Dortmund Harusnya Jadi Sinonim Bayern, Bukan Antonim

Foto: fcbayern.com

Ada beberapa faktor di mana Dortmund jadi contoh buruknya, sedangkan Bayern jadi contoh baiknya. Jika Dortmund ingin kembali juara, itu harus berubah. Dortmund harus sama baiknya dengan Bayern.

Sudah sewindu berlalu sejak terakhir kali Borussia Dortmund jadi kampiun Bundesliga. Saat itu Dortmund masih dilatih Juergen Klopp. Dalam skuat mereka masih ada nama-nama macam Robert Lewandowski, Mario Goetze, Ivan Perisic, Ilkay Guendogan, hingga Shinji Kagawa. Dortmund masih seram-seramnya, masih terkenal dengan gegenpressing-nya.

Sejak itu, mereka tak pernah mampu lagi menjadi yang pertama. Delapan tahun terakhir Dortmund lebih banyak menyelesaikan musim sebagai klub terbaik kedua di Bundesliga. Beberapa kali malah terlempar dari tiga besar.

Di sisi lain, sejak tahun 2012, Klopp sudah berhasil memenangi Liga Champions dan Premier League bersama Liverpool. Lewandoswki sudah memenangi segalanya bersama Bayern Muenchen. Goetze tak lagi laku dan akhirnya berkarier di Belanda. Kagawa sudah ke Manchester United, balik ke Dortmund, hingga sekarang tak punya klub. Cerita orang-orang yang ada di kubu Dortmund saat itu sudah macam-macam, sudah berwarna-warni.

Namun, cerita Dortmund masih sama saja: Mereka tidak berhasil jadi juara Bundesliga. Lagi, lagi, dan lagi. 

Satu hal yang juga tidak berubah sejak 2012 adalah fakta bahwa klub yang berdiri pada Desember 1909 itu masih menggunakan pemain-pemain muda sebagai tulang punggung klub.

Jadon Sancho, Erling Haaland, Giovanni Reyna, Jude Bellingham, hingga Felix Passlack adalah nama-nama yang jadi tulang punggung Dortmund saat ini. Usia mereka masih sangat muda, belum 23 tahun. Belum lagi ada pemain seperti Julian Brandt, Manuel Akanji, atau Mahmoud Dahoud yang juga belum lewat dari usia 25.

Dortmund memang timnya pemain muda dan image inilah yang lebih lekat kepada mereka ketimbang image klub juara. Selama sewindu terakhir, Die Borussen lebih terkenal sebagai klub penjual pemain muda (plus dengan harga mahal).

Lalu apa yang membedakan mereka dengan 2012? Yang pertama ada pada soal kepemimpinan. Pada musim 2011/12, ada Sebastian Kehl yang jadi pemimpin para pemain muda Dortmund. Sang pemain sebenarnya bertahan hingga 2015, tetapi sejak musim 2012/13 lebih banyak berada di ruang perawatan ketimbang di atas rumput lapangan. Dalam medio itu, Kehl 218 hari absen.

Ketiadaan sosok pemimpin di ruang ganti dan di atas lapangan itulah yang membuat kondisi Dortmund menurun. Matts Hummels sempat muncul setelah Kehl cedera dan pensiun. Namun, tak lama dia malah hengkang ke Bayern Muenchen. Marcel Schmelzer sempat diberi kepercayaan, tetapi cedera juga menggerogoti kariernya.

Ketiadaan sosok pemimpin itu terasa hingga sekarang. Marco Reus sebagai kapten saat ini lebih banyak menghabiskan waktu di ruang perawatan. Dia terlalu sering cedera sehingga tak bisa memimpin rekan-rekannya ketika berlaga. Hummels yang sudah kembali lagi ke Signal Iduna Park pun tak jua berimpak banyak.

Musim lalu, ketika tampil bersama Reus, Dortmund hanya 2 kali kalah (ini juga 1 kekalahan dialami dari Bayern). Ketika Reus absen, mereka kalah lima kali. Secara taktik pemain berusia 31 tahun itu memang bisa digantikan pemain lain, tetapi soal kepemimpinan rasanya dia tak terganti.

Soal kedua adalah kebijakan transfer. Dortmund memang gemar menggunakan pemain muda sebagai tulang punggung. Namun, mereka tidak dijadikan rencana jangka panjang. Ketika sudah menembus susunan inti, tak lama pemain-pemain muda itu akan dijual. Dengan itu, Dortmund tidak pernah mengambil kesempatan untuk membangun skuatnya.

Misalnya, ketika musim ini mereka sedang membangun tim dengan Sancho, Haaland, dan Reyna sebagai fondasi, dua atau tiga tahun lagi fondasinya sudah berubah karena nama-nama itu bisa saja sudah hengkang. 

Seharusnya dengan pemain-pemain muda andalan yang terus dikembangkan dan dibiarkan bermain bersama, Dortmund bisa memiliki skuat yang matang. Ini matang juga belum, sudah dipetik saja. Kan jadi nunggu lama lagi untuk mendapatkan buah yang matang. Itu artinya, butuh waktu lama juga untuk punya skuat yang bisa konsisten untuk jadi juara. 

Menjual pemain memang tak ada salahnya. Itu membantu kesehatan keuangan klub. Namun, memilih mana pemain yang perlu sekuat tenaga dipertahankan dan mana yang bisa dilepas adalah langkah yang lebih ideal.

Kebijakan transfer Dortmund itu juga pernah mendapat kritik dari mantan Presiden Bayern, Uli Hoeness. “Bagaimana seorang pemain bisa menyerap DNA klub jika dia merasa dia adalah objek penjualan?” kata Hoeness. “Selama Dortmund tidak mengubah strategi (transfer) ini, saya tidak berpikir mereka akan mendapatkan tambahan 10% untuk tampil baik di pertandingan penting.”

Soal terakhir yang jadi pembeda adalah soal pelatih. Oke, Klopp yang sukses pada musim 2011/12 memang tak lagi bisa membawa Dortmund juara hingga musim terakhirnya pada 2014/15. Namun, perlu diingat bahwa ketidakberhasilan Klopp pada tiga musim terakhirnya juga tak lepas dari dua faktor yang sudah disebutkan di atas.

Masalahnya, ketika Klopp pergi, Dortmund tak berhasil mendapat pelatih yang lebih baik. Soal taktik, Thomas Tuchel, Peter Bosz, Peter Stoeger, dan Lucien Favre punya kapabilitas yang oke. Namun, satu hal yang membedakan mereka dengan Klopp adalah soal bagaimana memotivasi pemain.

Klopp, meski tak cukup berhasil di tiga musim terakhirnya, adalah sosok yang mampu memotivasi pemain-pemain muda Dortmund untuk tampil konsisten. Dia memang jago kalau urusan menumbuhkan kepercayaan diri para pemain muda. Itu masih terlihat hingga di Liverpool di mana pria berkacamata itu berhasil mengorbitkan Trent Alexander-Arnold, Joe Gomez, hingga sekarang Curtis Jones.

Nah, para penerusnya itu tidak demikian. Masalah utama keempatnya adalah ketidakmampuan menjaga konsistensi pemain, terutama pemain muda. Tuchel, contohnya. Pada musim pertama dia mampu membawa Dortmund meraih 15 laga tak terkalahkan di Bundesliga dan memiliki catatan 2,29 poin per pertandingan. Namun, pada musim berikutnya dia tak konsisten dan catatannya turun jadi 1,88 poin per pertandingan.

Favre juga mencatatkan rata-rata 2,29 poin per pertandingan di Bundesliga pada musim pertamanya melatih Dortmund. Pada musim lalu, raihannya menurun ke angka 2,03 poin per pertandingan. Di awal musim ini, catatan Favre masih mencerlang, tetapi bisa kapan saja menurun jika dia tak mampu menjaga para pemain mudanya untuk terus termotivasi tampil konsisten.

Ketiga faktor di atas kemudian berpengaruh pada satu hal: Mentalitas. 

Kurangnya kepemimpinan, sembrononya kebijakan pada transfer, dan ketidakmampuan pelatih memotivasi pemain muda menghasilkan mentalitas yang buruk di kubu Dortmund. Hasilnya mereka mudah kehilangan keunggulan, poin terbuang sia-sia, dan pada akhirnya gagal juara.

Foto: Waldemar Brandt by Unsplash


Bayern Muenchen adalah antonim dari Borussia Dortmund. Jika Dortmund punya hal buruk dari tiga faktor di atas, Bayern punya hal baiknya. Soal kepemimpinan, Bayern tak kurang. Sosok senior di klub seperti Thomas Mueller dan Manuel Neuer dipertahankan. Ketika keduanya absen, tim memupuk David Alaba atau Joshua Kimmich sebagai pengganti.

Soal kebijakan transfer, Bayern juga lebih baik. Bukan, ini bukan soal uang, tetapi bagaimana Bayern mampu menjaga pemain-pemain intinya hingga saat ini. 

Neuer, Alaba, Mueller plus Jerome Boateng dan Javi Martinez adalah nama pemain yang bermain di musim 2012/13 dan masih bertahan hingga musim ini. Empat nama pertama bahkan masih bermain secara reguler.

Bayern juga jeli mempersiapkan pemain muda untuk bisa jadi fondasi tim di kemudian hari. Alaba masih berusia 21 tahun ketika tampil di final Liga Champions dan berhasil mengalahkan Dortmund pada musim 2012/13 itu. Ada juga kasus Kimmich dan Alphonso Davies.

Kimmich disiapkan ketika Lahm berada di pengujung karier. Sekarang dia sudah jadi tulang punggung utama. Davies terus ditempa hingga kini muncul sebagai salah satu bek kiri terbaik dunia di usia yang baru 20 tahun. Keduanya akan jadi tulang punggung di tahun-tahun ke depan.

Soal terakhir, Bayern memang pernah gagal memilih pelatih dalam diri Niko Kovac. Namun, selain itu, sosok yang dipilih adalah mereka-mereka yang bisa memberikan lecutan bagi pemain di ruang ganti agar tampil konsisten dan lebih baik. Hansi Flick, pelatih saat ini, adalah contoh terbaik.

Flick mampu mengangkat mental para pemain Bayern yang sebelumnya terlihat sangat buruk pada era Kovac. Eks asisten Joachim Loew di Tim Nasional Jerman itu bahkan berhasil membawa Bayern meraih treble pada musim lalu. Dalam sebuah wawancara, Flick juga menegaskan bahwa hal pertama yang dilakukannya ketika sampai di Allianz adalah memberikan motivasi untuk mengembalikan mentalitas para pemain.

Karena itu, di saat Dortmund kesulitan dan inkonsisten dalam meraih kemenangan, Bayern bisa terus melaju untuk meraih gelar juara. Bahkan saking tidak konsistennya Dortmund, Bayern bisa juara meski dilatih oleh Kovac yang tak bagus itu.

***

Minggu (8/11/2020) tengah malam WIB nanti, Dortmund akan berhadapan melawan Bayern untuk pertama kalinya pada ajang Bundesliga musim ini. Laga akan dihelat di Signal Iduna Park. Duel ini disebut Der Klassiker. El Clasico-nya sepak bola Jerman.

Sayangnya, inkonsistensi Dortmund membuat kontes ini kerap jadi tak greget. Bagaimana tidak, dalam tiga pertemuan terakhir klub kuning-hitam itu selalu kalah dan bahkan tak mampu menciptakan gol sama sekali. Agregatnya pun telak: 0-10.

Musim ini kedua klub memang masih punya poin yang sama, yakni 15 dari hasil lima kali menang dan sekali kalah. Di atas kertas, pertandingan berimbang. Namun, perlu diingat bahwa inkonsistensi Dortmund pada musim-musim belakangan biasanya dimulai dengan kekalahan melawan Bayern.

Dortmund, bagaimanapun, memang mesti berbenah. Manajemen perlu melihat kegagalan selama delapan tahun untuk menjadi lebih baik. Atau, jika boleh menyarankan, mereka sebaiknya berkaca pada Bayern. Dalam beberapa hal, klub asal Bavaria itu tak seharusnya jadi antonim buat Dortmund, tetapi jadi sinonim.

Sebab, dengan memperbaiki faktor-faktor buruk yang dimiliki mereka itulah Dortmund punya jalan untuk kembali jadi nomor satu di Bundesliga. Atau, mengutip Jonathan Liew dalam tulisannya di The Guardian, Dortmund ingin menjadi 'klub menengah yang terjebak di dunia raksasa' saja? Tentu mereka tak mau menggulingkan batu setiap tahun untuk mencapai atas bukit, tetapi di tengah jalan batu itu justru menimpa diri mereka sendiri.