Dominasi Bayern Muenchen, Masalah Bundesliga

Foto: @FCBayern.

Dominasi Bayern Muenchen dalam 10 tahun terakhir menimbulkan tanda tanya: Apakah Bundesliga tak bisa lebih kompetitif dari ini?

Tak sulit untuk menilai bahwa Bayern Muenchen tidak terlalu spesial musim ini.

Bayern punya banyak cela. Lini pertahanan begitu rentan di fase transisi, pemain sayap acap tak konsisten pula. Kemenangan kadang ditentukan lewat aksi brilian individu. Belum lagi Bayern punya problem cedera dan kedalaman skuad mereka pun tak sebaik musim-musim sebelumnya.

Membiarkan David Alaba dan Jerome Boateng pergi di waktu bersamaan jelas sebuah kesalahan, terlebih karena yang datang menambal hanya Dayot Upamecano. Kepergian Thiago Alcantara di musim sebelumnya pun belum terkover dengan baik hingga musim ini.

Kepergian pemain kunci yang diikuti dengan rekrutmen buruk membuat Bayern, musim ini, hanya bertumpu pada 15 pemain saja. Sementara nama-nama seperti Marc Roca, Marcel Sabitzer, Omar Richards, dan Josip Stanisic masih jauh di bawah harapan. Situasi itu membuat Julian Nagelsmann tak punya banyak pilihan.

Lantas hasil-hasil buruk pun mengikuti. Mereka tersingkir di fase-fase awal DFB Pokal setelah dihajar 0-5 oleh Borrusia Moenchengladbach. Di Bundesliga, mereka sudah kalah empat kali dan sebagian besar terjadi karena lawan mampu memanfaatkan buruknya transisi Bayern.

Di Liga Champions, Bayern juga tak bisa melaju jauh. Mereka disingkirkan oleh Villarreal, juga salah satunya karena transisi ke bertahan yang buruk itu. Selain itu, dalam dua leg, Bayern juga gagal menuntaskan banyak peluang karena cuma bisa menuntaskan satu gol.

Namun, inilah Bayern dan inilah Bundesliga. Di tengah musim yang tidak terlalu spesial ini, mereka berhasil menjadi kampiun Bundesliga di pekan ke-31 usai mengalahkan rival terdekatnya, Borussia Dortmund, dengan skor 3-1. Kini Bayern unggul 12 poin dan jelas sudah tak tekejar.

Buat Bayern sendiri, meraih gelar juara jelas selalu menyenangkan. Mereka juga masih bisa menutup musim dengan 84 poin, angka yang mengesankan. Gelar juara juga jadi amat spesial karena ini adalah musim pertama Nagelsmann sebagai pelatih Bayern.

Akan tetapi, bagi Bundesliga, capaian Bayern ini jelas menimbulkan tanda tanya: Apakah liga tak bisa lebih kompetitif (dalam hal perebutan gelar juara) lagi? Apakah tak ada yang bisa menemani Bayern?

Kepada Bild, Juergen Klopp pernah bilang bahwa salah satu alasan Bayern terus-menerus menjadi juara adalah karena kualitas antara tim-tim yang berada di bawahnya terlalu dekat. Mereka mudah saling mencuri poin. Tengok saja bagaimana jarak antara Dortmund yang ada di posisi dua dengan Freiburg yang ada di posisi lima hanya 11 poin.

Sementara itu, seperti yang sudah disinggung di atas, jarak antara Bayern dan Dortmund saat ini terpaut 12 poin. Dortmund lebih dekat ke Freiburg alih-alih ke Bayern. Ini yang membuat perebutan gelar juara akhirnya jadi monoton.

Ada beberapa argumen yang menyebut bahwa hal itu disebabkan oleh kebiasaan Bayern mencomot bintang klub-klub yang ada di bawahnya. Para pesaing pun melemah, sedangkan Bayern terus langgeng jadi kekuatan besar. Namun, argumen ini bisa dipatahkan dengan mudah.

Dalam tiga musim terakhir, praktis hanya Nagelsmann, Upamecano, dan Sabitzer yang masuk dalam kategori pembelian dari tim rival. Oke, kepergian Nagelsmann memang sempat bikin goyah dan Leipzig mengalami penurunan. Namun, apa yang dialami Leipzig lebih kepada ketidaktepatan dalam memilih pengganti.

Embed from Getty Images

Andai saja mereka lebih cepat menunjuk Domenico Tedesco, musim ini mungkin akan berakhir lebih baik. Kepergian Upamecano dan Sabitzer pun tak berpengaruh banyak. Josko Gvardiol dan Mohamed Simakan tampil apik di lini belakang, sedangkan kontribusi Sabitzer bisa dengan mudah dikover oleh Christopher Nkunku atau Dominik Szoboszlai.

Belakangan tim-tim seperti Leipzig, Bayer Leverkusen, atau Dortmund lebih senang melego para bintangnya ke Premier League ketimbang ke Bayern. Perencanaan skuad mereka inilah yang lantas perlu digarisbawahi. Sebab, alih-alih membuat tim jadi penantang serius gelar juara, mereka justru lebih senang jadi tim pemasok bintang.

Dortmund bisa dijadikan contoh. Erling Haaland, yang baru dua setengah musim berada di klub, sudah siap dilego akhir musim nanti. Padahal, ia adalah sosok pengatrol klub. Jude Bellingham yang menonjol pun terus digosipkan bakal hengkang.

Lantas, bagaimana caranya Dortmund untuk konsisten berada di jalur juara? Toh, tiap musim mereka lebih sibuk mencari pengganti dari bintang-bintang yang pergi. Beruntung kalau pemain pengganti itu langsung nyetel, kalau membutuhkan waktu adaptasi cukup lama seperti Donyel Mallen, misalnya?

Dinamika pada sektor skuad dan pelatih itulah yang membuat klub-klub semacam Dortmund, Leipzig, dan Leverkusen jadi tak mampu menyaingi Bayern. Dan untuk ini, selain bisa menyalahkan perencanaan skuad dari klub-klub itu sendiri, kita sebenarnya bisa menunjuk hidung Bundesliga.

Menghapus aturan 50+1 jelas bisa menurunkan harga diri Bundesliga dan Jerman. Itu tak akan dilakukan. Namun, Bundesliga bisa melakukan hal lain untuk meningkatkan tingkat kompetitif dari kompetisi mereka. Salah satunya adalah dengan lebih adil dalam mendirstribusikan uang hasil hak siar.

Ketimpangan jumlah hak siar di Bundesliga (bersama La Liga) adalah yang tertinggi jika dibanding dengan liga lain seperti Ligue 1, Premier League, atau Serie A. Per Swiss Ramble, juara Bundesliga bisa mendapatkan uang 3,8 kali lebih banyak ketimbang klub yang berada di posisi terakhir. Padahal, di Premier League, klub juara cuma mendapat uang hak siar 1,6 kali lebih banyak ketimbang sang juru kunci.

Grafis: Tifosy

Ketimpangan ini yang harus dipangkas. Uang harus dibagikan lebih rata lagi, jarak antartim diperpendek. Sebab, tim seperti Bayern yang notabene terus berada di Liga Champions jelas akan mendapat banyak tambahan uang dari hak siar dan match fee di sana. Belum lagi dari sponsor-sponsor yang terus datang setiap tahunnya.

Karenanya, masih masuk akal jika memangkas uang hak siar. Toh, di musim 2020/21 lalu, Bayern masih bercokol di posisi tiga dalam daftar Deloitte Money League. Uang 611,4 juta euro membuat mereka jadi klub dengan revenue terbesar ketiga di muka bumi. Klub Jerman terdekat? Dortmund, di posisi 12, dengan revenue 337,6 juta euro.

Selain itu, Bundesliga harus lebih getol dalam menjual hak siar mereka di level internasional. Karena, menilik data Tifosy, pendapatan Bundesliga dari hak siar internasional hanya 200 juta euro, jauh dibandingkan dengan Premier League yang dapat 1,7 miliar euro atau La Liga dengan 900 juta euro.

Grafis: Tifosy

Peningkatan jumlah hak siar internasional tentu akan berdampak pada peningkatan uang hak siar ke klub-klub. Dengan uang dari hak siar yang lebih merata dan meningkat, bukan tak mungkin klub-klub mengubah persepsi mereka untuk tidak mudah melego bintangnya. Sebab, toh, uang yang masuk dari sektor lain jadi lebih banyak.

Sebagaimana yang dikatakan Philipp Lahm, dominasi Bayern yang terus menerus ini tidak bagus buat Bundesliga. Kompetisi harus lebih kompetitif. Jika tidak bisa sekompetitif Serie A musim ini, paling tidak bisa seperti Premier League yang punya lebih dari satu calon juara.

Dan dua hal yang dijabarkan di atas, soal perencanaan tim dan distribusi hak siar itu, yang harus diperbaiki. Atau, ya, menunggu Bayern menurun dengan sendirinya. Hal ini masih mungkin terjadi jika melihat situasi mereka musim ini dan beberapa bursa transfer terakhir.

Jika Bayern terus kesulitan menemukan pemain-pemain baru dengan kualitas mirip dengan pemain inti, masalah bisa segera datang. Gap skuad mereka dengan klub-klub di bawahnya bisa makin rapat. Terlebih pilar macam Manuel Neuer, Thomas Mueller, sampai Robert Lewandowski sudah tak muda lagi. Bahkan nama terakhir terus diisukan tengah diminati Barcelona.

Mengingat manajemen Bayern acap mengambil keputusan di luar dugaan, kemungkinan Bayern mengalami penurunan karena skuad mereka sendiri jelas ada. Terlebih sejauh ini belum ada kabar yang mengaitkan mereka dengan nama-nama besar.

***

So, kompetitifnya Bundesliga bakal bergantung pada semua pihak: Bundesliga itu sendiri, Bayern, dan klub-klub di bawahnya. Seberapa lamanya tinggal menunggu siapa yang bergerak (ke arah positif) lebih dahulu.