Ekspektasi untuk Thiago

Ilustrasi: Arif Utama

Thiago dianggap gagal. Dia dikritik karena banyak hal, beberapa di antaranya adalah jumlah gol dan assist-nya. Namun, mengkritik Thiago cuma dari jumlah gol dan assist-nya juga salah kaprah. Kami menjelaskan duduk perkara perihal performa Thiago musim ini.

"Dan jika Liverpool mendapatkan Thiago dari Bayern Muenchen, saya rasa [pertarungan gelar juara] sudah selesai. Itu [pembelian] lebih baik dari [kemungkinan transfer] Lionel Messi ke Manchester City."

Kata-kata itu diucapkan Wayne Rooney pada Agustus lalu. Bagi mantan pemain Manchester United itu, Thiago akan membuat skuad Liverpool makin komplet dan, itu artinya, gelar juara akan lebih mudah dipertahankan. Asumsi Rooney cukup wajar jika mengingat kegemilangan Thiago bersama Bayern pada musim 2019/20. Selain itu, pada musim yang sama, Liverpool sendiri juga superior di Premier League.

Saat itu, banyak sekali yang setuju dengan Rooney. Tentu saja dengan alasan yang sama.

Yang Rooney dan orang-orang lain lupa: Janganlah membuat prediksi terlalu cepat. Di sepak bola, kejutan tak punya jam besuk. Dia bisa datang kapan dan dalam momen apa saja. Untuk urusan Thiago ini, prediksi itu bisa dipatahkan saat musim baru menginjak gameweek 20-an saja.

Di Februari, Liverpool sudah keluar dari persaingan gelar juara. Thiago belum bisa berbuat banyak. Alih-alih jadi juru selamat baru The Reds, pemain asal Spanyol itu justru jadi sasaran kritik para suporter maupun pandit. Dia dianggap tampil tak sesuai ekspektasi. Ada yang bilang dia memperlambat permainan Liverpool, ada yang bilang dia tak cocok dengan sistemnya Juergen Klopp.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi dengan Thiago? Apakah asumsi banyak orang terhadapnya benar? Well, kami coba menganalisis permainan dan statistiknya musim ini untuk mengetahui persoalan Thiago ini.

***

Hal pertama yang harus diketahui semua orang untuk berekspektasi pada Thiago adalah: Dia baru menginjakkan kaki pertama kali di kancah sepak bola Inggris. Sepanjang karier seniornya, dia cuma pernah main di Spanyol dan Jerman. Kebetulan, La Liga dan Bundesliga mirip-mirip; lebih teknikal dan dinamis.

Thiago jelas harus beradaptasi ekstra ketika pindah ke Premier League yang mengedepankan fisik dan kecepatan. Terlebih, dia juga pindah ke Liverpool yang sudah punya sistem yang kuat. Thiago, mau tak mau, harus bisa mengaplikasikan gaya bermainnya di kultur dan sistem yang baru ini.

Sial bagi Thiago, pada awal-awal masa adaptasi, dia justru positif COVID-19 dan mengalami cedera panjang setelahnya. Pada September dan Oktober yang seharusnya jadi masa adaptasi, Thiago justru menghabiskan waktu di ruang perawatan. Pemain kelahiran Italia itu baru kembali ke lapangan pada akhir tahun 2020.

Saat Thiago kembali, situasi Liverpool sudah tak ideal. Kondisi tim karut-marut. Badai cedera sudah menerpa. Tak ada lagi Virgil van Dijk, tak ada Fabinho dan Jordan Henderson di lini tengah. Kondisi tim kepalang tak stabil. Dari situ, penampilan Thiago naik-turun seiring dengan tidak konsistennya performa tim.

Sejak akhir tahun lalu hingga saat ini, dia baru meraih tiga kemenangan pada ajang Premier League. Pada ajang yang sama, belum ada gol atau assist yang dia ciptakan. Dalam empat pertandingan terakhir, mantan penggawa Barcelona ini juga tak pernah bermain 90 menit penuh. Dia selalu ditarik keluar/masuk sebagai pengganti.

Thiago nyatanya masih belum bisa nyetel di pola 4-3-3 Liverpool. Dia masih meraba-raba. Selain karena harus beradaptasi saat situasi tim tak ideal, Thiago sebelumnya juga lebih banyak bermain di pola 4-2-3-1. Dalam pola tersebut, dia bermain sebagai salah satu dari dua gelandang tengah.

Tugas Thiago pada pola 4-2-3-1 adalah sebagai penghubung antara lini belakang dengan lini serang. Di Bayern, dia punya tugas untuk mengalirkan bola ke tiga gelandang serang yang ada di depannya. Aliran bolanya diharapkan mampu melewati garis pertama pertahanan lawan.

Sebagai jembatan Bayern, Thiago lebih banyak beroperasi di area lapangan sendiri dan area awal lapangan lawan. Dia jarang sampai di area sepertiga akhir. Ini yang kemudian membedakan dengan di Liverpool, di mana dia harus terbiasa bermain lebih ke depan.

Buktinya, berdasarkan peta sentuhan yang dihimpun The Athletic, sentuhan Thiago di lapangan sendiri jauh berkurang dibanding musim lalu. Sebaliknya, sentuhannya di area sepertiga akhir (terutama area depan kotak penalti lawan) justru meningkat. Perubahan ini yang membuat Thiago harus beradaptasi lebih.

Peta sentuhan Thiago. Arah lapangan ke kanan.

Namun, jangan harapkan Thiago untuk menghasilkan end-product. Ini yang harus dimengerti. Tengok saja histori statistiknya dan Anda pasti tak akan menemukan banyak assist. Musim lalu, dari 23 penampilan di Bundesliga, dia tak pernah menciptakan assist. Torehan terbanyaknya di liga datang pada musim 2018/19. Itu pun total cuma enam assist dari 30 penampilan.

Oleh karena itu, mengkritik Thiago dari jumlah assist (atau bahkan gol) tidaklah adil. Yang harus kita lihat dari Thiago adalah angka kontribusi peluang (ini bisa dihitung dari umpan yang dia lepaskan kepada pemain lain, sebelum pemain itu melepaskan umpan kunci/assist yang menghasilkan tembakan dari pemain lainnya). Pendeknya, umpan sebelum umpan kunci/assist yang menghadirkan tembakan.

Musim ini, Thiago mencatatkan angka 2,9 kontribusi peluang per 90 menit bersama Liverpool. Menariknya, angka itu sama dengan catatannya untuk Bayern pada musim lalu. Di Liverpool angka 2,9 itu adalah yang terbaik keempat. Thiago hanya kalah dari Sadio Mane, Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Trent Alexander-Arnold.

Thiago sudah menunjukkan kontribusinya untuk bisa membuat Liverpool punya peluang. Dalam laga melawan Sheffield United dini hari tadi contohnya. Peluang pertama Liverpool lewat Firmino didapatkan setelah Thiago melepaskan umpan cerdik kepada Mane.

Atau, silakan tonton ulang partai final Liga Champions musim lalu. Satu-satunya gol Bayern Muenchen pada laga itu diawali oleh umpan cerdik Thiago yang bisa membongkar lini tengah Paris Saint-Germain untuk menjangkau Joshua Kimmich. Akhirnya Kimmich mampu melepaskan assist yang berujung gol Kingsley Coman.

Soal kontribusi akan peluang, Thiago memang masih bisa dikatakan oke. Namun, masih ada statistik yang menunjukkan kesulitannya beradaptasi dalam pola 4-3-3. Yang pertama ada dalam angka umpan sukses yang dia lepaskan. Musim ini, Thiago hanya mencatat 89,6% akurasi umpan per laga. Sementara musim lalu, meski jaraknya tipis, dia bisa menembus angka 90,5%.

Selain itu, Thiago juga jadi lebih mudah kehilangan bola. Di Liverpool, dia kehilangan penguasaan bola 12,6 kali per 90 menit. Sementara di Bayern musim lalu, dia kecolongan 12,3 kali per 90 menit. Angka ini yang kudu ditingkatkan oleh Thiago, terutama jika dia sedang berada di area lapangan sendiri.

Hal lain yang perlu jadi perhatian dari Thiago ada pada aspek defensif. Musim lalu, dia adalah rajanya intersep dan ball recoveries (aksi memenangi bola kembali). Dia mencatatkan 2,3 intersep dan 10 ball recoveries per 90 menit di musim lalu untuk Bayern. Musim ini, bersama Liverpool, angkanya menukik.

Thiago cuma mencatatkan 1,9 intersep dan 7,5 ball recoveries per 90 menit saat berseragam Liverpool. Selain itu, angka memenangi duel darat (ground duel) juga turun. Musim ini dia hanya menang 5,5 duel darat per 90 menit, berbanding 6,6 pada musim lalu. Akurasi tekel bersihnya juga buruk, di mana musim ini dia hanya mencatatkan rasio sukses 41% (terburuk jika dibanding gelandang inti Liverpool).

Tak cuma itu, pemain yang punya darah Brasil ini juga lebih "jorok". Musim ini dia mencatatkan 3 pelanggaran per 90 menit. Di mana jika dibanding dengan para pemain inti klub-klub Premier League lainnya, angka milik Thiago adalah yang paling tinggi. Itu pula yang menyebabkan dia sejauh ini mengoleksi tiga kartu kuning.

Menurunnya sisi defensif Thiago ini juga terjadi karena sulitnya dia beradaptasi di kultur sepak bola Inggris yang amat mengandalkan fisik. Sebagai pemain yang juga dituntut punya atribut defensif yang apik, dia sering salah ambil keputusan. Thiago belum benar-benar menemukan cara yang tepat untuk menjegal pemain-pemain Premier League.

Selain itu, ketiadaan Henderson dan Fabinho di lini tengah yang biasanya melakukan tugas-tugas "kotor" buat Liverpool juga mempersulit Thiago. Tak ada sosok yang bisa mengovernya dan mau tak mau dia harus melakukan aksinya sendiri. Sayang, itu sering jadi keputusan yang salah. Maka akan lebih adil dalam melihat penampilan Thiago jika lini tengah Liverpool sudah dalam kondisi komplet.

Klopp sejauh ini juga sudah coba menemukan formula untuk bisa mengeluarkan sisi terbaik seorang Thiago. Kadang formula itu berhasil, kadang juga tidak. Namun, dari laga melawan Sheffield, terlihat ada kemajuan. Klopp dalam laga itu menerapkan pola 4-2-3-1 di mana Thiago berduet dengan Gini Wijnaldum di tengah.

Sementara itu, Curtis Jones yang biasanya ditugaskan sebagai gelandang tengah ketiga, justru diplot lebih ke depan. Hasilnya bagus, Liverpool menang 2-0 dan Thiago bermain tak jelek. Dari grafis passing network yang dihimpun Twenty3 Sports ini, terlihat jelas Thiago sukses menjalankan peran sebagai jembatan antarlini.

Grafis: Twenty3

Pola permainan seperti ini bisa terus dicoba Klopp untuk memaksimalkan Thiago. Toh, pola ini juga membuat Liverpool bisa mendapatkan banyak sekali peluang, karena dalam situasi tertentu mereka bisa punya lima sampai enam pemain di area sepertiga akhir lawan. Hal yang bisa dipakai untuk membongkar low-block.

***

Berekspektasi tinggi pada Thiago di tengah situasi adaptasi yang tak ideal + kondisi tim yang sedang compang-camping tidaklah tepat. Ditambah lagi, lulusan Bundesliga yang hijrah ke Premier League musim ini seperti Timo Werner dan Kai Havertz juga masih belum bisa nyetel betul di timnya.

Ketika nanti Liverpool sudah punya skuad yang lengkap di mana Thiago akan bermain di depan Van Dijk dan dikover oleh Fabinho atau Henderson, barulah kita bisa menilainya. Ketika ternyata dia terus bermain buruk dan tak ada perbaikan pada aspek statistik, maka itulah saat yang tepat buat menghardik permainan pria 29 tahun itu.

Kalau saat ini, sih, belum.