El Tigre

Foto: @FootyAccums.

Karena harimau tidak akan mudah dijinakkan. Bukan begitu, Falcao?

Campur aduk perasaan Jim Peterik dan Frankie Sullivan saat itu. Mesin penjawab milik mereka berkedip, tanda seseorang meninggalkan pesan. "Hei Jim, senang menghubungimu. Ini Sylvester Stallone,” begitu bunyinya.

Jim dan Frankie tak pernah membayangkan akan sedekat ini dengan Stallone. Di era itu ia adalah superstar. Stallone telah membintangi puluhan film, termasuk dua edisi “Rocky”.

Dalam triloginya kali ini, Stallone menginginkan nuansa yang berbeda. Melepas tembang "Gonna Fly Now” garapan Bill Conti yang begitu ikonik. Sebagai gantinya, Stallone memilih genre hard rock. Pertama, untuk menanggalakan bayang-bayang John Guilbert Avildsen sebagai sutradara “Rocky” edisi pertama. Selanjutnya, karena Stallone mengincar pasar anak-anak muda.

"Another One Bites The Dust" kepunyaan Queen menjadi pilihan awal Stallone. Namun, ia terkendala perizinan. Itulah yang terjadi sebelum Stallone menghubungi dua pentolan Survivor tersebut. Alasan lain mengapa Stallone memilih Jim dan Frankie karena mereka adalah otak di balik "Youngblood" yang juga salah satu lagu favoritnya.

Pilihan Stallone tak salah. Lagu dan lirik Survivor serasi betul dengan “Rocky III”. Ini bahkan menjadi salah satu soundtrack terbaik yang pernah ada. Apa yang ditulis Jim dan Frenkie merepresentasikan kondisi Rocky Balboa yang mulai mapan sehingga membuatnya tak lagi lapar akan gelar. Dan ”The Eye Of The Tiger," seperti memacu Rocky untuk kembali mendapatkan hasrat serta mental juaranya yang dulu menggebu.


***

Hanya 10 menit yang Radamel Falcao butuhkan untuk mencetak gol di laga debutnya. Sepakan kaki kanannya menhunjam gawang David Soria, membawa Rayo Vallecano menang atas Getafe 0-3. Tidak banyak yang menyangka Falcao masih setajam ini. Usianya sudah menginjak 35 tahun dan rentan cedera. Namun, Raul Martin Presa tidak termasuk di antaranya. Presiden Rayo itu yakin semangat El Tigre masih menyala.

Sebelumnya Rayo telah menghabiskan hari-hari terakhir di jendela transfer untuk mencari striker baru. Uros Djurdjevic (Sporting Gijon), Mariano Diaz (Real Madrid), dan Lucas Perez yang berstatus bebas transfer menjadi targetnya. Apes, semuanya kandas.

Hingga akhirnya Mario Suarez berinisiatif menghubungi Falcao. Keduanya pernah bermain bersama di Atletico Madrid. “Siapa tahu kami bisa bereuni,” pikir Suarez. Lagipula Falcao juga sedang menganggur setelah mengakhiri kontrak dengan Galatasaray pada awal September.

Namun, itu tak membuat segalanya berjalan mulus. Arsitek Rayo, Andoni Iraola, ragu Falcao bakal menjadi solusi atas kebutuhan tim. Pun dengan David Cobeno selaku direktur olahraga. Performa selama dua musim ke belakang menjadi dasarnya. Dari 41 pertandingan terakhir, Falcao “cuma” mampu mengemas 20 gol. Belum ditambah dengan faktor cedera. Striker Kolombia itu absen 119 hari sepanjang musim 2020/21 dan mayoritas akibat masalah otot. 

Di sana Presa memainkan peran penting. Ia berhasil meyakinkan Iraola dan Cobeno untuk merekrut Falcao. Sebab, dari karakteristik permainan, poacher seperti dirinya bakal cocok dengan pakem 4-2-3-1 milik Iraola.

Tak bisa dimungkiri juga bahwa popularitas Falcao menjadi salah satu alasan perekrutan ini. Presa melihatnya sebagai magnet yang bisa meningkatkan nilai jual Rayo. Saat Falcao memiliki 14 juta pengikut di Instagram, Rayo baru menyentuh angka 138 ribu. Ya, sejauh itu. 

Rayo pernah mengambil langkah serupa saat menampung Hugo Sanchez dari Real Madrid pada musim 1993/94. Kebetulan, usianya juga sudah 35 tahun waktu itu. Total 17 gol berhasil dibuat striker legendaris Meksiko tersebut dalam semusim. Tak buruk, meski itu tak cukup menghindarkan Rayo dari degradasi.

Menjadi masuk akal bila Rayo butuh atensi hingga kini. Mereka bukan klub bergelimang duit. Rayo juga menjadi klub yang paling irit dibanding dengan tetangga sekotanya, Real Madrid dan Atletico Madrid. Tak ada gelar Copa del Rey apalagi La Liga. Singkatnya, Rayo adalah semenjana di tengah dua raksasa ibukota. 

Sementara musim 2021/22 ini adalah ke-19 kalinya Rayo mejeng di La Liga. Sempat promosi pada tiga musim lalu, akan tetapi mereka dipulangkan ke Segunda setahun kemudian. Sekarang Rayo memulai lembar baru sebagai tim promosi paling ganas dan nangkring di posisi enam teratas. Dan Falcao, mengambil peran penting di sana.

***

Di Santa Marta, Kolombia, Falcao lahir. Ia kemudian hijrah ke Venezuela saat berusia lima tahun. Itu bukan tanpa alasan kuat. Ayahnya, Radamel Garcia, memutuskan untuk bergabung dengan klub Venezuela, Deportivo Tachira F.C.

Betul, dari Garcia-lah Falcao mendapatkan darah pesepak bola. Ia merupakan salah satu bek ternama di Kolombia. Garcia pula yang mengarahkan Falcao untuk memilih sepak bola dibanding bisbol. Di Venezuela, bisbol merupakan olahraga yang digandrungi banyak orang, termasuk bocah seperti Falcao.

“Saat itu kami berada di Venezuela dan bisbol adalah olahraga terbesar di sana. Aku memainkannya dan sudah bersaing di level yang sangat tinggi. Akan tetapi, sepak bola mengalir dalam darahku dan aku benar-benar ingin bermain sepak bola,” ucap Falcao dilansir UEFA.com.

Menyadari hasrat anaknya kepada sepak bola, Garcia lantas memboyongnya kembali ke Kolombia. Akan lebih sulit mengembangkan potensi Falcao di Venezuela. Kultur kental bisbol menjadi faktor pertama. Selanjutnya, karena Kolombia memiliki ekosistem sepak bola yang lebih elit ketimbang tetangganya itu.

Benar saja, Falcao mendapatkan kesempatan mentas di usia dini. Bersama Lanceros, ia melakoni debutnya di divisi dua Kolombia pada umur 13 tahun 199 hari. Tak ada yang pernah melakukannya semuda itu.

Apa yang ditunjukkan Falcao memikat River Plate. Mereka memboyongnya pada Februari 2001 dan menggemblengnya di tim junior. Empat tahun kemudian pelatih River, Lenardo Astrada, memberinya debut versus Instituto Cordoba. Sisanya adalah sejarah. Falcao menjarah trofi di manapun dia berdiri.

River dibawanya juara Liga Primer Argentina (Clausura) 2007/08. Disusul enam gelar yang diraihnya bersama FC Porto, termasuk Liga Europa 2010/11. Atletico Madrid juga ketiban untung dari kedatangan Falcao. Bersamanya, mereka menggamit mahkota Copa del Rey, Liga Europa, dan Piala Super Eropa.

Last but not least, AS Monaco. Di sana Falcao berhasil mempersembahkan titel Ligue 1 sekaligus memutus empat musim hegemoni Paris Saint-Germain. Falcao yang mengapteni Kylian Mbappe dkk. berhasil menjadi topskorer lewat 30 gol di lintas kompetisi.

Bila ada borok dalam kariernya itu adalah kenangan Manchester United dan Chelsea. Falcao gagal di sana. Kombinasi dari restorasi cedera lutut dan jam terbang yang minim menjadi sebabnya. Di United dan Chelsea, baik Louis van Gaal maupun Mourinho tidak pernah memercayai Falcao sepenuhnya. Keberadaan Robin van Persie dan Diego Costa membuat Falcao menjadi striker nomor kedua.

Sialnya lagi, Falcao datang ke tempat yang salah di waktu yang salah. Baik United maupun Chelsea sedang berada dalam situasi yang buruk ketika Falcao datang. Jangankan untuk membangkitkan karier Falcao pasca-cedera, mengeluarkan kemampuan terbaik para pemain saja mereka tak mampu.

Rayo, tidak sama dengan mereka. Falcao disambut tanpa ekspektasi tinggi. Tanya saja Iraola mengapa ia baru memasang Falcao 8 kali. Empat di antaranya bahkan sebatas pemain pengganti. 

Namun, Falcao menjawab dengan elegan, melalui gol-golnya. Sudah lima lesakan yang ia buat di La Liga, dua di antaranya ke gawang Barcelona dan Madrid. Dan jika membobol gawang dua raja La Liga saja ia masih mampu, anggapan bahwa El Tigre sudah usai tak lebih dari omong kosong belaka.