesifikasi khusus pada posisi-posisi tertentu. Itu mengapa pemain-pemain seperti Deco dan Ronaldinho ia lepas ke klub pemain. Sementara, Yaya Toure—meski masih bisa mendapatkan 43 penampilan sepanjang musim pertama Guardiola—pelan-pelan mulai tertepikan.

Toure tak melulu jadi protagonis di posisi jangkar. Malah, pada hari di mana si bocah jangkung itu bermain, Toure cuma duduk di bangku cadangan. Hari itu pos starter untuk lini tengah Barcelona diisi oleh Xavi Hernandez, Seydou Keita, dan si bocah itu, Busquets. Barcelona gagal menang dan cuma mendapatkan satu poin setelah bermain imbang 1-1.

Di tengah ekspektasi akan Guardiola—sebagai pelatih bau kencur dan minim pengalaman di level senior—untuk menstabilkan Barcelona, hasil tersebut jelas mengecewakan. Terlebih, pada pekan sebelumnya, yang merupakan pekan pembuka La Liga musim tersebut, Barcelona kalah 0-1 dari Numancia.

Pers kemudian berpaling kepada tetua Barcelona, Johan Cruyff. Mereka ingin tahu apakah Cruyff puas dengan permainan El Barca dan apakah mantan anak didiknya itu telah mengendalikan tim dengan baik. Cruyff kemudian bertanya balik: Apakah dia dan wartawan-wartawan itu telah menyaksikan pertandingan yang sama? Pasalnya, Cruyff justru melihat bahwa Guardiola telah menerapkan taktik dengan benar.

Banyak ucapan Cruyff yang serupa nubuat. Opininya bahwa Guardiola telah melakukan hal dengan benar kemudian menjadi kenyataan. Dalam 20 pertandingan La Liga setelahnya, yang terbentang dari September hingga Februari, Barcelona meraih 19 kemenangan—1 laga sisanya berakhir dengan hasil imbang. Laju kencang ini membantu mereka meraih trofi La Liga musim tersebut.

Hal lain yang tak luput dari pengamatan Cruyff adalah bagaimana Busquets, yang masih relatif bau kencur, bisa menjadi holding midfielder yang piawai. Dalam kolomnya di El Periodico, Cruyff menulis seperti ini:

“Secara posisi, dia tampak seperti seorang veteran dengan atau tanpa bola. Dengan bola dia membuat apa yang sulit terlihat mudah: Dia melepas bola dengan satu atau dua sentuhan. Tanpa bola, dia memberi kita pelajaran: Berada di tempat yang tepat untuk mencegat dan berlari hanya untuk merebut bola.”

Pada kolom yang sama, Cruyff memberikan penegasan bahwa dari segi teknik, Busquets lebih superior ketimbang Yaya Toure ataupun Seydou Keita.

Yang juga ikut bergabung dalam puja-puji terhadap Busquets adalah The Professor, Arsene Wenger. Pada 2012, Wenger menyebut bahwa Busquets tahu bagaimana caranya mengontrol tempo pertandingan dengan satu atau dua operan cepat. Ini belum termasuk bagaimana ia kerap mengelabui wasit ketika terjatuh saat mendapatkan senggolan pelan. Semua ini membuat Busquets tak hanya menjadi pemain yang cerdas, tetapi juga pintar (kalau tak mau menyebutnya licik).

Repotnya, semua reputasi soal Busquets banyak beredar dari satu cerita jelek ke cerita jelek lain. Siapa bisa melupakan kepura-puraannya ketika membuat Thiago Motta mendapatkan kartu merah pada semifinal Liga Champions 2010? Padahal, Busquets lebih dari itu.

Untuk menjelaskan bagaimana Busquets bekerja, ada baiknya menyimak ucapan eks pelatih Timnas Spanyol, Vicente del Bosque, berikut ini: “Kalau kamu cuma menonton pertandingan secara umum, kamu tidak akan melihat Busquets. Tapi, kalau kamu menonton Busquets, kamu akan menyaksikan keseluruhan pertandingan.”

***

Ada alasan mengapa permainan Spanyol menjadi lebih baik ketika Busquets, yang sempat absen karena positif mengidap COVID-19, akhirnya tampil lebih baik pada Piala Eropa 2020. Pada gaya main Luis Enrique yang straight dan direct, Busquets adalah pemain yang memberikan kontrol dan keseimbangan.

Ia memang tidak pernah terlihat menggebrak dan memberikan operan-operan mewah seperti yang dilakukan dua rekan setimnya dulu, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta. Ia juga tidak pernah menjadi pemain dengan determinasi dan mobilitas seperti Toure. Namun, ia membuat yang sulit menjadi terlihat mudah.

Hidup sebagai seorang holding midfielder rasa-rasanya memang seperti itu. Kamu tidak perlu tampil spektakuler dengan operan-operan mewah; kamu hanya perlu bekerja dalam sunyi dengan derap-derap senyap. Tugasmu adalah menjadi penyeimbang itu tanpa harus betul-betul terlihat di atas lapangan.

Ini juga yang menjadi alasan ketika dulu Guardiola bermain dengan 3-4-3, Busquets ia jadikan sebagai bek tengah hybrid ketika timnya naik melakukan serangan. Guardiola percaya, Busquets punya ketenangan dan bisa membaca permainan dengan baik. Cerita bahwa Busquets sulit betul untuk direbut dalam permainan rondo di sesi latihan terlihat di lapangan ketika ia bisa menguasai bola dengan baik.

Tentu, Busquets yang sekarang tidak se-superior Busquets lebih dari 10 tahun lalu. Kendati begitu, ia tetap menjadi bagian penting untuk Spanyol. Ketika Enrique membutuhkan pemain yang bisa melakukan operan direct atau mendobrak lini (breaking the lines), ia punya pemain-pemain seperti Pedri atau Thiago Alcantara. Namun, ketika butuh kontrol, Busquets adalah pemain yang ia butuhkan.

Di bawah kawalannya itulah tim-tim yang mengandalkan possession seperti Barcelona ataupun Spanyol menjadi lebih dominan. Busquets tidak hanya memiliki teknik yang bagus, tetapi juga memiliki awareness (kepekaan) kelas satu, dan kemampuan dalam menghitung timing; ia tahu kapan harus bergerak ke sebuah posisi kosong di tengah lapangan, melakukan sirkulasi bola, atau melakukan progresi bola.

Kendati begitu, Busquets bukanlah protagonis utama untuk mengakhiri sebuah serangan. Ia adalah pangkal dan pelindung dari pemain-pemain yang posisinya lebih advance. Ini mengapa Busquets mesti dikelilingi oleh pemain-pemain yang bisa melakukan penetrasi lebih baik ketika melakukan serangan.

Bukan kebetulan pula permainan Spanyol, yang sebelumnya terlihat steril, menjadi lebih baik ketika Busquets pulih dan kembali ke dalam skuad. Boleh dibilang, keberadaan Busquets dan gelandang-gelandang lainnya dalam starting XI Spanyol saling melengkapi satu sama lain.

“Satu-satunya obsesiku adalah tidak kehilangan bola sama sekali dan memberikan segalanya yang terbaik dariku. Aku ada di sini untuk membantu,” kata Busquets soal permainannya.

Dari ucapannya tersebut kita bisa membaca bahwa Busquets ada supaya pemain-pemain ofensif Spanyol lainnya bisa bekerja tanpa harus mengkhawatirkan hal-hal kecil lainnya. Hal-hal kecil itu, dalam pandangan Busquets, biarlah menjadi area kerjanya.

Ini mengapa Busquets selalu ditemani oleh pemain-pemain yang lebih mobile seperti Pedri dan Koke. Bahkan pada pertandingan melawan Italia di semifinal, ia baru ditarik keluar untuk digantikan Thiago ketika sudah ada pemain lain yang bisa mengemban peran holding midfielder dalam diri Rodri.

Spanyol, pada akhirnya memang kalah pada pertandingan tersebut lewat adu penalti, tetapi pembicaraan menjelang pertandingan tersebut banyak terarah kepada Busquets dan juga Jorginho, kedua konduktor pada masing-masing tim. Nicolo Barella bahkan dengan tegas menyatakan bahwa untuk bisa mengontrol pertandingan, Italia mesti bisa mengontrol Busquets lebih dulu.

Ucapan Barella tidak salah. Malah, itu menunjukkan bagaimana pendekatan permainan Italia sepanjang turnamen: Dinamis, proaktif, dan getol betul melakukan pressing. Namun, Enrique jeli. Pelatih Spanyol berusia 51 tahun tersebut paham bahwa ia juga mesti melindungi Busquets. Oleh karena itu, ia meminta Koke—yang punya mobilitas bagus—untuk tidak berdiri jauh dari Busquets. Pedri, sementara itu, ia biarkan untuk berada dalam posisi lebih advance.

Dengan begitu, Spanyol seperti bermain dengan empat pemain depan: Busquets dan Koke di tengah serta Ferran Torres, Pedri, Dani Olmo, dan Mikel Oyarzabal di lini depan. Dengan posisi Pedri yang lebih maju, Jorginho tidak punya pilihan lain selain ikut mengawalnya. Inilah mengapa dari sisi possession, Spanyol lebih unggul.

Sedemikian berpengaruhnya perang antartaktik di antara Spanyol dan Italia, semuanya berawal dari dua buah pertanyaan: Bagaimana caranya mengontrol Busquets dan bagaimana melindunginya.

Italia memang lebih klinis dan, pada akhirnya, menunjukkan kepada orang-orang bahwa mereka lebih paham bagaimana caranya memastikan kemenangan. Spanyol, sementara itu, dengan skuad yang tidak dipenuhi bintang seperti bertahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa sebetulnya mereka tidak habis-habis amat.

Jika ini menjadi salah satu dari turnamen terakhir Busquets, ketahuilah bahwa perannya masih teramat penting, entah sebagai pengait terakhir dari tim legendaris Spanyol di masa lalu dengan masa depan atau sebagai penyeimbang yang bekerja dalam senyap.