Efektif seperti Jens Petter Hauge

Foto: AC Milan

Jens Petter Hauge tak memiliki banyak kesempatan untuk bermain musim ini. Namun, tiap kali diturunkan, ia membayarnya dengan lunas.

Kehadiran Erling Braut Haaland seakan menandakan kebangkitan sepak bola Norwegia. Namun, Haaland bukan satu-satunya. Sejumlah pesepakbola muda Norwegia lainnya juga bermunculan memberkahi rumput-rumput Benua Biru.

Haaland bersinar bahkan sejak belum bermain di Bundesliga. Namanya harum sebagai striker muda haus gol yang memperkuat kesebelasan dengan status tak seberapa, RB Salzburg. Bersamaan dengan Haaland, ada juga Alexander Sorloth yang menjejaki Bundesliga bersama RB Leipzig.

Menyeberang ke Inggris, ada Martin Odegaard, pemuda lainnya yang sudah sejak lama digadang-gadang bakal jadi bintang masa depan sepak bola. Sempat tertatih-tatih, Odegaard perlahan-lahan menemukan pijakan kuat. Setelah bersinar bersama Real Sociedad, ia kini kembali membuktikan kemampuannya bersama Arsenal.

[Baca Juga: Odegaard dan Jalan Lain Mencari Kesempatan]

Meski begitu, talenta Norwegia tak cuma tersebar di Inggris dan Jerman saja. Italia juga ikut menjadi destinasi karier bagi para pemuda-pemuda Negara Skandinavia itu. Salah satu pemuda Norwegia yang mencuat di Serie A itu bernama Jens Petter Hauge.

Didatangkan oleh Milan pada bursa transfer musim panas 2020/21, Hauge memang tak selalu tampil reguler. Namun, efektivitasnya saat tampil ditambah usianya yang masih cukup belia—21 tahun—membuat prospek yang menjanjikan untuk kubu Rossoneri.

[Baca Juga: Isn’t It Good, Norwegian Wood?]

***

Kota Bodo di sebelah utara Norwegia tentu sangat berbeda dengan Milan. Kota dengan luas cuma 1.395 kilometer itu hanya memiliki penduduk tak kurang dari 50.000 jiwa.

Jauh sebelum mengecap gemerlap Milan, di kota kecil itulah Hauge lahir dan berkembang. FK Bodo/Glimt, kesebelasan yang sampai saat ini diperkuat oleh 40% pemain lokal, menjadi tempat Hauge menimba ilmu sepak bolanya.

Sejak usia 13 tahun, Hauge berkiprah di tim junior Bodo. Namun, desas-desus mengenai potensi yang ia miliki membuat pemantau bakat berdatangan. Baru dua tahun berlatih, Hauge sudah mendapatkan tawaran untuk trial di luar Norwegia.

Salah satu orang yang memantau Hauge adalah eks pemain Tottenham Hotspur dan Queens Park Rangers, Scott Chickelday. Ia tak sekadar menyaksikan permainan Hauge secara lewat cuplikan video, tetapi juga melihatnya secara langsung. Chickelday terkesima. Dari situ, Hauge ia ajak ke Inggris untuk menjalani trial bersama Reading.

"Hauge datang ke akademi Reading dan menampilkan permainan yang luar biasa. Saya ingat, saya menonton dua pertandingannya dan dia benar-benar fenomenal," kata Chickelday.

Reading juga sama terkesimanya dengan Chickelday. Kabarnya, Reading mereka langsung menawarkan kontrak kepada Hauge saat itu.

Namun, FK Bodo selaku pemilik Hauge meminta kompensasi sebesar 10.000 euro. Di sini Reading menolaknya. Klub yang bermarkas di Madjeski Stadium itu belum berani mengeluarkan dana untuk mendatangkan Hauge.

Kesepakatan pun tak terjadi. Hauge kembali ke Norwegia dan melanjutkan kariernya bersama FK Bodo.

Pepatah lama mengatakan 'Banyak Jalan Menuju Roma' dan itu tepat untuk Hauge. Pada akhirnya, Hauge memang tidak berjalan menuju Roma; garis nasib menuntun dia menuju Milan. Ia menapaki jalan tersebut dengan cara membuktikan diri di Eliteserien—kompetisi divisi utama Norwegia.

Hauge sukses membawa klub kampung halamannya itu menjadi kampiun pada 2020. Itulah kali pertama FK Bodo/Glimt menjadi juara, merusak dominasi Molde dan Rosenborg.

Tidak sekadar menjadi kepingan penting FK Bodo/Glimt, Hauge juga mendapatkan pengakuan sebagai pemain terbaik kompetisi pada musim tersebut. Pengakuan tersebut amat sulit dibantah karena ia mengemas 14 gol dan 9 assist dari 17 pertandingan yang ia lakoni.

Untuk ukuran pemain yang baru berusia 20 tahun dan menjalani musim ketiganya di Eliteserien, catatan tersebut terbilang impresif. Progres Hauge sebagai pemain terlihat nyata. Desas-desus soal kemampuannya, yang menyebabkan para pemandu bakat berdatangan, bukan isapan jempol.

Seperti banyak pemain muda menjanjikan lainnya di berbagai belahan dunia, satu-satunya cara Hauge untuk meningkatkan kemampuan adalah dengan pergi merantau. Jalan untuk membuka lembaran baru dalam kariernya datang dengan cara tak biasa.

Setelah berhasil menjadi juara liga, FK Bodo/Glimt pun menjadi wakil Norwegia di Liga Europa. Mereka lantas bertemu AC Milan pada babak kualifikasi Liga Europa. Bodo memang akhirnya menelan kekalahan, tetapi Hauge justru mendapatkan berkah.

Dalam pertemuan dengan Milan itu, Hauge-lah satu-satunya pemain yang mencuri perhatian. Pemain yang berposisi sebagai winger kiri itu sukses membikin satu gol dan satu assist. Tak heran, pujian datang kepadanya, termasuk dari pelatih Milan, Stefano Pioli.

"Kami telah mengawasinya dan kami tahu dia memiliki kepandaian untuk masuk ke dalam kotak penalti. Pergerakannya juga baik di sayap. Dia pasti bisa bermain dengan level tinggi Eropa," kata Pioli.

Kehebatan Hauge membuat Milan kesemsem. Hauge langsung melakukan komunikasi dengan Paolo Maldini selepas laga melawan Milan.

"Ada percakapan [dengan Paolo Maldini]. Dan tentu saja, saya tidak sabar untuk kembali ke sana dan berbicara dengan mereka lagi," ucap Hauge saat itu.

Hauge akhirnya hijrah ke Milan sepekan setelah kedua tim berjumpa. Pemain kelahiran 12 Oktober 1999 itu didatangkan dengan mahar sebesar 5 juta euro; ia menandatangani kontrak hingga Juni 2025.

Kedatangan Hauge juga mengindikasikan kalau Milan ingin melakukan peremajaan skuad. Sebelum Hauge, sudah ada Sandro Tonali (20) dan Brahim Diaz (21) yang didaratkan ke San Siro. Langit-langit di atas kepala ketiganya masih amat jauh untuk digapai.

***

Hauge, boleh dibilang, merupakan winger kekinian. Ia tidak bergerak menyisir sisi lapangan seperti winger klasik dan bekerja melepas umpan belaka, melainkan ikut melakukan tusukan ke kotak penalti, tahu di mana penempatan posisi yang tepat ketika timnya melakukan serangan, dan ikut melancarkan serangan.

Dengan kekuatan kaki kanan, Hauge bergerak dari sisi kiri penyerangan Milan. Di sini, Hauge memiliki opsi untuk melepaskan tendangan langsung atau memberikan bola ke penyerang tengah.

Satu hal lain yang membuat Hauge berbahaya, selain penempatan posisinya, adalah timing-nya. Jika sepak bola modern adalah perkara menafsir ruang dan waktu secara tepat, Hauge amat fasih menjalankannya. Lihat saja gol-gol yang sudah dia ciptakan untuk Milan musim ini.

Pada momen yang tepat, Hauge akan berada di half-space dan meneror celah yang ada di sana. Dengan pergerakannya yang lincah dan olah bola yang lengket, lawan jadi kewalahan menjaganya.

Memang, Hauge belum mendapat menit bermain yang banyak bersama Milan. Pemain bernomor punggung 15 itu masih kalah bersaing dengan Rafael Leao atau Ante Rebic yang lebih senior darinya.

Namun, Hauge bisa memberikan efektivitas. Ada lima gol yang sudah ia buat hanya dari 800 menit penampilannya bersama Milan.

Kalau dipercaya bermain selama 90 menit penuh, Hauge selalu membayarnya dengan lunas. Lihat saja saat Milan bertemu Celtic dan Sparta Praha di pentas Liga Europa. Pada dua pertandingan itu, Hauge tampil penuh untuk Milan; ia berhasil membuat dua gol dan satu assist.

Liga Europa memang menjadi pentas untuk Hauge untuk mengasah diri. Di sana, ia menjadi top skor Milan bersama Diaz dengan torehan tiga gol. Rata-rata umpan kuncinya juga cukup tinggi dengan angka 1 per laga.

Catatan itu cuma kalah dari Hakan Calhanoglu, Alexis Saelemaekers, dan Davide Calabria.

Sayangnya, Milan sudah tak lagi mentas di Liga Europa. Zlatan Ibrahimovic dan rekan-rekannya takluk dari Manchester United pada babak 16 besar.

Meski begitu, Hauge menunjukkan bahwa ia memiliki harapan—dan memberikan harapan untuk siapa pun yang ia bela. Tak cuma untuk Norwegia, tetapi juga untuk Milan.