Di Kota Kecil Eibar, Sepak Bola Berkawan dengan Keajaiban

Sepak bola ala Eibar berkawan karib dengan ketidakmungkinan yang menjadi kenyataan.


Di dalam benak Ernest Hemingway, Basque adalah titik mula bagi mereka yang ingin menyembuhkan luka dan trauma.

Gagasan itu dipaparkan dalam The Sun Also Rises, novel Hemingway yang disebut-sebut berhasil mempermalukan seluruh tulisan berbahasa Inggris karena saking bagusnya.

Ada banyak pembaca--termasuk sahabat dan mentor Hemingway, Gertrud Stein--yang menganggap tokoh sentral dan pendukung di novel tersebut, Jake Barnes dan Bill Gorton, merupakan bagian dari generasi terhilang.

Sebutan itu disematkan pada sebagian orang Amerika Serikat yang memutuskan pergi dari negara mereka setelah Perang Dunia I dan memilih untuk tinggal di Paris. Toh, Hemingway juga demikian.

Bab 11 The Sun Also Rises memiliki fragmen singkat yang berkisah tentang pertemuan Jake, Bill, dan dua orang Basque. Jake dan Bill digambarkan sedang dalam perjalanan menuju Spanyol Utara untuk memancing dan menonton matador.

Kedua orang Basque itu menawarkan minuman kepada Jake dan Bill sebagai tanda perkenalan. Anggur tersebut disimpan dalam kantong kulit. Jake dan Bill diajak untuk bersenang-senang seperti orang Basque. Tak ada aturan soal gelas anggur, tak ada formalitas mencium aroma anggur, tak ada pula gaya parlente dan gesture elegan, seperti yang biasa mereka temui di Paris.

Hemingway dan tokoh buatannya--Jake--memiliki satu kesamaan, di era itu mereka sedang menyembuhkan luka akibat perang. Orang-orang boleh menilai Jake sebagai bagian dari generasi terhilang tadi. Namun, kepada editornya, Max Perkins, Hemingway menjelaskan bahwa Jake dan Bill tidak terhilang. Mereka babak belur.

Perjumpaan dengan orang-orang Basque memang hanya menghabiskan tak lebih dari dua halaman novel. Namun, jika membaca The Sun Also Rises sampai habis, kita bakal menyadari bahwa adegan itulah yang menjadi titik awal dari kesembuhan Jake dari trauma perang. Bagi Jake, Bill, dan Hemingway, orang-orang Basque lebih dari sekadar kawan minum di dalam bus.

****

Sepanjang kariernya sebagai pemain, Gaizka Garitano bukan gelandang yang dilirik oleh klub-klub raksasa Spanyol seperti Real Madrid atau Barcelona. Bahkan di klub yang dibelanya sejak kecil saja, Athletic Bilbao, Garitano cuma sekali diberikan tempat untuk membela tim utama.

Garitano memulai sepak bola profesionalnya pada 1993. Sejak itu sampai 1998 ia selalu bermain di tim reserves, kecuali pada satu laga Liga Europa 1997, itu pun sebagai pemain pengganti pada menit-menit akhir. Dalam perjalanan enam tahunnya bersama Athletic, ia juga pernah dipinjamkan ke Lleida dan Eibar.

Ternyata Eibar tidak sekadar menjadi tempat singgah semusim bagi Garitano. Ia kembali ke sana pada 2001, kali ini sebagai pemain tetap dan utama. Garitano hampir selalu ada di setiap pertandingan Eibar yang kala itu berlaga di Segunda Division. Ia bahkan ditunjuk sebagai kapten pada 2004.

Garitano tak berlama-lama di Eibar, cuma sampai 2005. Namun, dalam satu tarikan napas yang sama dengan Jake dan Bill dalam cerita Hemingway tadi, Eibar mempertemukan Garitano dengan orang-orang Basque yang lebih dari sekadar teman minum.

Athletic yang dibelanya dulu pun merupakan klub asal Basque. Akan tetapi, sejak di Eibar-lah ia menemukan Basque yang berbeda. Basque ala Eibar adalah Basque yang memberi ruang padanya untuk berlaga. Eibar adalah Basque yang membukakan pintu baginya untuk mengalami sendiri seperti apa rasanya bertanding di La Liga bersama Real Sociedad.

Bagi Garitano, Eibar adalah alasan untuk pulang ke Basque setelah gantung sepatu sebagai pemain. Garitano kembali ke Eibar, kali ini sebagai asisten pelatih, lalu menjadi pelatih yang pada akhirnya membawa Eibar mengalahkan Athletic asuhan Marcelo Bielsa pada babak 32 besar Liga Europa 2012/13. Saat itu Eibar adalah tim yang berkompetisi Segunda Division B, sedangkan Athletic merupakan kontestan La Liga.

****

Musim 2015/16 adalah periode yang mengejutkan bagi sepak bola Eropa. Keajaiban muncul di mana-mana, mulai dari Leicester City yang menjadi kampiun Premier League, hingga manuver Sassuolo yang mengancam hierarki sepak bola Serie A di Italia sana.

Barcelona dan Madrid tidak lagi membutuhkan keajaiban untuk mendapatkan sorotan. Sebaliknya, Barcelona dan Madrid membutuhkan keajaiban untuk luput dari sorotan.

Eibar berbeda. Orang-orang baru akan menoleh ke arah mereka jika peristiwa selevel keajaiban terjadi di sana. Bagi mereka yang muak dengan dominasi klub yang itu-itu saja di La Liga, Eibar adalah antidot. Musim 2015/16 juga melahirkan keajaiban yang menyelamatkan Eibar.

Sejak akhir 2012/13, Eibar promosi dua kali berturut-turut. Musim 2013/14 di Segunda Division mereka tutup dengan tiket untuk berlaga di La Liga 2014/15. Masalahnya, Eibar terancam tidak bisa bertanding kompetisi tertinggi sepak bola Spanyol tersebut karena persoalan finansial. Ini ada kaitannya dengan aturan Real Decreto 1251/1999 yang berlaku di Spanyol.

Aturan tersebut menyatakan bahwa setiap klub La Liga mesti memiliki share capital (modal saham) sebesar 25% dari biaya rata-rata semua tim di Segunda Division A, tidak termasuk dua klub dengan pengeluaran terbesar dan dua klub dengan pengeluaran terkecil di divisi tersebut. 

Artinya, saat itu Eibar--setidaknya--harus memiliki uang tunai sebesar 2.146.525,95 euro di pos modal saham mereka sebelum 6 Agustus 2014. Jika tidak, Eibar dilarang berkompetisi di La Liga. Masalahnya, ketika tiket promosi diamankan pada 25 Mei 2014, Eibar hanya memiliki uang sebesar 422.253 euro di pos tersebut. Dengan begitu Eibar harus mengumpulkan sekitar 1,7 juta euro sebelum tenggat waktu.

Eibar bukan klub kaya, tetapi finansial mereka sehat. Laporan keuangan mereka saat itu bersih dari utang dan mencatatkan laba. Klub juga tidak pernah menunggak dan menunda pembayaran gaji para pemain dan staf. Catatan tersebut sudah cukup untuk membuat sejumlah orang bergerak.

Pertumbuhan Pendapatan dan Laba Eibar

Sid Lowe, jurnalis dan penulis yang akrab dengan sepak bola Spanyol, merilis feature berjudul ‘Small-town Eibar to be Punished for Their Success?’ di ESPN. Begitu pula dengan Raphael Minder yang menulis ‘Eibar is Facing Stiff Challenges in Spain's La Liga’ di The New York Times.

Gerakan bertajuk Defiende al Eibar digencarkan. Aksi yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Mempertahankan Eibar itu dilakukan dengan menjual saham Eibar ke publik. Siapa pun boleh membelinya asal tak lebih dari 2%.

Defiende al Eibar bukan upaya menjaring angin. Pada 15 Juli 2014, klub mengeluarkan pernyataan resmi bahwa jumlah modal yang mereka butuhkan untuk berlaga di La Liga telah terpenuhi. Tak ada kapal yang tenggelam sebelum berlayar. Defiende al Eibar bahkan membuat Eibar dimiliki oleh para suporter loyal mereka sendiri, tanpa oligarki Rusia dan cengkeraman para syeikh.

Dalam konteks suporter, sepak bola akrab dengan wacana tempat pelarian para pecundang dan pesakitan. Pertandingan sepak bola adalah upah untuk setiap peluh para pekerja yang menetes selama lima hari penuh. Jika tim mereka menang, para suporter ikut menjadi pemenang. Jika tim mereka kalah, para suporter pun menanggung kekalahan.

Eibar adalah Basque yang memberikan sense atau rasa yang lebih besar daripada itu. Eibar adalah Basque yang mengizinkan orang-orang bergaji pas-pasan, orang-orang yang mengubur mimpi bekerja di kota besar seperti Madrid, orang-orang yang biasa dicap sebagai pecundang menjadi pahlawan. Tanpa kepemilikan mereka yang masing-masingnya tak lebih dari 2%, Eibar tak akan bisa berlaga di La Liga.

Eibar adalah Basque yang memberi kesempatan kepada suporter yang biasa duduk di tribune penonton atau nonton bareng di pub-pub murah untuk mengalami sendiri seperti apa rasanya menjadi pemilik klub.

Eibar adalah Basque yang membuktikan bahwa yang bisa bertahan hidup bukan cuma para konglomerat. Mereka yang berani pun layak untuk tetap hidup. Eibar adalah sisi yang membuat senyuman orang-orang Eibar bukan cuma tentang senjata api.

****

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mengira pandemi global akan menyerang pada 2020. Semua terdampak, bahkan sepak bola yang berkawan dengan guyuran uang konglomerat yang tak akan habis meski dipakai sampai keturunan ketujuh.

Liga di seluruh dunia terhenti. Bahkan ketika kompetisi dilanjutkan, prosedur keamanan membuat pertandingan harus digelar dalam kondisi tak ideal. Laga dihelat tertutup, penonton hanya diizinkan menonton dari rumah masing-masing. Tak boleh di stadion, tak boleh di tempat nonton bareng.

Ketika liga kembali dimulai, Eibar menyuarakan kekhawatiran mereka. Klub tak mau mempertaruhkan keselamatan seluruh personel karena memaksakan kompetisi di tengah pandemi. Apa boleh buat, liga tetap dilanjutkan. Eibar mesti berlaga sendirian tanpa suporter.

Derbi Basque antara Eibar dan Athletic pada 20 Juni 2020 juga sepi bukan kepalang, padahal ini laga penting. Eibar hanya berselisih dua poin dari zona degradasi, sedangkan Athletic sedang mengejar jatah kompetisi Eropa.

Seisi kota memang bersolek. Bendera Eibar dipasang di mana-mana. Spanduk berisi dukungan dibentangkan di tembok-tembok lebar. Meski demikian, pada hari itu tak ada sepak bola yang benar-benar sepak bola, persis seperti yang tertulis dalam salah satu spanduk: “Football – fans = nothing.”

Biasanya ada 377.759 orang suporter yang menonton laga derbi secara langsung di Stadion Ipurua. Masalahnya, pandemi belum selesai dan tak ada satu orang pun yang bisa menjawab kapan para suporter bisa kembali memenuhi tribune. Kali ini, hanya ada 100 orang suporter yang menonton secara langsung.

Dari balkon apartemen mereka.

Apartemen itu hanya berjarak delapan meter dari tembok pembatas Ipurua. Dua blok apartemen itu memiliki 15 lantai. Sepanjang sisinya dilengkapi dengan balkon kecil.

Sid Lowe menceritakan pengalaman tersebut dalam ‘A Night at Eibar, Where the Best Seats are, Well, in the House’ yang tayang di The Guardian. Ia bersama 100 orang suporter Eibar menyaksikan laga melawan Athletic dari ‘tribune VIP’ tadi.

Mereka tak membutuhkan VAR, tak pula memerlukan tayangan ulang dalam gerak lambat. Mereka bisa menyaksikan ke mana arah bola dengan tepat dan mengamati apa yang dilakukan

Marko Dmitrović saat kawan-kawannya sampai di kotak penalti Athletic. Dari tempat itu semuanya terlihat jelas, ke arah mereka pula, para pemain Eibar memberikan tepuk tangan.

Eibar cuma kota kecil di Basque yang diisi oleh sekitar pada 27.000 orang penduduk. Meski demikian, bagi para pemain tersebut Eibar adalah Basque yang tidak membiarkan mereka bertanding sendirian, bahkan saat pandemi.

Ketika tim-tim raksasa hanya didukung oleh manusia-manusia buatan dari kardus ataupun suporter digital, Eibar didukung oleh suporter sungguhan. Suporter itu memang tak lebih dari 100 orang, menontonnya dari balkon apartemen masing-masing pula. Akan tetapi, mereka manusia betulan. Tepuk tangan dan seruan ‘Tembak! Tembak!’ yang terdengar sayup-sayup benar-benar datang dari manusia.

Beberapa saat setelah peluit panjang dibunyikan para suporter beranjak dari balkon dan masuk ke rumah masing-masing. Para penggawa Eibar meninggalkan stadion sambil membawa kedudukan imbang 2-2 dalam sunyi. Tak ada kerumunan suporter yang berebut minta tanda tangan dan foto bersama. Sepintas sepak bola jalanan bahkan terasa lebih hangat daripada pertandingan ini.

Akan tetapi, 90 menit sebelum kejanggalan yang lamat-lamat itu muncul adalah terakhir kalinya Armaginak berpikir bahwa mereka akan selalu melakoni laga kandang tanpa dukungan suporter. Setiap kali pulang ke Ipurua, para pemain itu hanya harus mendongak untuk melihat bahwa orang-orang Eibar tak pernah membiarkan mereka sendirian.