Derby della Mole: Medium Kebencian Juventus dan Torino

Foto: Wikimedia Commons

Juventus bukan raja tunggal Turin. Ada masanya Torino pernah berjaya di sana.

Pada 2015 lalu pernah terjadi tawuran yang melibatkan suporter Torino dan Juventus. Itu menjadi salah satu yang terburuk sepanjang sejarah Turin. Partisan Juventus dan Torino saling serang. Tercatat 10 suporter Torino luka parah akibat lemparan bom kertas.

Kemudian sebanyak 300 pendukung Torino menyetop bus Juventus. Di sana juga terbentang banner besar yang tertulis: “Kalian bukan satu-satunya yang ada di Turin!”

***

Alfredo Dick memutuskan untuk bertemu dengan gerombolan pria Swiss di sebuah tempat bir. Sebut saja mereka sebagai komplotan pembangkang Juventus. Toh, Dick tak akan ambil pusing. Dia kebacut sakit hati usai didepak dari manajemen Juventus. Padahal, setahun sebelumnya Dick sukses membantu Bianconeri meraih Scudetto di edisi 1905.

Sekarang misinya adalah membangun Juventus-nya sendiri. Dengan bantuan para kompatriotnya dari Swiss, Dick menggandeng beberapa pemain dari Football Club Torinese, salah satu kesebelasan sepakbola paling tua di Italia, untuk bergabung. Boom! Jadilah Torino.

“Mereka (Torino) adalah kesebelasan kelas pekerja: baik dari provinsi atau negara tetangga, masyarakat kelas menengah dan orang-orang miskin,” kata novelis Italia, Mario Soldati di Le Due Citta.

Juventus lain cerita. Mereka adalah representasi borjuis Turin. Cikal bakal Juventus lahir dari kalangan tajir yang bersekolah di Massimo D'Azeglio. Kemudian datang sokongan dari pengusaha sapu tangan lokal bernama Marco Ajmone-Marsan dan disusul FIAT di medio 1920-an.


Derbi Turin pertama kali terjadi pada 13 Januari 1907 atau sekitar 6 minggu setelah Torino resmi berdiri. Lucunya, Dick gagal menyaksikan duel lawan mantan timnya itu secara langsung. Seseorang menguncinya di ruang ganti. Mau tak mau dia kudu mendengarkan jalannya pertandingan melalui omongan para stafnya. Macam siaran radio saja. 

---

Derby della Mole, begitu duel Juventus-Torino dikenal. Sebutan itu diambil dari Mole Antonelliana, sebuah landmark khas Turin. Pada awalnya ia dibangun sebagai tempat ibadah orang Yahudi dan sekarang beralih menjadi Museum Nasional Sinema.

Mole Antonelliana menjulang 167 meter ke langit, membuatnya menjadi museum tertinggi di dunia. Dari situ pula kita melihat betapa senjangnya Juventus dan Torino. Juventus di atas, sedangkan Torino hanya bisa melihatnya jauh dari bawah.



Jauh sebelum sekarang, kekuatan Juventus dan Torino bisa dibilang sejajar. Torino bahkan pernah menjagal Juventus 8-0 di ajang liga pada 1912. Itu menjadi kekalahan terbesar Juventus hingga saat ini.

Sampai akhirnya Juventus mulai menancapkan hegemoninya mulai medio 1930-an. Di bawah arahan Carlo Carcano, mereka menyapu bersih titel Serie A empat musim tanpa putus. Dihitung-dihitung, Juventus sudah mengumpulkan 7 scudetto di ujung musim 1934/35. Sementara Torino tertinggal jauh dengan torehannya yang baru sebiji.

Torino bukannya tak pernah mengalami masa emas. Bersama Ferruccio Novo, mereka mencanangkan proyek revival bernama Grande Torino.

Langkah pertama Novo adalah menata ulang klub. Dia mengikuti saran dari Vittorio Pozzo, pelatih yang pernah membawa Italia juara Piala Dunia 2 kali. Selain itu, Novo juga bekerja sama dengan eks pemain yang pernah mengantar Torino menyabet scudetto: Antonio Janni dan Mario Sperone.

Dari situ, pengembangan serta transaksi pemain Torino lebih terstruktur. Ada Franco Ossola yang direkrut dari Varese saat usianya baru 18 tahun. Disusul Pietro Ferraris, striker Italia di Piala Dunia 1938, serta trio Juventus Alfredo Bodoira, Felice Borel, dan Guglielmo Gabetto.

Proyek Grande Torino menghasilkan lima gelar Serie A pada periode 1940-an. Di era itu pula l Toro menjadi tim Italia pertama yang berhasil mengawinkan gelar Serie A dan Coppa Italia di musim yang sama.

Para pemain Torino juga menjadi tulang punggung Timnas Italia pada periode ini. Ada kalanya Gli Azzurri memainkan 10 pemain Torino sekaligus dalam satu pertandingan. Ya, sejago itu mereka.

Adalah tabrakan pesawat yang meruntuhkan kejayaan Grande Torino. Pada 4 Mei 1949, pesawat yang mengangkut segenap pemain dan staf Torino menabrak lembah Superga usai melakoni laga persahabatan dengan Benfica. Sebanyak 31 orang tewas, termasuk para penggawa penting berikut pelatih serta manajer Torino, Leslie Lievesley dan Egri Erbstein.

Setelahnya Torino mengalami masa-masa sulit. Mereka sampai terdemosi untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. 
Sebaliknya, tragedi Superga membuat Juventus kembali merajalela. Dipimpin Jesse Carver, mereka sukses menggondol gelar juara Serie A edisi 1949/50. Lebih-lebih lagi setelah kedatangan Omar Sivori, John Charles, dan Giampiero Boniperti. Juventus berhasil menambah 4 gelar liga hingga musim 1960/61.

Torino sempat menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah menjuarai Coppa Italia periode 1967/68 dan 1970/71. Scudetto juga sukses mereka sabet di musim 1975/76.

Peluang besar juga dipunyai Torino untuk berjaya semusim setelahnya. Sayang seribu sayang, mereka cuma finis di peringkat kedua dan terpaut satu angka dari sang juara. Tebak siapa juaranya? Juventus.

Well, pada periode 1970-an itu Torino cuma sanggup sekali menyelingi Juventus dalam perburuan gelar liga. "Si Nyonya Tua" menutup abad 19 dengan 25 Scudetto atau 36 bila ditotal sampai sekarang. Torino? Mandek di angka 7.

Ketimpangan gelar tak lantas menutup hasrat rival sekota untuk saling membenci. Yang terjadi malah kebalikannya, namanya juga derby. Partisan Torino selalu punya celah untuk mengolok Juventus, vice versa.

Para suporter Juventus tak segan buat mengungkit kejadian Superga di lapangan. Mereka bersenandung menirukan suara pesawat terbang. Kemudian “Boom! Superga!” begitu seruan mereka setelah seluruh nama pemain Torino disebutkan. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menguak sejarah terkelam Torino.

Sadis memang. Tapi jangan salah, Torino juga melakukan hal yang sama ke Juventus. Mereka meneriakkan Grazie Liverpool dan Darci un'altra Heysel (Beri kami Heysel yang lain) dari tribun.

Heysel merupakan salah satu tragedi terpilu buat Juventus. Sesuai dengan namanya, peristiwa tersebut terjadi di Stadion Heysel, Belgia, saat Juventus dan Liverpool berlaga dalam final Liga Champions 1984/85. Sejumlah 39 —yang sebagian besar merupakan suporter Juventus— tewas akibat kebrutalan para pendukung Liverpool.

Ada kalanya Torino begitu marah kala Aldo Serena hengkang dari Torino ke Juventus pada 1985 silam. Dengan banner besar mereka mencemooh Serena sebagai pemain mata duitan.


Kemudian saat Enzo Maresca menirukan ‘selebrasi banteng’ ikonik Marco Ferrante. Itu membuat para pendukung Torino naik pitam. Maresca sampai harus diselamatkan dengan mobil dari pihak keamanan untuk keluar dari stadion. Konon ancaman pembunuhan juga sempat ditujukan kepada gelandang Juventus tersebut.

Foto: Flickr

Ada waktu di mana Torino menertawai urusan sepele semisal saat Antonio Conte pertama kali muncul dengan rambut barunya. Para fans Torino juga cukup ‘kreatif’ saat mengolok FIAT dan Juventus sekaligus. Mereka membentangkan spanduk “Kamu lebih jelek dari Multipla.” Multipla sendiri merupakan salah satu produk FIAT yang pernah dianugerahi sebagai Mobil Terburuk pada 2000.

Ocehan para pendukung Torino tak mengubah fakta bahwa mereka sudah tertinggal jauh dari Juventus. Baru pada 2015 lalu mereka bisa mengalahkan kompetitornya itu untuk pertama kalinya dalam 20 tahun ke belakang. Ironisnya lagi, kemenangan itu tak pernah mereka raih lagi sampai detik ini.

Tapi, peduli setan. Kalah-menang urusan belakangan. Justru itu cara Torino memberikan perlawanan sekaligus menunjukan bahwa Turin bukan kepunyaan Juventus doang. Setidaknya itu lebih mulia ketimbang terus berandai-andai kalau tabrakan di Superga tak pernah kejadian.