Derbi Manchester, di Antara Kejayaan dan Kejatuhan

Foto: Mirrorpix via Manchester Evening News.

Manchester United dan Manchester City sama-sama pernah bangkit dari reruntuhan. Namun, kini keduanya sama-sama sedang bertahan sekuat-kuatnya agar tidak kembali menjadi puing-puing.

Sennacherib tumbang. Dia yang memerintah sebagai Raja Asyur itu hancur rata dengan tanah. Kekuasaannya tak tersisa. Tak ada hidup abadi yang direngkuh meski ia diakui sebagai raja paling mengesankan di dunia kuno. Sennacherib tak lebih dari manusia biasa, yang pada akhirnya mati, yang pada waktunya tamat.

Lord Byron bercerita tentang kehancuran Sennacherib dalam sajaknya yang berjudul The Destruction of Sennacherib pada 1815. Sajak lama ini mungkin dipegang baik-baik oleh orang-orang Manchester. Cukup sudah awan kelam menaungi Manchester. Ada yang muak dianaktirikan, ada pula yang berhasrat melawan kemalangan.

Dunia--dengan lagak bijaksana yang tak jarang membuat sebal--menjadikan Manchester sebagai miniatur kehidupan, tempat kejayaan dan kegagalan berdiri tegak berdampingan. Terkadang kamu bisa berhasil, terkadang kamu dapat jatuh. Kejayaan itu dilambangkan dengan Old Trafford, sedangkan kegagalan merujuk pada The City of Manchester.

Namun, bisa jadi penggambaran itu hanya penggalan cerita lama. Keduanya kini bertarung sedapat-dapatnya, bertahan sekuat-kuatnya agar tidak menjadi Sennacherib.

****

United sebenarnya sudah terbiasa dengan kehancuran. Perang Dunia meluluhlantakkan segalanya, termasuk Old Trafford dan sepak bola mereka.

Tiga tahun setelah Perang Dunia I tuntas, United digempur oleh degradasi hingga terpojok ke tepi jurang kebangkrutan. Ketika Perang Dunia II, Old Trafford digempur oleh Angkatan Udara Jerman. Dunia mengenal peristiwa pada 11 Maret 1941 itu sebagai Manchester Blitz, hari ketika Manchester rata dengan tanah.

Untunglah ada Sir Matt Busby yang bersedia berjalan terbungkuk-bungkuk memungut kepingan reruntuhan yang tersisa. Dari situ ia membangun United kembali. Diangkat sebagai manajer pada 1945, Busby ibarat orang gila yang terobsesi menghidupkan orang mati.

Sir Busby tidak sekadar berkalang khayal. Tangan dan otaknya menciptakan kelompok pemain terbaik klub Inggris yang pernah ada. The Busby Babes, anak-anak kesayangan Busby, para jurnalis menyebutnya demikian.

Anak-anak muda ini menyulut kembali gempita di Kota Manchester. Sepak bola hidup lagi, keriaan bersemi lagi, Manchester tak seburuk yang diceritakan orang dari mulut ke mulut.

Malang tak mau berjauhan. Manchester ditimpuk lara untuk kesekian kalinya. Para pemuda yang belum mencapai puncak itu malah tewas dalam kecelakaan pesawat pada 6 Februari 1958.

Tragedi Munich memakan nyawa 23 penumpang pesawat, delapan di antaranya adalah pemain United. Roger Byrne, Tommy Taylor, David Jones, Eddy Coleman, Billy Whelan, Geoff Bent, Mark Jones, dan Duncan Edwards tinggal nama dan cerita. Itu belum ditambah dengan tiga staf klub, Walter Crickmer, Tom Curry, dan Bert Whalley, yang ikut tewas dalam mala tak terperi itu.

United menyikapi kehilangan dan nelangsa mereka dengan upaya melahirkan kembali The Busby Babes. Akademi United dirancang sedemikian rupa supaya bisa mencapai apa yang dimulai oleh Sir Busby.

Ada dua kemungkinan yang terjadi jika membicarakan segala hal yang terbaik: Tidak akan pernah terulang dan akan datang di kemudian hari. Tujuh belas tahun setelah tragedi itu United terperosok ke dalam kesemenjanaan.

Akademi terus berupaya menciptakan pasukan terbaik, tetapi kejatuhan datang sebagai raksasa yang lebih hebat. United terdepak, sampai akhirnya mereka bertemu dengan Sir Alex Ferguson.

Gemuruh Old Trafford terdengar lagi. Dengan lantang mereka berseru bahwa Teater Mimpi bukan racauan tentang mimpi di siang bolong dan khayalan yang tidak mungkin terwujud. Lewat Class of 92, United menggapai kejayaan berikutnya. Selama 20 tahun memerintah, Sir Alex membuat jiwa-jiwa yang terenggut dalam kecelakaan tersebut semringah di keabadian.

Tangan besi Sir Alex memastikan kejayaan United tak hilang dalam sekejap. Bagi Sir Alex, tidak ada yang boleh lebih besar darinya, apalagi Manchester United. Kehidupan di bawah asuhan Sir Alex adalah dua sisi. Mereka bisa begitu karib dengan kejayaan, tetapi di lain hari menjadi milik kejatuhan.

Maksudnya, Sir Alex tak pernah peduli dengan apa yang pernah diberikan para pemainnya untuk klub. Jika dalam perjalanan ia mulai melihat para pemainnya melenceng dari standarnya, ia tidak akan segan melakukan tebang pilih.

Jaap Stam, Roy Keane, dan bahkan David Beckham adalah contohnya. Macam-macam sedikit, tak peduli sehebat apa pun tendangan dan sebanyak apa pun gol yang kamu sarangkan ke gawang lawan, kamu tidak akan punya tempat jika bersikap semaunya. Hubungan percintaan Beckham dengan Victoria membikin Sir Alex cemas.

Foto: Facebook Manchester United

Ia tak mau pengaruh sang superstar kepada Beckham meruntuhkan apa-apa yang dibangunnya sejak lama. Lebih baik kehilangan maestro tendangan bebas ketimbang melihat Old Trafford menelan malu. Beckham ditendang, begitu pula dengan Stam dan Keane.

Itu bukan ‘pengusiran’ pertama. Jauh sebelumnya, Sir Alex sudah mendepak Jim Leighton dari timnya. Keputusan itu diambil karena sang kiper bermain butut pada leg pertama final Piala FA 1990. Tidak ada nama Leighton pada daftar skuad leg kedua. Tak ada pula woro-woro Sir Alex kepada pemainnya itu.

Semuanya terjadi dalam seketika, padahal Leighton merupakan salah satu pemain yang setia pada Sir Alex bahkan sejak keduanya masih ada di Skotlandia. Kepercayaan diri Leighton runtuh, kariernya berantakan.

Namun, Sir Alex selalu menilai kondisi itu sebagai harga yang pantas ia bayar untuk menjaga United. Dengan kepala dingin, kecermatan taktik, hati yang lempeng, dan tangan besi Sir Alex memastikan bahwa Manchester United tidak akan menjadi seperti Sennacherib dalam sajak Lord Byron.

****

Manchester City memeram rindu untuk menjadi lawan yang sepadan bagi Manchester United. Orang-orang di Manchester Timur adalah mereka yang memandang iri kepada siapa pun yang berada di barat daya Manchester.

Kedua area tersebut serupa Italia Utara dan Selatan.Yang satu adalah simbol kemakmuran, yang satu lagi perwujudan kemelaratan. Usaha separuh nyawa dilakukan City untuk keluar dari kesemenjanaan. Apa daya, ketimpangan itu tak hanya bicara tentang skuad atau persoalan teknis sepak bola. City bukan klub kaya, untuk bertahan hidup saja mereka kerepotan, apalagi mendatangkan pemain dan pelatih andal untuk merombak dan membangun tim.

Masalahnya, jika tak juara atau setidaknya tampil hebat, mereka tidak akan pernah mendapatkan kucuran uang. City bukannya tak pernah mengangkat trofi juara sama sekali. Mereka menjuarai First Division pada 1936/37 dan 1967/68. Gelar juara terakhir yang mereka rengkuh sebelum melarat adalah Piala Liga Inggris 1975/76.

Tentu itu tidak cukup. City membutuhkan uluran tangan, tetapi tak ada yang kelewat nekad untuk menggelontorkan uang kepada klub seperti mereka, kecuali satu monster dari luar angkasa. Namanya Sheikh Mansour.

Kedatangan konglomerat Timur Tengah ini mengubah City. Mereka membangun cerita baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Penanda pertama adalah gelar juara Premier League 2011/12 yang didapat secara dramatis, bahkan lewat persaingan ketat dengan Manchester United.

Dalam perjalanan itu ada kemenangan spektakuler. City menghajar United 6-1, padahal ketika itu laga dihelat di Old Trafford. Yang dilawan City adalah United asuhan Sir Alex. City jadi kampiun musim, United jadi runner up. Kini orang-orang Manchester Timur tak hanya bicara tentang bertahan hidup di Inggris, tetapi mulai berani untuk berbincang tentang Eropa.

City seperti mengopi apa-apa yang dipegang teguh oleh United. Mereka percaya sekadar mendatangkan pemain bintang untuk berlaga selama dua atau tiga musim tidak cukup. Karena itulah mereka berbenah, membangun sistem yang tepat agar dapat menciptakan masa depan. Konon akademi sepak bola City bahkan menjadi tujuan para pemain United mendidik anak-anak mereka yang juga ingin berkarier sebagai pesepak bola.

Manchester Timur bersalin rupa. Mereka sekarang emoh menjadi wilayah terbelakang di Manchester. Fasilitas umum mulai dari pusat perbelanjaan, transportasi canggih, tempat hiburan, hingga fasilitas kesehatan baru dan canggih di bangun di area tersebut.

Di atas lapangan bole juga begitu. Ide ‘United’ diimplementasikan City dengan cara yang jauh lebih modern. Sheikh Mansour menarik duet Ferran Soriano dan Txiki Begiristain masuk ke manajemen tertinggi. Visi keduanyalah yang membuat City sanggup mendatangkan--lagi-lagi orang asing--bernama Manuel Pellegrini dan terakhir, Pep Guardiola.

Lewat kecerdikan bisnis Sheikh Mansour yang ditopang oleh visi kaki dan tangannya, City membuktikan bahwa yang bisa berjalan ke arah kejayaan bukan cuma United. Begitu perubahan ini terlihat, Derbi Manchester hidup kembali. Tidak ada laga yang dianggap timpang. 

Serupa para pendukung United yang entah sejak kapan menyambut derbi dengan dada membusung, para suporter City melakukan hal serupa. Menggelontorkan uang sebanyak apa pun tak masalah, yang penting mereka tak mau menjadi Shennacerib.

***
Manchester United dan Manchester City sama-sama telah mengeklaim kebangkitan. Apes, dalam pertemuan yang akan dihelat pada Minggu (13/12/2020) mereka datang sebagai dua kubu yang babak belur dalam pertempuran.

United di bawah kepemimpinan Ole Gunnar Solskjaer tengah limbung, begitu pula dengan City yang masih dilatih si genius Guardiola. Nama besar kedua pelatih, catatan sejarah yang memaparkan kedua tim sebagai petarung tangguh yang menolak membungkuk di hadapan masa kelam seperti belum cukup untuk membuat mereka sanggup menjalani musim sebagai tim hebat dan mengakhirinya dengan semringah.

Para suporter ibarat sudah kehabisan akal menemukan cara terbaik untuk mendukung mereka. Ketika lawan mengolok-olok, mereka ikut mengolok-olok karena apa boleh buat, mereka juga kelewat pening menyaksikan jagoan masing-masing.

The Destruction of Sennacherib adalah puisi yang ditulis oleh Lord Byron sebagai pengingat akan tumbangnya kebesaran. Dia menyusun sajaknya dalam bentuk kronologis. Di enam baris pertama, ia tampak terkesan dengan kemegahan tentara Asiria. Namun mulai dari pertengahan bait kedua, Lord Byron menyadari bahwa kekuatan Asiria berumur pendek.

Ia bercerita tentang Malaikat Maut yang melewati kamp tentara dan memusnahkan mereka. Lord Byron mengakui bahwa selalu ada kekuatan yang lebih besar daripada apa yang selama ini kita anggap terhebat.

Jika melihat catatan sejarah, kita akan menyaksikan bahwa Sennacherib berhasil membangun kejayaannya dari puing-puing. Kalau ditarik benang merahnya, bukankah kedua penguasa di United dan City juga melakukan hal yang sama?

Namun, sehebat-hebatnya berkuasa, Sennacherib tak dapat berkelit dari maut. Sewaktu masih menjadi putra mahkota, ia membangun istana kecil di utara Kota Niniwe. Istana ini dinamakan dengan Bit Reduti atau Rumah Penerus.

Pada masa pemerintahannya sebagai raja, Sennacherib membangun istana yang kelak dikenal dengan Palace Without Rival--Istana Tanpa Tandingan--dan tinggal di sana. Bit Reduti lantas menjadi istana putra bungsunya, Esarhado. Di dalam istana kecil itu terdapat kuil untuk memuja dewanya. Nahas, di tempat sakral itu pulalah Sennacherib dibunuh oleh kedua putranya, Adramelekh dan Sarezer.

Manchester City ingin melihat Manchester United mengalami nasib serupa Sennacherib. Sebaliknya, United juga ingin cerita Sennacherib terulang dalam kisah City--kemegahan dan keperkasaan yang hebat, tetapi hanya berumur pendek. 

Satu hal yang mungkin perlu diingat baik-baik, United dan City sama-sama bisa menjadi Sennacherib yang peninggalannya akan menjadi fana, dengan kekuatan yang tidak sanggup menjadi selamanya.