Elegi O’Leary Babes

Michael Bridges (tengah) ketika masih memperkuat Leeds United. Foto: Twitter @SportsClock.

Saya pernah bertemu Michael Bridges dan kami sama-sama mengenang kisah O'Leary Babes, tim Leeds United yang pernah begitu dikagumi tetapi berumur pendek. Mereka mati karena klub yang diurus secara sembrono.

Pada sebuah perjalanan dari Bandung menuju Kuala Lumpur, saya mendapatkan sebuah tawaran menarik: Mau tidak mewawancarai Michael Bridges dan Jerzy Dudek di pesawat?

Waktu itu, keduanya baru saja menyelesaikan agenda iseng-iseng yang biasa dilakukan para pensiunan lapangan hijau: Pertandingan persahabatan antar-eks pemain sepak bola. Di Kuala Lumpur, mereka hendak melakoni agenda yang sama.

Dudek baru pensiun pada 2011, dua tahun sebelum saya bertemu dengannya pada hari itu. Sementara, Bridges sempat pensiun pada 2011 karena cedera lutut, tetapi kembali bermain beberapa bulan kemudian untuk Newcastle Jets.

Ada beberapa nama tenar yang ikut dalam pertandingan persahabatan itu. Namun, Dudek jelas salah satu yang paling saya incar. Biar bagaimanapun, orang ini adalah saksi hidup dari Istanbul 2005, salah satu kisah paling heroik dalam sejarah Liga Champions Eropa.

Saya pernah menjabat tangan beberapa pemenang treble dari Manchester United. Buat saya, ini adalah pengalaman paling norak. Sebab, kapan lagi bisa menjabat tangan-tangan yang pernah mengangkat trofi Liga Champions—dari era treble pula.

Pengalaman bertemu dengan Dudek tidak jauh berbeda. Di hadapan saya, ada orang yang mengalami malam magis; gawangnya dibobol tiga kali, tapi tiga kali pula rekan-rekannya membayar lunas gol-gol tersebut.

Meskipun menjalani pertandingan yang berbeda, di stadion dan kota berbeda, Dudek, dan masing-masing pemenang treble itu, bersaksi atas hal yang sama: Bahwa malam pertandingan itu adalah malam terbaik mereka sebagai pemain sepak bola.

Saya tidak pernah bermain sepak bola sampai seserius mereka. Level kompetitif yang pernah saya gapai cuma pertandingan antarkelas dan antarsekolah. Namun, saya bisa mengamini perasaan mereka; meraih kemenangan—pada laga final pula—dari posisi tertinggal pastilah amat memuaskan.

Jika bertemu dengan Dudek adalah perkara berbicara kejayaan, lain soal dengan Bridges. Ia adalah bagian dari sebuah cerita pendek yang berakhir nahas. Cerita yang barangkali Bridges sendiri enggan untuk mengingatnya.

Namun, perkiraan saya salah. Ketika saya duduk di sebelahnya, pesawat kami tinggal sedikit lagi mendarat di Kuala Lumpur. Dua puluh menit setelah saya mewawancarainya, pesawat kami sampai tujuan. Maka, jadilah wawancara dengannya singkat saja—hanya sekitar 15 menit.

Karena tak ingin membuang waktu, saya langsung menyebut nama klub itu tak lama setelah memperkenalkan diri: Leeds United. Tak saya sangka, wajah Bridges langsung semringah.

***

Saya pertama kali mengenal Leeds karena satu nama: Eric Cantona. Selebihnya, karena nama-nama lain yang pernah memperkuat klub itu: Lucas Radebe, Gary Speed, Tomas Brolin, Ian Harte, Harry Kewell, hingga Nigel Martyn.

Di kemudian hari, saya mengenal Leeds sebagai musuh bebuyutan United dan punya histori cukup panjang yang bersangkut paut dengan persaingan antara Lancaster dan York. Di kemudian hari pula, saya mengenal perselisihan itu sebagai ‘Wars of The Roses’.

Ini mirip-mirip dengan kisah persaingan antara Manchester dan Liverpool; dua kubu, dua kota berbeda. Bedanya, tidak ada perseteruan dengan motif ekonomi yang mendasari di sini. Perseteruan ini murni berpangkal pada ontran-ontranan politik antara House of Lancaster dan House of York.

Yang terjadi berikutnya adalah sebuah klise yang amat kita kenali, perselisihan antardaerah dan kubu tersebut terseret-seret sampai lapangan bola. United mewakili Lancashire (si mawar merah), sementara Leeds ada di kubu Yorkshire (si mawar putih).

Leeds, meski memiliki masa kejayaannya sendiri, tidak pernah benar-benar bisa mendominasi Liga Inggris seperti yang United lakukan pada era 1990-an dan 2000-an. Namun, menjelang akhir 90-an dan awal 2000-an, mereka menjadi penantang serius di papan atas.

Bridges, yang datang ke Leeds pada 1999, masih ingat betul masa-masa itu. Ia datang ke Leeds sebagai pemuda penuh harapan. Performanya yang membantu Sunderland promosi ke Premier League pada 1999 membuat Leeds rela mengeluarkan dana hingga 5 juta poundsterling.

Pria yang menangani Leeds waktu itu adalah David O’Leary, yang empat tahun sebelumnya mengakhiri karier sepak bolanya di klub tersebut. Nama O’Leary juga yang pertama kali disebut-sebut oleh Bridges ketika kami membicarakan Leeds.

“Kami disebut O’Leary Babes,” kata Bridges. Itu pertama kalinya saya mendengar Leeds mendapat julukan ‘O’Leary Babes’. “Saya ingat masa-masa itu. Mereka mendatangkan saya dari Sunderland karena (Jimmy Floyd) Hasselbaink baru saja pergi (ke Atletico Madrid).”

Bridges sedang bernostalgia. Pada musim perdananya bermain untuk Leeds, ia mencetak 19 gol di Premier League dan menjadi top skor klub. The Whites sendiri tampil impresif sepanjang musim dan sebagai ganjarannya, mereka finis di posisi ketiga klasemen akhir.

Waktu itu, jatah bagi klub Premier League untuk bermain di Liga Champions baru tiga. Leeds kebagian jatah paling akhir, sementara dua lainnya untuk Manchester United dan Arsenal. Sebagai tim yang finis di posisi paling buncit di zona Liga Champions, Leeds mesti melalui babak kualifikasi terlebih dahulu.

Namun, perjalanan yang diawali dengan menyingkirkan TSV 1860 Muenchen di fase kualifikasi itu berakhir dengan sederet decak kagum dan segunung aplaus. Dua puluh tahun silam, Leeds menjadi underdog paling dicintai di Liga Champions waktu itu.

Sebagai anak bau kencur, Leeds dihadapkan pada para raksasa: Dari Barcelona hingga AC Milan, dari Lazio hingga Real Madrid. Dua kali undian menempatkan mereka pada grup yang cukup ganas, dua kali pula mereka lolos.

Pada 2000/01, Liga Champions masih mengenal dua fase grup sebelum menjejak babak perempat final. Oleh karena itu, melihat Leeds dua kali lolos dari fase grup yang berisikan klub-klub raksasa itu sebagai runner-up adalah pencapaian yang lebih dari sekadar lumayan.

Begitu mencapai babak perempat final, Leeds menjegal Deportivo La Coruna. Super Depor, begitu mereka dijuluki kala itu. Leeds memukul mereka 3-0 di Elland Road, sebelum Depor membalas 2-0 di Riazor. Hasil dalam dua leg itu sudah cukup untuk membawa Leeds ke semifinal dan berhadapan dengan Valencia.

Meski terlihat heroik, apa yang dipertontonkan Leeds sesungguhnya tercipta bukan karena keajaiban belaka. Betul bahwa ada sejumlah pemain muda yang mengisi skuad mereka seperti Bridges. Namun, Leeds juga menggelontorkan banyak uang untuk membeli pemain.

Pada 1999/2000, pendapatan sebesar 16,6 juta poundsterling dari penjualan pemain—termasuk penjualan senilai 12 juta pounds untuk Hasselbaink ke Atletico—ditanggapi dengan pengeluaran sebesar 21,2 juta pounds untuk membeli sembilan orang pemain.

Jumlah tersebut tergolong besar pada era tersebut. Sebagai perbandingan, United, sang juara bertahan Premier League waktu itu, mengeluarkan 17,8 juta pounds untuk membeli lima orang pemain.

Namun, perjudian O’Leary dan sang chairman, Peter Ridsdale, sukses. Pembelian besar-besaran itu terbukti bisa mengatrol posisi Leeds, dari yang sebelumnya finis di posisi keempat menjadi finis di posisi ketiga yang berarti satu tiket ke Liga Champions 2000/01 itu mereka genggam. Para pemain yang mereka gaet kala itu, seperti Bridges, Danny Mills, dan Darren Huckerby, juga menjadi pilar penting.

Ketika pertaruhan sukses, O’Leary dan Ridsdale memilih untuk menggulirkan dadu sekali lagi. Pada 2000/01, mereka mendatangkan Robbie Keane (12 juta pounds), Olivier Dacourt (7,2 juta pounds), Mark Viduka (6,5 juta pounds), Dominic Matteo (4,75 juta pounds), Jacob Burns (250 ribu pounds), dan Rio Ferdinand (18 juta pounds).

Dengan transfer-transfer “wah” itu, Leeds menggelontorkan uang lebih dari 40 juta pounds. Sementara, pemasukan mereka dari bursa transfer “hanya” 12,9 juta pounds, tidak sampai setengahnya. Keputusan nekat ini berujung pada dua hal: Kejayaan singkat Leeds dan kejatuhan mereka.

Disebut kejayaan pun sesungguhnya Leeds tidak memenangi apa-apa. Mereka hanya sekadar mengundang decak kagum karena melaju begitu jauh di Liga Champions 2000/01. Tak lama setelah menyingkirkan Depor, Valencia membuat mereka kembali menjejak tanah. Los Che membuat Leeds angkat kaki, sebelum akhirnya bertemu Bayern Muenchen di final.

Kenyataan yang jauh lebih pahit menghampiri Leeds di Premier League. Sebagus apa pun pencapaian mereka di Liga Champions, performa mereka di liga terbilang medioker. Leeds terbelit inkonsistensi penampilan yang kemudian berujung pada konsistensi hasil.

Sampai sebelum pergantian tahun, O’Leary dan anak-anak buahnya masih tersendat di papan tengah. Kekalahan 1-2 dari Newcastle United pada Boxing Day 2000 membuat mereka tertahan di posisi ke-13 klasemen. Performa Leeds baru membaik begitu tahun berganti.

Terhitung, setelah bermain imbang dengan Middlesbrough pada pertandingan pertama tahun 2000, Leeds hanya menelan dua kekalahan di Premier League sampai akhir musim. Kebangkitan mereka ditandai dengan 13 kemenangan, termasuk 6 kemenangan beruntun dari pertengahan Maret sampai akhir April.

Namun, Leeds terlambat tancap gas. Begitu sampai garis finis, mereka tertinggal satu poin di belakang Liverpool yang finis di posisi ketiga. Tiket untuk bermain di Liga Champions 2001/02 pun gagal mereka dapatkan.

***

Kalau saya boleh memilih, perjalanan Leeds dalam kejayaan singkat mereka itu bisa diidentikkan dengan dua kata: Nekat dan ironis.

Ketika mereka finis di posisi keempat pada musim 2000/01, Premier League baru mendapatkan jatah tiga tiket untuk Liga Champions. Ketika Premier League akhirnya mendapatkan jatah empat tiket pada musim 2001/02, Leeds malah finis di urutan kelima.

Kegagalan lolos ke Liga Champions untuk dua musim beruntun bikin Leeds amburadul. Konsekuensinya besar, yakni kehilangan potensi pemasukan dari Liga Champions.

Sampai Juni 2002, hanya dalam kurun waktu sekitar empat tahun, Leeds menghabiskan hampir 100 juta pounds. Namun, uang sebanyak itu tak berbalas dengan trofi ataupun kepastian tampil di Liga Champions dari musim ke musim.

Pembelian besar-besaran pada musim 1999/2000 dan 2000/01 sesungguhnya bukan tanpa proyeksi. Ridsdale, kala itu, mengharapkan Leeds untuk menjadi kontestan reguler di Liga Champions supaya mendapatkan uang hadiah Liga Champions dan hak siar televisi yang jumlahnya memang tidak sedikit.

Namun, mendatangkan pemain-pemain mahal bukan cuma perkara mengeluarkan duit transfer segunung. Para pemain itu juga memiliki gaji yang tak kalah mahal dan tentu saja membebani pengeluaran klub secara konstan.

Untuk membiayai transfer-transfer mahal itu, plus gaji para pemain, Ridsdale berulang kali meminjam uang. Pada 2000/01, ketika kelolosan ke Liga Champions belum tergaransi, ia nekat meminjam uang 60 juta pounds.

Mismanajemen keuangan inilah yang bikin Leeds semaput. Menurut The Herald, surat kabar Skotlandia yang membuat tulisan khusus soal Leeds ini pada 2007, utang klub menumpuk perlahan-lahan, dari yang awalnya “hanya” 9 juta pounds menjadi sekitar 119 juta pounds.

Ketika potensi pemasukan hilang, Leeds pun kelimpungan untuk melunasi utang tersebut. Satu-satunya cara untuk menutupinya adalah dengan menjual aset-aset paling berharga mereka: Para pemain.

Ketika pemain-pemain seperti Rio Ferdinand, Robbie Keane, Lee Bowyer, Jonathan Woodgate, Olivier Dacourt, dan Harry Kewell minggat satu per satu, performa Leeds di lapangan pun anjlok. Hanya tiga tahun setelah mencapai semifinal Liga Champions, Leeds terdegradasi dari Premier League dengan utang mencapai 80 juta pounds.

O’Leary Babes yang mengundang decak kagum itu pun tamat tanpa sisa.

***

Ketika Bridges berbicara dengan saya di pesawat pada hari itu, ia juga menggarisbawahi uang sebagai penyebab kejatuhan timnya. “Semuanya karena uang, dan uang jugalah yang membuat perbedaan begitu besar di Premier League,” katanya.

Butuh waktu 16 tahun bagi Leeds untuk kembali ke Premier League. Dalam rentang waktu itu, seorang bocah bisa lahir, menjalani hari-harinya, lalu kemudian masuk SMU.

Namun, Leeds yang sekarang adalah Leeds yang lebih sehat—setidaknya dari sisi manajemen keuangan. Tak ada lagi pembelian-pembelian mewah, yang ada hanyalah sekelompok pemain yang bermain secara kohesif dan klop dengan skema yang diinginkan sang pelatih, Marcelo Bielsa.

Saya tidak tahu bakal berapa lama lagi bagi Leeds untuk kembali mentas di Liga Champions atau berapa lama mereka bakal bertahan di Premier League. Yang bisa saya harapkan, mereka tidak berlaku dungu seperti seekor keledai.