Dua Musim Alphonso Davies Mengubah Mimpi

Foto: @alphonsodavies

Jika menjadi idola anak kecil satu negara adalah prestasi tertinggi pesepak bola, Davies barangkali sudah mendapatkannya.

Alphonso Davies hanya butuh dua musim untuk mengubah mimpi anak-anak Kanada. Dari pemain ice hockey menjadi pesepak bola.

Sepak bola bukan olahraga yang diminati oleh anak-anak Kanada. Oleh karena itu, hampir semua calon yang mendaftar pemilihan presiden federasi sepak bola Kanada selalu menjanjikan kemajuan dan kebaruan.

Janji tersebut juga diumbar oleh Steve Reed. Tanpa bermaksud meremehkan kompetensi dan prestasi sepak bola perempuan di Kanada, ia mengaku bahwa seharusnya sepak bola pria di sana bisa berkembang lebih jauh.

Reed kemudian terpilih dan mimpinya seakan terwujud saat Davies bergabung dengan Bayern Muenchen pada 2019. “Saya pikir ia memulai mimpi untuk anak-anak Kanada bermain sepak bola,” kata tangan kanan Reed, Jason de Vos, kepada The Athletic.

Davies sama sekali tidak terbebani dengan label tersebut. Ia menjalani kehidupan layaknya pesepak bola yang datang dari negara yang tak memiliki tradisi sepak bola pada umumnya. Ia berjuang dari satu perjuangan ke perjuangan lain.

Perjuangan memang mengalir di darah Davies. Orang tua Davies, Debeah dan Victoria, melahirkan dan membesarkannya di kamp pengungsian di Buduburam, 44 km dari ibu kota Ghana, Accra.

Pada 2005, mereka memutuskan untuk mengungsi ke Edmonton, Kanada, tanpa kenal siapa pun di sana. Debeah kemudian bekerja di tempat peternakan dan pemotongan ayam, sementara Victoria bekerja sebagai staf keuangan di University of Alberta.

Pada saat orang tuanya bekerja, Davies memulai hidup di dunia sepak bola. Nyaris setiap pulang sekolah, ia bermain sepak bola bersama klub bernama Free Footie. Klub ini didedikasikan untuk anak-anak yang orang tuanya tak memiliki kemampuan finansial.

Bakat Davies kemudian ditemukan oleh Marco Bossio, direktur ekstrakurikuler di sekolah Edmonton’s St Nicholas. Bossio merasa bahwa bakat Davies amat sayang untuk disia-siakan. Ia lantas membawa Davies untuk mengikuti trial di klub Major League Soccer (MLS), Vancouver Whitecaps.

“Kami tahu bahwa Davies memiliki bakat yang luar biasa,” kata Carl Robinson, pelatih tim junior Whitecaps, “ia mampu melahap semua sesi latihan dan melakoni pertandingan dengan amat baik. Penampilan dan konsistensinya menjadi contoh pemain lain.”

Pujian tak cukup membuat hidup Davies bahagia. Jarak 1.000 km lebih yang memisahkan Edmonton dengan Vancouver membuat ia harus berpisah dengan keluarga. “Satu-satunya masalah Davies adalah ia hidup jauh dari keluarga di usia muda,” ujar Robinson.

Pada usia 15 tahun, Davies mendapatkan kesempatan untuk berlatih di tim utama. Beberapa wartawan menilai keputusan Whitecaps terlalu cepat dan dinilai justru membahayakan. “Cara terbaik untuk mengapresiasi pemain muda adalah melibatkannya di level tertinggi. Kami tak merasa ada yang salah dengan keputusan ini,” imbuh Robinson.

Keputusan Whitecaps untuk memberikan kesempatan bagi Davies menjadi langkah yang tepat. Ia menjalani debut pada usia 15 tahun. Pada usia 16 tahun, ia sudah mengunci satu posisi di tim utama dan menjadi salah satu pemain sayap paling disegani di MLS.

Babak baru dalam hidup Davies dimulai saat ia bergabung Bayern. Bukannya diam dan menunggu kesempatan untuk bermain, berada di tim sebesar Bayern justru semakin memacunya untuk berlatih keras.

Penampilan Davies pada musim pertamanya di Bayern berjalan tak terlalu mengesankan. Namun demikian, untuk pemain yang masih berusia 18 tahun dan berasal dari Amerika Utara, catatannya dianggap sebagian pihak udah lebih dari memuaskan.

Masalah utama Davies di Jerman adalah bahasa. Sebagai anak yang besar dibesarkan di Vancouver, yang mayoritas berbahasa Inggris, ia sama sekali tidak mengerti Bahasa Jerman. “Pelafalan dan struktur bahasanya amat sulit,” kata Davies.

Davies mengambil kursus Bahasa Jerman beberapa kali dalam seminggu. Untuk menambah kelancaran berbahasa, ia banyak menghabiskan waktu dengan David Alaba. Lambat laun, keduanya menjadi dekat dan akrab.

“Dua minggu pertama saya di sini berjalan amat buruk,” kata Davies, “dari dia (Alaba), saya tahu bahwa di sini semua orang haus akan kemenangan dan sama sekali tidak menoleransi kekalahan.”

Perpindahan tongkat kepelatihan dari Niko Kovac ke Hansi Flick pada November 2019 mengubah keberuntungan Davies. Ditambah perubahan posisi Alaba, dari bek kiri ke bek tengah, ia perlahan mendapatkan posisi inti. Sejauh ini, musim 2019/20 pun menjadi musim terbaiknya.

Di tangan Flick, Davies tampil sebagai bek sayap yang agresif. Ia tak kuat saat dihadapkan pada tugas bertahan menghadapi lawan, tapi juga cepat saat dibutuhkan untuk membantu serangan.

Meski bermain sebagai pemain belakang, Davies memiliki peran yang amat besar ketika menyerang. Dalam pola 4-2-3-1 yang digunakan oleh Flick, ia dituntut naik setinggi mungkin demi menambah opsi serangan.

Tugas tersebut membuat Davies memiliki statistik yang lumayan tinggi untuk ukuran pemain belakang. Dalam 29 pertandingan musim lalu, ia membuat 2,8 dribel dan 1,3 umpan kunci per pertandingan.

Dribel adalah senjata utama Davies untuk menjadi pemain besar. Perpaduan antara kecepatan dan kecerdikan menjadikan dribel Davies cukup sulit untuk dihentikan. Pemain Bayern, Kingsley Coman, bahkan menyebutnya sebagai pemain paling cepat di Die Roten.

Torehan apik Davies tak hanya dari aspek menyerang, tapi juga bertahan. Sepanjang musim lalu, Davies membukukan rata-rata 2,4 tekel dan 1,1 intersep per pertandingan. Jumlah itu paling tinggi di antara pemain Bayern lain.

Intersep terbaik Davies jatuh pada laga melawan  Borussia Dortmund pada pekan ke-28 Bundesliga musim lalu. Saat itu, ia mampu berlari dengan kecepatan 35,3 km/jam untuk menghentikan dribel Erling Haaland yang telah berada di dalam kotak penalti Bayern.

Perjuangan Davies tak sia-sia saat Bayern menutup musim 2019/20 dengan tiga gelar juara, Bundesliga, DFB Pokal, dan Liga Champions. Pada level individu, ia menjadi pemain sepak bola pria terbaik Kanada dan masuk ke dalam Squad of the Season Liga Champions.

Tantangan Davies mungkin akan sangat banyak ke depannya. Apalagi ia baru menginjak usia 20 tahun. Namun, seandainya waktu berhenti di sini, Davies rasanya akan selalu diingat sebagai salah satu pemain yang berhasil mewujudkan mimpi.